Oleh: Dwi Suryaningsih
Pemilu akbar telah usai. Namun apa mau dikata, hajatan akbar yang digadang-gadang berlangsung damai, jujur dan adil nyatanya justru sebaliknya. Bahkan uforia tersebut menyisakan duka yang sangat mendalam bagi rakyat indonesia. Betapa tidak, kecurangan terjadi disana-sini. Semua orang dibuat panik dengan perolehan hasil suara dan masih banyak ragam carut marut lainnya.
Sungguh, perhelatan ini sangat menguras waktu, tenaga dan pikiran. Yang sangat mengiris hati kita adalah dimana ratusan nyawa melayang disaat sibuk berjuang berjibaku dengan uforia pesta demokrasi tersebut. Seolah mereka adalah para tumbal keganasan demokrasi. Sungguh mengerikan.
Gaya Pemilu kali ini agaknya sedikit berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Yakni semua paslon menjadikan ulama sebagai pengharum diruang pemilu. Yang satu, menempatkan ulama sebagai pasangan dan berharap berhasil sampai menduduki kursi panas. Sedangkan yang satunya lagi menggandeng ijtima ulama dalam upaya memperkokoh kemenangannya.
Padahal jika kita mau jujur. Ditahun politik ulama hanya sekedar dijadikan sebagai daun salam layaknya pada sebuah masakan. Sekedar sebagai pengharum saja. Ketika masakan telah matang, daun salam pun dianggap tidak layak tetap ada dalam hidangan, daun salam kini di anggap sampah. sehingga lebih baik dibuang. Waspadalah..!!
Kepemimpinan sejatinya hal yang urgen dalam kehidupan. Apa jadinya jika manusia sebagai makhluk sosial, tidak memiliki pemimpin ditengah-tengah mereka. Pemimpin yang mengayomi dan mendengar keluh kesah rakyat. Pemimpin yang selalu menunaikan setiap kewajiban sebagai bentuk amanah dan tanggung jawabnya dihadapan rakyat dan dihadapan Allah kelak.
Sayangnya, penguasa muslim saat ini justru berkiblat kepada sistem kalitalisme-sekuler. Yang memisahkan peran agama dalam kehidupan. Sehingga mengharuskan mereka mengambil hukum selain lslam sebagai sistem kehidupan. Mereka meninggalkan petunjuk al-quran dan as-sunnah.
Sehingga dengan mudahnya mengobral janji namun mengingkari. Memposisikan diri bak seorang raja, rakyat sebagai abdinya. Sekedar meraup suara kemudian menelantarkan aspirasinya. hanya menuntut hak atas rakyat. Sehingga membuat rakyat semakin menderita.
Rakyat merindui pemimpin yang amanah, menjadikan syariah lslam sebagai parameter dalam memerintah. Tidak memakai al-quran saat sumpah jabatan semata. Pemimpin yang mengabdikan diri kepada raykat. Karena sejatinya seorang pemimpin adalah sebagai pengurus urusan ummat (riayah su'unil ummah).
Namun, kerinduan umat akan pemimpin yang dapat menghantarkan kepada keberkahan hidup, tidak akan pernah terrealisasi manakala masih bertumpu pada demokrasi-kapitalis. Yang menjadikan materi(uang) sebagai jalan meraih kepemimpinan. Karna sejatinya uanglah yang berkuasa. Bukan taat pada syariat sebagai syarat. Tapi menyingkirkan syariat, bahkan antipati terhadap syariat.
Untuk mewujudkan kepemimpinan hakiki yang taat syariat dibutuhkan upaya yang keras utk mencabut demokrasi dari akarnya.Yakni harus mengambil dan menerapkan syariah lslam yang berupa seperangkat aturan kehidupan untuk seluruh umat. Tanpa ragu sedikitpun terhadapanya. Sehingga menjadikan umat dan penguasa sebagai hamba yang berakidah kuat dan kokoh.
Sejarah kegemilangan lslam telah menorehkan tinta emas sepanjang kurun waktu 13 abad. Melalui penerapan syariah lslam dalam naungan sistem khilafah mampu menciptakan peradaban mulia. Dan kepemimpinan itu akan terwujud kembali atas ijin Allah SWT.
" Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang diantara kamu yang beriman dan mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dibumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) memyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa ( tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang fasik". (QS An- nuur {24} : 55)
Wallahu a'lam bish-shawwab.