Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Pesta rakyat di alam demokrasi sudah usai digelar. Beralih kepada aktifitas berikutnya, yaitu perhitungan suara yang dilakukan oleh KPU dan jajarannya. Ternyata, meskipun belum diumumkan hasilnya, ada beberapa calon anggota legislatif yang sudah mengetahui hasilnya.
Dan para caleg yang tak lagi punya peluang menang dalam hitungan sementara itu, beberapa diantaranya kemudian menunjukkan gejala irasional akibat stres dan depresi. Diantaranya dengan bakar kotak suara dan surat suara yang ada di dalamnya, hingga tagih janji timses. Padahal, proses rekapitulasi atau real count KPU belum selesai (kaltimtribunnews.com, 24/4/2019).
Mengapa memilih pemimpin menjadi hal yang horor ? dan bukankah ini saatnya rakyat berpesta, mengapa harus banyak muncul korban dan peristiwa pilu lainnya? setelah sebelumnya viral banyak petugas KPPS yang sakit dan meninggal dunia, sekarang diikuti oleh tingkah pola para calegnya. Karena pemilu dalam sistem demokrasi diikuti oleh orang-orang opportunitis. Yang hanya berbekal semangat saja tanpa misi dan visi yang jelas.
Tak ada makan siang gratis begitu pula tak ada teman sejati. Yang ada adalah kepentingan sejati. Semua dihitung dengan materi. Ajang pemilihan menjadi ajang bisnis baru, setiap orang bebas memanfaatkan situasi didalamnya. Besarnya biaya kampanye dan banyaknya persyaratan yang harus dipenuji oleh caleg memicu persaingan tidak sehat. Hukum rimba berjalan, siapa kuat baik modal maupun dukungan maka ia yang mampu menguasai panggung. Hingga muncul kasus money politik, janji politik dan semua kecurangan. Karena dalam demokrasi itu sah.
Alhasil stres dan depresi yang akhirnya mereka rasakan ketika angka kekalahan membayang. Terbayang beratnya pengorbanan mereka dan besarnya dana yang sudah dikeluarkan. Belum lagi janji mereka kepada para pengusaha yang menjadi sponsor mereka. Idealisme mengubah keadaan sudah berubah menjadi niatan bisnis . Harapan bisa mengembalikan modal ketika menjadi anggota legislatif buyar. Ya, sistem aturan dalam memilih pemimpin hari ini yang memang perlu dikritisi. Fantastis, tak masuk akal dan tak manusiawi. Karena rapuhnya akidah.
Dalam Islam, menjadi pemimpin adalah amanah. Dimana seluruh perkataan dan perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Maka, tak bisa dianggap enteng dan seenaknya saja mengajukan dirinya menjadi pemimpin. Ia tak hanya memiliki persyaratan sebagai pemimpin sebagaimana disebutkan dalam Alquran namun juga wajib menerapkan seluruh hukum-hukum Allah saat mereka menyelesaikan persoalan umat. Karena sesungguhnya menjadi pemimpin bukan ladang bisnis dunia namun ladang bisnis akhirat. Sebagaimana firman Allah dalam Quran An -Nisa 4: 58-59, yang artinya:
Sesungguhnya Allâh menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allâh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allâh adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah Rasûl(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur’an) dan Rasûl (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Wallahu a' lam biashowab.