Oleh : Heni Listiyawati
(Menulis Asyik Cilacap)
Pesta demokrasi di Indonesia telah usai. Seiring berjalannya waktu pemilihan umum banyak sekali meninggalkan jejak yang memilukan. Dari sebelum dilaksanakan maupun saat pelaksanaan bahkan sampai pada sesuadah pelaksanaan. Banyak peristiwa yang membuat masyarakat melongo, heran, kaget dan lainnya. Bagaimana tidak melongo, ketika rakyat dikagetkan dengan orang gila yang mempunyai hak memilih, kotak suara yang tadinya menggunakan aluminium pemilu tahun ini justru menggunakan kardus yang digembok, belum lagi banyak ditemukannya surat suara yang sudah tercoblos sebelum pelaksanaan pemilu.
Peristiwa tersebut terjadi sebelum pelaksanaan pemilu, bagaimana dengan hari pelaksanaannya? Tentu, tidak jauh berbeda. Pada saat pelaksanaan pemilu banyak juga masyarakat yang mengeluh lantaran namanya tidak terdaftar di TPS, ada juga yang mendapati di daftar pemilih double, surat suara kurang dan lain sebagainya. Bahkan dikabarkan banyak petugas TPS yang kelelahan menghitung surat suara, sehingga menyebabkan sakit, luka, dan sampai meninggal dunia.
Fakta diatas tentu tidak bisa kita dipungkiri, dan membuktikan bahwa pesta demokrasi justru palah merugikan rakyat. Rakyat rugi waktu, tenaga, bahkan untuk bisa memenangkan jagoannya sampai rela merogoh kocek dalam-dalam. Bukan hanya rakyat, negarapun rugi harus mengeluarkan biaya mahal untuk memfasilitasi pemlihan umum, mending biaya itu dipakai untuk rakyat yang kurang mampu.
Cara memilih pemimpin dalam system demokrasi sangat rentan untuk berbuat kecurangan. Para paslon menghalalkan segala cara supaya bisa menduduki kursi jabatan bahkan bisa juga sampai menimbulkan korban. Biasanya para paslon menyuap dengan memberi uang atau sembako kepada rakyat untuk memilih dirinya. Peristiwa ini sudah sangat biasa di kalangan masyarakat.
System demokrasi adalah system buatan manusia, jadi pemimpin dalam system ini juga akan menerapkan hukum buatan manusia. Dan juga menerapkan pembagian kekuasaan atau trias politica. Akan sangat berbeda jika yang diterapkan itu system islam. Pemilihan pemimpin dalam system islam melibatkan rakyat, tetapi bukan untuk menjalankan kehendak rakyat, tetapi dipilih untuk menerapkan hukum syara.
Berbeda pula masa jabatan kepemimpinan dalam sistem Islam, pemimpin (khalifah) dipilih oleh rakyat, akan tetapi tidak bisa dipecat oleh rakyat, karena pemberhentian khalifah dilakukan oleh mahkamah Madzalim disebabkan adanya pelanggaran hukum syara. Apabila tidak melanggar maka sang Khalifah akan tetap memimpin sampai akhir hayatnya.
Pengangkatan Khalifah ini hukumnya fardhu kifayah, sehingga tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat. Jika kemudian ditetapkan, bahwa Majelis Umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah ini pun terpenuhi. Jika kifayah ini dianggap terpenuhi, maka Khalifah bisa dibai’at dengan bai’at in’iqad. Setelah itu, baru seluruh rakyat wajib memba’atnya dengan bai’at tha’ah.
Gambaran dan mekanisme di atas berlaku jika Khilafah sudah ada, dan Khalifah meninggal, berhenti atau dinyatakan batal. Namun, ini akan berbeda jika Khilafah belum ada, dan kaum Muslim belum mempunyai seorang Khalifah, dimana bai’at belum ada di atas pundak mereka.
Dalam kondisi sekarang, ketika Khilafah belum ada, maka solusi untuk mengangkat seorang Khalifah tentu bukan melalui Pemilu. Karena pemilu bukanlah metode baku dalam mendirikan Khilafah. Juga bukan metode untuk mengangkat Khalifah. Namun, ini hanyalah uslub. Bisa digunakan, dan bisa juga tidak, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Islam telah menetapkan, bahwa metode baku untuk mendapatkan kekuasaan adalah thalab an-nushrah.
Sedangkan metode baku untuk mengangkat Khalifah adalah bai’at. Meski dalam praktiknya, bisa saja dengan menggunakan uslub pemilu.
Karena itu, mengerahkan seluruh potensi untuk melakukan uslub yang mubah, namun meninggalkan metode baku yang wajib, yaitu thalab an-nushrah dan bai’at, jelas tidak tepat. Meski harus dicatat, bahwa thalab an-nushrah tidak akan didapatkan begitu saja, tanpa proses dakwah dan adanya jamaah (partai politik Islam idelogis) yang mengembannya. www.globalmuslim.web.id
Mengangkat seorang Khalifah atau Imam termasuk kewajiban agama yang paling penting. Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, di dalam kitab Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, menyatakan:
اِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِيْنِ لاَ يَقْدِحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُوْرِ
“Ketahuilah juga sesungguhnya para Sahabat ra. seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut sebagai kewajiban yang paling penting. Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai siapa yang paling layak menjabat khalifah tidak merusak ijmak mereka tersebut.” (Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25).
Menegakkan Khilafah memang fardhu kifayah. Orang yang memiliki kemampuan maupun yang tidak memiliki kemampuan wajib melibatkan diri hingga perkara yang termasuk fardhu kifayah ini terselenggara secara sempurna. Hanya saja, orang yang memiliki kemampuan dituntut lebih dibandingkan yang tidak memiliki kemampuan. Bahkan jika diduga kuat kewajiban itu tidak bisa ditunaikan secara sempurna kecuali dengan keterlibatan orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan, maka kewajiban kifayah tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain atas orang-orang itu.
Begitu pula menegakkan Khilafah Islam. Kewajiban ini diduga kuat tidak akan bisa terealisasi kecuali dengan keterlibatan para ulama dan tokoh masyarakat yang memiliki kemampuan. Atas dasar itu, wajib ‘ain bagi mereka untuk melibatkan diri dalam perjuangan menegakkan Khilafah Islami dalam sebuah partai politik islami yang benar-benar memiliki kemampuan untuk mewujudkan kewajiban tersebut.
Dosa karena belum tegaknya Khilafah Islam tetap melekat pada seluruh kaum Muslim, kecuali bagi mereka yang terlibat dan mendukung perjuangan agung dan mulia ini. Adapun mereka yang tidak melibatkan diri, abai, atau bahkan menghalang-halangi penegakkan Khilafah tidak akan pernah bisa luput dari siksaan Allah SWT kelak pada Hari Kiamat. Segeralah tegakkan sistem Islam dan buang jauh-jauh sistem buatan manusia. Wallahu’alam bishawab