Oleh : Sabingah (Penulis)
Panggung Demokrasi terus saja menuai kontroversi. Ibarat gayung bersambut, kasus pelik yang sengaja disembunyikan para pengusung dan pendukung sistem ini mulai mencuat kepermukaan. Belum final kasus jual-beli jabatan yang berhasil menyeret Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor (KETUM GP Ansor) Roma Hurmuzi dan Mentri Agama (Menag) Lukmanul Hakim. Kini muncul lagi berita yang tak seru ditengah moment politik menjelang dan pasca Pileg dan Pilpres. Dilansir dari detik.com bahwa dewasa ini telah ditemui praktik politik uang (money politik) gaya baru yang disebut-sebut sebagai dana saksi diluar. https://m.detik.com/news/berita-jawa-tengah/d-4511763/ada-politik-uang-model-baru-namanya-dana-saksi-di-luar-tpshttps://antikorupsi.org/id/tags/politik-uang
Politik Pelik
'Say no money politik' Slogan ini ibarat sihir yang terus dihembus-hembuskan untuk mengelabui masyarakat. Akan tetapi masyarakat hari ini semakin cerdas. Sudah bukan rahasia jika praktik politik berbasis uang senantiasa mewarnai panggung politik dalam sistem Demokrasi-Kapitalis. Siapa saja yang memiliki modal (uang) terbanyak bisa dengan mudah meraih kekuasaan secara suka-suka. Bayangkan saja modal untuk menjadi penguasa sekelas lurah (kades) saja harus merogoh kantong hingga Rp.100juta sebagai modal kampanye, apalagi mencalonkan diri sebagai penguasa diatas lurah, pasti modalnya tidak sedikit. Meskipun masyarakat sudah mengetahui praktik politik uang ini, mereka (para pelaku) bersikukuh meyakinkan akan ketiadaan praktik politik uang dalam setiap kampanye.
Buahnya penerapan praktik politik uang bukan hanya menimbulkan konflik antar masyarakat, juga berujung pada jerat-jerat korupsi.
Modal awal kampanye yang mahal seolah memaksa para penguasa mengembalikan modal kampanye saat berkuasa. Kalau sudah begini, politik uang tak mungkin mampu dijadikan alat untuk menjalankan roda pemerintahan, karena akan menyebabkan ketidakstabilan politik dalam dan luar negeri, bukan hanya itu politik ini akan merugikan rakyat dan mustahil memberikan kesejahteraan.
Sebagai contoh peningkatan jumlah pelaku korupsi terus meningkat, skandal kasus korupsi terus menjadi isu hangat yang tak kunjung usai. Mulai dari kasus BLBI sampai kasus Centuri masih menjadi misteri yang belum terpecahkan sampai detik ini. Bongkar-muat kasus korupsi mencuat setiap hari, akan tetapi sangsi tak terlihat menemui para pelaku, bukan tidak menemui tapi sengaja tak dipertemukan dengan pelaku, karena mahar politik sudah masuk ke saku (rekening). Suap-menyuap sudah menjadi tradisi penduduk yang menghuni sistem Demokrasi ini.
Aksi serang dan tuding terus terjadi menghiasi panggung politik. Iklim tidak sehat ini terus menyambangi logika yang tengah dilanda penat akibat sistem politik yang dipeluk umat. Dampaknya membuat para pejabat mengalami konslet akal sehat.
Perlu difahami dengan gamblang jika politik uang tidaklah lahir begitu saja tanpa induk (ibu). Karena pada hakikatnya praktik politik ini terlahir dari rahim Demokrasi-Kapitalis yang bersandar pada asas manfaat, menjadikan uang/materi sebagai sumbur kebahagiaan dan memisahkan antara agama dengan kehidupan (negara) atau Fashl Ad-din 'Ani Ad-daulah.
Politik hari ini senantiasa berjalan pada poros sistem Kapitalisme (sistem yang menuhankan uang), selama sistem yang bercokol hari ini adalah sistem Kapitalisme.
Sederhananya antara money politik dengan sistem hari ini bagaikan dua sisi mata uang yang tak mampu dipisahkan. Jadi, slogan yang paling cocok disematkan pada politik hari ini ialah 'yang menang yang punya uang', politik yang sangat pelik bukan?
::
Politik Taqwa
Politik taqwa alias politik Islam memiliki ciri yang khas dan unik. Politik dalam Islam bermakna Ar-riayah As-su'un Ma'al Ummah (mengurusi urusan umat). Politik islam bertumpu pada asas yang benar dan pasti (aqidah islam), menjadikan setiap keputusan politik bertolak ukur hukum syara' (halal-haram) bukan manfaat dan sumber kebahagiaan satu-satunya ialah ridha Allah ta'ala bukan materi (uang).
Berasaskan aqidah disini berarti menunjukan bahwa tidak memberikan peluang bahkan larangan praktik politik yang tidak berasal dari aqidah Islam misal : politik uang, politik adu-domba dan segala jenis politik yang bersumber dari luar aqidah Islam. Sebagaimana yang telah disabdakan nabi kita :
" Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap " [HR. Ahmad no. 6984]
Tolak-ukur politik berdasarkan halal-haram berarti menimbang seluruh keputusan politik yang ada didalam dan luar negeri sesuai dengan hukum syara', bukan pada manfaat belaka.
Dalam hal ini kita bisa melihat sejarah kepemimpinan Umar Al-Faruq yang diwarnai tinta emas. Ketika beliau menjabat sebagai seorang kepala negara (khalifah), beliau pernah memberikan keputusan politik dalam negeri perihal penetapan mahar bagi seorang lelaki atas wanita yang hendak dinikahinya. Akan tetapi kemudian beliau segera mencabut keputusanya pasca mendapat teguran dari seorang wanita yang berkata " sesungguhnya keputusanmu sayang memberatkan fihak lelaki, dan bukankah Allah tidak pernah memberikan batasan atas hal itu (mahar)!".
Dan sumber kebahagiaan satu-satunya ialah ridha Allah 'azza wa jalla, bukan materi ataupun harta. Masih tentang Umar ketika menjadi khalifah. Meskipun beliau menjadi orang no satu seantero timur tengah, mendapatkan tunjangan dari kepemimpinanya. Akan tetapi kehidupan yang dicontohkanya amatlah indah. Dalam ketegasan dan ketangguhnya, beliau tercatat dalam sejarah sebagai seorang khalifah yang takut jika karena kepemimpinya beliau menjadi ahli neraka karena Allah tak meridhainya.
Adapun pelaksana politik Islam dikembalikan kepada hakikat Islam (rahmatan lil 'alamin). Para pemilik kekuasaan yang menjalankan roda pemerintahan hanya menjalankan sesuai amanah langit, bukan sesuai pesanan. Telah terbukti bahwa politik taqwa (Islam) terjaga kondusif sepanjang perjalananya selama 14 abad lamanya. Jadi, politik uang hanya akan membuat kehidupan manusia semakin pelik dan penuh konflik. Sudah saatnya mengakhiri politik uang dan segera menggantikanya dengan politik taqwa yang telah terbukti membawa bahagia.
Wallahu a'lam bish-shawab.[]