Pemilihan Pemimpin dalam Islam

Oleh: Witri Widaningsih, S.Pd (praktisi Pendidikan)


Pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi saat ini memakan biaya yang banyak, maka sangat rentan terjadinya kecurangan dan mudah menghalalkan segala cara untuk bisa mewujudkan apa yang menjadi keinginan mereka.

Hajatan pilpres tahun 2019 pun diwarnai oleh berbagai isu skandal mega korupsi. Hal ini dianggap wajar karena untuk biaya kampanye dan lain-lain membutuhkan dana yang tidak sedikit, bahkan KPU pernah membahas terkait dengan dana capres-cawapres dalam pemilu 2019 yang mengalami kenaikan dibandingkan pemilu sebelumnya.

Pemimpin terpilih dalam sistem Demokrasi akan memimpin secara berkala yang menerapkan aturan buatan manusia dan menerapkan pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif)

Berbeda dengan pemilihan pemimpin dalam sistem Islam. Negara Khilafah adalah khalifah itu sendiri. Karena itu, kekuasaan di dalam negara Khilafah berbeda dengan kekuasaan dalam negara-negara lain. Maka di Negara Khilafah tidak memgenal pembagian kekuasaan. Meski demikian, kekuasaan tetap ada ditangan rakyat.

Khalifah yang berkuasa dalam Negara Khilafah juga tidak akan bisa berkuasa jika tidak mendapatkan  mandat dari rakyat. Hanya saja, meski khalifah memerintah karena mandat dari rakyat, yang diperoleh melalui baiat in’iqod yang diberikan kepadanya, namun rakyat bukan majikan khalifah.

Sebaliknya, khalifah juga butuh rakyat. Sebab akad antara rakyat dengan khalifah bukanlah akad ijarah, melainkan akad untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah. Karena itu, selama khalifah tidak melakukan penyimpangan terhadap hukum syara’, maka dia tidak boleh diberhentikan karena yang berhak memberhentikan bukanlah rakyat, tetapi mahkamah mazholim.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak