Oleh: Nor Aliyah, S.Pd*
Pengamat kebijakan publik Universitas Lambung Mangkurat, menilai pembangunan JPO di Kota Banjarmasin perlu lewat kajian komprehensif. Kajian yang dimaksud seperti taksiran jumlah pejalan kaki dan kepadatan orang yang akan menyeberang.
“Hal ini perlu dikaji agar JPO efektif. Sebagai, contoh untuk pembelajaran adalah JPO di depan Mitra Plaza. Keberadaan JPO yang sudah dibangun terkesan tak berfungsi, bahkan tak terawat. Termasuk tak dipeliharanya zebra cross/pelicancross. Sarana ini juga menjadi bahan pembelajaran bagi pengendara untuk mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan peduli pada kemanusiaan (pejalan kaki),” ucapnya.
Dari kajian Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Banjarmasin, empat ruas jalan di Banjarmasin membutuhkan JPO. Tiga titik berada di Jalan Ahmad Yani. Yakni di depan kampus UIN (Universitas Islam Negeri) Antasari, di depan Duta Mall, dan dekat batas kota di kilometer enam. Satu titik lagi berada di Jalan Hasan Basry. Tepatnya di depan kampus ULM (Universitas Lambung Mangkurat). Dengan alasan mengirit APBD, pembangunan JPO itu dilelang secara terbuka kepada para pengusaha periklanan.
Lelang investasi untuk pembangunan jembatan penyeberangan orang (JPO) telah ditutup pemko. Kabarnya, sudah ada sepuluh pengusaha yang berminat. Satu JPO ditaksir memerlukan anggaran sekitar Rp 2 miliar. Timbal baliknya, investor menerima pemasukan dari baliho bando yang terpasang di badan JPO. Mengingat lokasinya yang strategis,yakin, kompensasi itu sangat cukup.
“Namanya saja lelang investasi. Tapi sebenarnya lebih mirip sayembara. Makanya tidak terdaftar di LPSE (Lembaga Pengadaan Secara Elektronik),” jelasnya.
Banjarmasin sebagai smart city mulai berbenah diri. Termasuk dalam hal pembangunan infrastrukturnya. JPO, Jembatan Penyeberangan Orang dirasa perlu dibangun mengingat semakin penuhnya ruas jalan dengan kendaraan bermotor. Namun sayangnya, pemerintah tak punya dana untuk pembangunan kotanya. Alhasil, pembangunan JPO dilelang untuk para investor yang mau membiayainya. Tentu saja, ini akan berhitung untung rugi, bukan kemaslahatan umat ukurannya. Lalu apa peran negara dalam menyejahterakan rakyatnya?
Pembangunan infrastruktur yang direncanakan harusnya demi kepentingan masyarakat. Dan itu perlu diutamakan oleh yang bertanggungjawab yaitu pemerintah. Karena infrastruktur memang kalau diperlukan harus dibangun atas dasar kepentingan masyarakat seperti jalan, rumah sakit, bandara, dan fasilitas infrastruktur pendukung lainnya seperti lampu lalu lintas, jembatan, dan jembatan penyebarangan orang (JPO). Tidak semata karena adanya tuntutan proyek yang menguntungkan atau ada keuntungan yang bisa didapatkan dalam proyek tersebut, kalau memang perlu memang harus dibangun.
Yang tergambar saat ini negara kita tidak ada dana untuk membangun infrastruktur negara. Karena uang negara tidak ada, harus dilelang ke para pengusaha atau investor. Itulah, karena kita telah dipaksakan berfikir mengikuti pola pikir dan pola kerjanya para kapitalis. Akhirnya, mengadopsi bahwa kewajiban penguasa sebatas fasilitas saja.
Sistem ekonomi kapitalistik tidak berprinsip bahwa pengadaan infrastruktur negara adalah bagian dari pelaksanaan akan kewajiban negara melakukan pelayanan (riayah) terhadap rakyat. Karenanya, sistem ekonomi kapitalistik ini bukan hanya salah, bahkan sistem yang rusak. Layanan transportasi pun dikelola pihak swasta dan pemerintah dalam kacamata komersil sehingga transportasi publik menjadi mahal dan tidak disertai layanan yang memadai.
Dalam sistem Islam, infrastruktur tidak boleh dibangun dengan investasi karena merupakan objek vital atau sarana yang diperlukan oleh negara. Dan didapatkan bukan dengan jalan utang riba. Tapi dari harta milik negara. Dan benar-benar diperhatikan ketepatan pembangunan dengan yang diperlukan masyarakat dan dibangun dengan penuh kesungguhan. Dan memperhatikan agar infrastruktur JPO yang dibangun berkualitas dan terjamin ketahanannya dan keamanan bagi penggunanya.
Ada empat aturan umum terkait pembangunan infrastruktur publik dalam Islam. Pertama, pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara. Kedua, adanya kejelasan terkait kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat, juga kepastian jalannya politik ekonomi secara benar. Ketiga, rancangan tata kelola ruang dan wilayah dalam negara didesain sedemikian rupa sehingga mengurangi kebutuhan transportasi. Keempat, pendanaan pembangunan infrastruktur berasal dari dana Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Hal itu sangat memungkinkan karena kekayaan milik umum dan kekayaan milik negara memang secara riil dikuasai dan dikelola oleh negara.
Pembangunan sarana dan prasarana dalam negara Islam mutlak tanggungjawab negara. Anggaran dananya diambil dari pos-pos pemasukan seperti SDA, zakat, jizyah, khumus, dsb. Pembangunan pun dilakukan berdasarkan ukuran seberapa penting bagi rakyat. Kemaslahatan umat lebih utama, tanpa berhitung untung rugi bagi negara. Karena posisi negara adalah sebagai pelayan umat, bukan sekedar fasilitator sebagaimana dalam Kapitalisme.
Terkait hal pendanaan pembangunan proyek infrastruktur termasuk di dalamnya infrastruktur transportasi, tak akan menjadi masalah ketika sistem ekonomi yang digunakan suatu negara adalah sistem ekonomi Islam. Karena sistem ini meniscayakan negara mengelola seluruh kekayaan yang dimilikinya sehingga mampu membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk kemaslahatan publik.
Adapun efek dari penerapan sistem ekonomi kapitalis seperti hari ini, negara juga dibuat bangkrut karena semua yang menguasai hajat hidup orang banyak pengelolaannya di kuasai oleh para pemilik modal. Termasuk, dalam masalah pengelolaan SDA dan infrastruktur seperti jalan.
Dengan demikian jelaslah hanya sistem ekonomi dan politik Islam lah yang menjamin pembangunan infrastruktur negara bagi rakyatnya. Sistem ekonomi dan politik Islam ini hanya dapat terlaksana secara paripurna dalam bingkai Khilafah Islamiyah sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah Saw, Khulafaur Rasyidin hingga para Khalifah setelahnya.[]
*) Seorang Pendidik di HSS, Kalsel.