Pemilu Dalam Demokrasi

Oleh: Nia Fireruz

(Menulis Asyik Cilacap)


Pesta demokrasi baru saja usai. Ada yang berbeda pada Pemilu kali ini, karena seolah ada 3 calon. 01, 02, dan 03 (khilafah). Tak hanya itu, Pemilu kali ini juga meninggalkan jejak 'kelam'. Pemilu yang diadakan setiap 5tahun sekali ini menuai kontroversi. Bagaimana tidak. Pertama: Tidak tanggung-tanggung dana yang dikeluarkan. "Pemerintah lewat Kementrian Keuangan menganggarkan sebesar Rp.25,59 triliun untuk kegiatan Pemilu 2019. Angka ini jauh lebih besar dibanding Pemilu 2014. (detikfinance)


Kedua: Memakan korban jiwa. "Berdasar data KPU (23/4/2019) jumlah anggota KPPS yang meninggal bertambah menjadi 119 orang dan 548 orang dilaporkan sakit. (KOMPAS.com)


Ketiga: Kerap terjadi kecurangan.

"Anggota Bawaslu, Frizt Edward Siregar, mengungkapkan di zaman modern saat ini begitu banyak cara yang dilakukan untuk terpilih melalui politik uang. Lebih dari 40 kasus dibongkar dan semuanya sudah diadili.

Tapi, ia meyakini masih banyak lagi di luar sana yang melakukan hal serupa. Bahkan , di era digital saat ini, politik uang dilakukan cashless alias nontunai." (KOMPAS.com)


Kejadian-kejadian kelam semacam ini tidak akan pernah terhenti, selama Sistem demokrasi masih mencengkram. Karena aturan yang bermain adalah aturan buatan manusia. Rakyat pun memiliki hak legislasi. Demokrasi juga menerapkan semboyan pembagian kekuasaan (Trias politica produc Montesque). Jadi wajar jika sistem Demokrasi hanya akan melahirkan kesengsaraan , bukan kemaslahatan. 


"Tidak akan baik suatu kaum itu hidup tercerai-berai tanpa memiliki pemimpin dan tidak terhitung memiliki pemimpin jika orang-orang bodoh di kalangan mereka yang menjadi pemimpin." (Asy-syi'r wa asy-syu'ara, 1/217).


Berbeda dengan Pemilu dalam Sistem Islam. Kekuasaan dalam islam sepenuhnya berada ditangan khalifah dan dialah satu-satunya yang mempunyai hak legislasi. Rakyat tidak memliki hak legislasi , seperti dalam sistem Demokrasi. Khalifah memerintah melalui mandat yang diperoleh melalui bai'at in'iqod. Akad untuk memerintah rakyat pun dengan hukum Allah, bukan dengan hukum buatan manusia.


Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang khalifah adalah: laki-laki, muslim, baligh, berakal, adkl, merdeka dan mampu.

Majelis Mazalim bertugas melakukan vertifikasi calon-calon khalifah, tentang kelayakkan mereka; apakah mereka sesuai dengan syarat in'iqod di atas atau tidak. Baru kemudian diserahkan kepada Majelis Umat. Majelis Umat sebagai wakil rakyat. Mereka harus dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk atau diangkat.


Perlu dicatat, pengangkatan khalifah ini hukumnya fardhu kifayah. Sehingga tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat. Jika kemudian ditetapkan ,bahwa Majelis Umat akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah inipun terpenuhi. Dan khalifah bisa dibai'at dengan bai'at in'iqod. Setelah itu baru seluruh rakyat wajib membai'atnya dengan bai'at tha'ah.

Gambaran dan mekanisme diatas berlaku jika khilafah sudah ada. Dalam kondisi sekarang, ketika khilafah belum ada, maka solusi untuk mengangkat seorang khalifah tentu bukan melalui Pemilu Demokrasi. Karena islam telah menetapkan bahwa metode baku untuk mendapatkan kekuasaan adalah dengan thalab an-nushroh. Sedangkan metode baku untuk mengangkat khalifah adalah dengan bai'at. Meski dalam prakteknya menggunakan uslub (cara) Pemilu.

Thalab an-nushroh tidak akan didapatkan begitu saja tanpa proses dakwah dan adanya jamaah (partai politik islam idiologi) yang mengembannya. (www.globalmuslim.web.id)


Untuk itu mengangkat seorang khalifah itu WAJIB. Bahkan disebutkan oleh para ulama sebagai 'Mahkota Kewajiban'.

"Siapa saja yang mati, sedangkan di atas pundaknya tidak ada bai'at, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah".

(HR.Muslim)


Sudah saatnya Umat sadar, mencampakan sistem Demokrasi adalah langkah tepat, karena Sistem Demokrasi telah nyata membawa kehancuran. Kemudian menggantinya dengan sistem Islam. 


Wallahu a'lam bish-showab

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak