Oleh. Helmiyatul Hidayati |
(Blogger Profesional dan Mahasiswa FISIP Ilmu Komunikasi UT Jember)
Pariwisata dewasa ini masih dianggap sebagai sebuah solusi. Baik dari segi penikmat wisata (turis) atau dari segi pengelola tempat wisata. Bahkan bagi negara dianggap sebagai solusi untuk menambah pendapatan. Wisata disinyalir sebagai sebuah kegiatan yang akan mengalihkan pikiran manusia dari caruk-maruknya kehidupan yang tak menentu. Lepas sejenak dari kejenuhan yang menjadi rutinitas. Bagi kebanyakan orang, wisata merupakan suatu kebutuhan. Terutama di zaman kehidupan kapitalis sekuler seperti saat ini.
Para pemilik atau pengelola tempat wisata menganggapnya sebagai ladang bisnis, tempat pundi-pundi uang ditanam dan dipanen ketika turis datang. Ragam wisata pun digalakkan, inovasi dan kreasi dari pengelola tempat wisata terus ditingkatkan.
Sejauh ini kita mengenal beberapa macam wisata seperti Wisata Alam (Contoh: Raja Ampat); Wisata Bahari (Contoh: Wakatobi); Wisata Kesehatan (Contoh: Spa Traditional); Wisata Edukasi (Contoh: Botanical Garden); Wisata Kuliner (Contoh: Bangkok); Wisata Sejarah (Contoh: Borobudur), Wisata Seni (Contoh: Museum) dan Wisata Tirta (Contoh: Pemandian).
Belum lama ini, telah lahir ragam wisata ke-9, yakni wisata religi. Adalah di Perbatasan Dusun Selorejo, Desa Kaligondo, Kecamatan Genteng, Banyuwangi terdapat sebuah tempat peribadatan umat Hindu. Sehingga dulu awalnya nama tempat ini adalah Pura dan Petirtan Anantaboga. Karena terdapat mata air Beji yang dianggap berkhasiat maka tempat ini pun disebut sumber Beji Antaboga.
Namun selain situs Hindu, di tempat tersebut juga terdapat tempat peribadatan dari agama-agama lain yang diakui di Indonesia. Di sana juga berdiri patung Dewi Kwan Im dan Patung Bunda Maria, juga dibangun sebuah musholla. Sehingga secara tak langsung situs ini menggambarkan adanya sebuah keberagaman dalam harmoni.
Sumber Beji Antaboga mulai digalakkan sebagai wisata religi tak ubahnya seperti wisata-wisata lain dengan tujuan menggerakkan roda perekonomian rakyat. Berkembangnya suatu tempat wisata diharapkan mampu menyerap tenaga kerja atau bahkan untuk menambah devisa negara.
Namun di sisi lain, berkembangnya pariwisata juga memiliki dampak yang buruk. Karena perkembangan dalam sektor ini selalu diikuti dengan perkembangan banyaknya cafe, hotel atau berbagai tempat wisata lain yang digunakan sebagai ajang pesta seks dan atau narkoba. Sementara negara hanya bisa mengimbau para pelaku usaha di sektor wisata untuk menjaga tempatnya agar bersih dari prostitusi dan narkoba.
Dari titik ini, maka sebenarnya bisa dilihat bahwa sektor pariwisata sekali lagi hanya membawa keuntungan bagi para kapital. Karena pada akhirnya merekalah yang akan mengantongi perijinan membangun hotel-hotel dan cafe-cafe atau tempat wisata lain. Sementara masyarakat hanya akan mendapat “remah-remah”.
Belum lagi, pariwisata sebenarnya juga membawa arus liberalisasi yang berbahaya bagi masyarakat. Pariwisata adalah industri yang mengandalkan interaksi antar manusia. Barat mengandalkan hal ini sebagai cara untuk memasukkan atau melakukan transfer nilai-nilai atau ide yang dianutnya.
Tentu saja ide dan nilai yang dimaksud adalah tatanan sosial ala barat yang menjadikan HAM, sekulerisme, liberalisme dan pluralisme sebagai anutan di tengah-tengah masyarakat.
Penanaman pluralisme adalah hal yang berbahaya bagi akidah umat Islam. Toleransi kebablasan adalah salah satu dampaknya. Pariwisata juga manjadi sarana penyebaran liberalisasi yang berdampak buruk terutama bagi generasi muda. Sehingga tidak heran bagi wilayah-wilayah dimana sektor pariwisata sedang berkembang timbul masalah sosial seperti meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS, pengguna narkoba, aborsi dan pembuangan bayi dsb.
Hal ini mudah terjadi karena di sistem kapitalis seperti sekarang ini, pariwisata adalah untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Sehingga eksploitasi di sektor ini pun dilakukan secara besar-besaran, meskipun itu membuka jalan untuk praktik kemaksiatan.
Memang tidak bisa ditampik, meskipun memiliki banyak sisi buruk, sektor pariwisata bisa menghasilkan pendapatan baik bagi negara maupun daerah. Namun, di dalam sistem Islam, pariwisata tidak dijadikan sebagai sumber perekonomian yang bersifat tetap.
Salah satu sumber perekonomian yang merupakan sumber utama penghidupan dan berpengaruh besar pada produk domestik regional bruto (PDRB) adalah sektor pertanian. Maka seharusnya lebih bijaksana jika fokus pemerintah daerah ditingkatkan untuk sektor ini.
Objek wisata dapat tetap dipertahankan dengan tujuan sebagai sarana dakwah dan propaganda. Menikmati suatu objek wisata (bagi seorang muslim) seharusnya menambah menambah kesadaran akan kemahabesaran Allah SWT dan kebanggaan terhadap peradaban Islam.
Karena perbedaan tujuan dalam pembangunan sektor pariwisata zaman sekarang dengan pariwisata dalam Islam, hal ini akan mengakibatkan perbedaan pula pada penetapan kebijakan. Pariwisata di dalam sistem Islam tidak akan membiarkan terbukanya pintu kemaksiatan (infomuslimahjember.com).