Oleh : Yuchyil Firdausi, S. Farm., Apt*
Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih presiden dan anggota legislatif baru saja usai. Namun, pemilu 2019 kali ini menyisakan sesak di dada sebab menelan korban jiwa lebih dari 200 petugas KPPS meninggal dunia. Dikutip dari detik news "Bertambah, jumlah anggota wafat sebanyak 225 dan sakit 1.470," ujar komisioner KPU Viryan Aziz (m.detik.com/news/berita/25/04/2019).
Selain menelan korban jiwa, kekacauan pun terjadi dimana-dimana. Ditengarai kisruh pemilu kali ini disebabkan banyak ditemukannya kecurangan. Penyelenggaraan pemilu di sejumlah daerah juga mengalami kendala. Mulai dari masalah distribusi logistik, kekurangan surat suara, kerusakan kotak suara, kerusakan surat suara, hingga surat suara tercoblos lebih dulu (tirto.id/17/04/2019).
Sehari pasca pemilu pun ramai di jagad maya, ditemukan sejumlah kesalahan pengisian data suara Pilpres 2019 di laman Komisi Pemilihan Umum (KPU) dimana perolehan suara paslon 01 selalu dilebihkan jumlahnya sedangkan paslon 02 diturunkan, walhasil warganet yang memiliki salinan form C1 plano melakukan kroscek ulang terhadap data yang diinput KPU. Sebut saja kasus di Bali yang seharusnya suara untuk Jokowi tertulis 183 menjadi 1883. Kemudian kasus di salah satu TPS di Depok, Jawa Barat, yang seharusnya suara Jokowi sebanyak 135 tetapi ditulis 235. KPU mencatat ada 105 kesalahan memasukkan data formulir C1 ke Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) oleh petugas hingga Rabu (24/4/2019) (https://tirto.id/26/04/2019). Wajar jika rakyat akhirnya menilai ada upaya kecurangan yang terstruktur, massif dan sistemis. Bukan tidak mungkin jika segala kecurangan dan kisruh pelaksanaan pemilu 2019 ini jika tidak diselesaikan dengan baik oleh pemerintah, bakal terjadi chaos yang berujung pada jatuhnya korban jiwa.
Idiom yang melekat pada demokrasi bahwa vox populi vox dei, sehingga tak ada yang berani mengkhianati rakyat karena ada suara Tuhan, tak pernah berlaku. Justru politik Machiavelis –menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaan- menjadi trade mark politik demokrasi. Karena demokrasi hanya menjadikan rakyat sebagai obyek penderita yang suaranya saja dibutuhkan untuk formalisasi proses, bukan mewujudkan kehendak mereka (Pratma Julia Sunjandari, @muslimahnewsid).
Tak berhenti di sini, pemilu dan pilpres 2019 juga telah menyedot anggaran yang nilainya fantastis, yaitu sebesar Rp 25,59 triliun. Direktur Jenderal Anggaran (Dirjen Anggaran) Askolani memaparkan jumlah anggaran "Berdasarkan data, alokasi anggaran untuk persiapan awal di tahun 2017 sekitar Rp465,71 miliar. Kemudian pada 2018 (alokasi) mencapai Rp9,33 triliun. Selanjutnya di 2019 ini, kita sudah menganggarkan sampai Rp15,79 triliun. Jadi totalnya dalam 3 tahun itu kita menyiapkan anggaran sebanyak Rp25,59 triliun," (https://www.kemenkeu.go.id/26/03/2019). Ongkos politik demokrasi memang luar biasa besar.
Terlepas dari halal haramnya, kepemimpinan dalam demokrasi sangat tidak efisien dan efektif. Pemimpin dalam demokrasi hanya menerapkan aturan buatan manusia bukan aturan Tuhan. Pemimpin dalam demokrasi tak lebih hanya sebagai pelegalan atas implementasi agenda-agenda yang telah dirumuskan oleh legislatif, kelompok kuat dan bahkan pesanan korporasi. Berbagai korporasi dan kapitalis -yang telah diuntungkan dengan kebijakan Jokowi yang membuka lebar keran investasi asing ke dalam negeri- bergembira atas hasil quick count. Sebut saja Perusahaan manajemen investasi PT Bahana TCW Invesment Management yang memperkirakan hasil hitung cepat (quick count) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 akan membawa dampak positif ke pasar keuangan domestik. Aliran dana asing ke pasar saham dan obligasi tahun ini bahkan diperkirakan bisa lebih dari US$ 6 miliar atau sekitar Rp 84,35 triliun, lebih besar dari 2018 (www.cnbcindonesia.com/18/04/2019).
Di sisi lain, manajer investasi asal Inggris, Ashmore, juga memprediksi total modal asing yang masuk ke pasar modal Indonesia tahun ini bisa mencapai US$ 1,5 miliar atau setara Rp 21,3 triliun (kurs Rp 14.200/US$). Ashmore juga mencatatkan bahwa pemilu Indonesia adalah satu-satunya pemilu yang mendapatkan sentimen positif untuk arus masuk asing dan rekomendasi beli (overweight) (www.cnbcindonesia.com/18/04/2019). Namun sekalipun pasar dan asing menyukai rezim tertentu, kekuasaannya tidak akan bertahan lebih dari dua periode.
Inilah yang menjadikan kekuasaan membutuhkan ongkos politik dan ekonomi yang amat tinggi, selama periode tertentu: bisa empat atau lima tahun sekali. Pembatasan masa jabatan tersebut dianggap sebagai alasan yang cukup logis dalam gagasan negara hukum (constitutional democracy) agar tidak terwujud kekuasaan yang tak terbatas (limitation of power) (Pratma Julia Sunjandari, @muslimahnewsid). Pembatasan kekuasaan ini pun tak lepas dari teori dari demokrasi itu sendiri, dimana sistem demokrasi muncul sebagai reaksi atas kekuasaan ototarian yang dipraktikkan oleh kalangan gereja dan istana di Eropa saat abad pertengahan. Akibat praktik buruk kekuasaan tersebut maka lahirlah para pemikir seperti Montesquieu untuk mencegah kekuasaan tak terbatas itu terulang lagi. Hingga muncul teori pembagian kekuasaan yang dikenal sebagai Trias Politica yaitu pembagian kekuasaan pemerintahan negara menjadi tiga jenis, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Namun hingga kini teori-teori demokrasi tersebut tidak pernah bisa terwujud sesuai cita-cita para penggagasnya. Sebab pada faktanya, hukum yang diterapkan adalah hukum yang berpihak pada kekuasaan riil para pemilik modal. Alih-alih pembatasan kekuasaan akan mampu mengendalikan keserakahan pihak eksekutif, nyatanya pihak legislatif dan bahkan yudikatif sebagai penjaga gawang keadilan sering kali kongkalikong dengan pemilik modal dalam mengangkangi hak rakyat.
Berbeda dengan Islam. Sistem pemerintahan dalam islam disebut dengan Khilafah, yang mana hukum syariat islam diterapkan secara sempurna dan menyeluruh. Negara Khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan (separating of power), sebagaimana yang diperkenalkan oleh Montesque dalam sistem negara Demokrasi.
Pemimpin dalam Khilafah disebut dengan Khalifah, yaitu orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan, dan penerapan hukum-hukum syariah. Seorang pemimpin itu dipilih untuk menegakkan hukum Allah subhanahu wa ta'ala secara kaffah. Tak boleh dia melaksanakan hukum positif buatan manusia, sekalipun rakyat menghendakinya. Ini artinya kekuasaan dalam sistem pemerintahan islam ada di tangan umat/rakyat dan Khalifah hanya bisa berkuasa jika rakyat memberikan mandat kepadanya.
Hanya saja, meski Khalifah memerintah karena mandat dari rakyat yang diperoleh melalui bai’at in’iqad yang diberikan kepadanya, namun rakyat bukan majikan Khalifah. Sebaliknya, Khalifah juga bukan buruh rakyat. Sebab, akad antara rakyat dengan Khalifah bukanlah akad ijarah, melainkan akad untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah. Karena itu, selama Khalifah tidak melakukan penyimpangan terhadap hukum syara’, maka dia tidak boleh diberhentikan. Bahkan, kalaupun melakukan penyimpangan dan harus diberhentikan, maka yang berhak memberhentikan bukanlah rakyat, tetapi Mahkamah Mazhalim.
Proses pemilihan khalifah pun tidak berbelit seperti halnya dalam demokrasi. Mahkamah Mazhalim melakukan seleksi nama-nama calon khalifah yang kemudian diserahkan kepada majelis umat. Penetapan calon yang layak adalah yang memenuhi syarat in'iqad yaitu : Laki-laki, Muslim, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu. Majelis Umat segera menentukan dari sejumlah nama tersebut untuk ditetapkan sebagai calon Khalifah. Bisa berjumlah enam, sebagaimana yang ditetapkan pada zaman ‘Umar, atau dua, sebagaimana pada zaman Abu Bakar.
Kemudian diambil pendapat dari representasi umat, tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat karena pengangkatan Khalifah hukumnya fardhu kifayah. Jika kemudian ditetapkan Majelis Umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah ini pun terpenuhi. Jika kifayah ini dianggap terpenuhi, maka Khalifah bisa dibai’at dengan bai’at in’iqad. Setelah itu, baru seluruh rakyat wajib memba’atnya dengan bai’at tha’at.
Dengan menerapkan model pemilihan pemimpin berdasar syariat Islam, pasti terjamin akuntabilitasnya. Terbebas dari kekisruhan dan kecurangan sebagaimana yang terjadi di dalam demokrasi.Hal ini bisa terjadi karena ketakwaan menjadi pilar penting dalam negara. Amar ma’ruf nahi munkar juga melekat pada semua warga negara sebagai kontrol sosial atas semua tindak kecurangan terhadap hukum Allah. Karena itu dalam sistem Khilafah, tidak diperlukan pemilu berkala yang membuang energi.
Keterikatan pada syariat Islam pasti menentramkan, apalagi dalam mengatur persoalan penting yaitu pemerintahan. Sehingga, kesulitan dalam menentukan pemimpin dapat diselesaikan hanya jika kita kembali menerapkan mekanisme pemilihan pemimpin Khalifah sesuai aturan Islam. Karena sistem itu sederhana, akuntabel, tidak membuang energi dan biaya tinggi, serta memiliki daya solutif yang tinggi.
*(Anggota Komunitas Ibu Anjuk Ladang dan Anggota HELP-S Jatim)