Oleh : Nira Syamil
Isu kualitas pendidikan seringkali mencuat setiap kali muncul kasus negatif yang melibatkan pelajar atau mahasiswa. Kasus-kasus seperti penganiayaan pelajar oleh pelajar lain, pergaulan bebas, prostitusi bahkan LGBT banyak terjadi pada kaum muda berstatus pelajar. Tentu ada sebab mengapa kasus-kasus ini dikaitkan dengan kualitas pendidikan.
Merujuk UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pendidikan di Indonesia bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sayangnya meski tujuan dinyatakan dalam satu kalimat panjang mencakup aspek spiritual, akademik dan keterampilan pada kenyataannya pendidikan di negeri belum berhasil mewujudkan tujuan-tujuan itu. Peringkat yang rendah dalam keterampilan membaca dan matematika, pengangguran akibat rendahnya keterampilan dan perilaku yang jauh dari kata berkarakter merupakan beberapa fakta saja.
Kualitas sebuah sistem mesti ditelaah dari asas, tujuan dan proses yang dilaksanakan dalam sistem tersebut. Berbicara tentang sistem pendidikan kita perlu memahami asas, tujuan dan proses dalam sistem pendidikan tersebut.
Berbagai upaya dilakukan untuk menjadikan pendidikan di Indonesia berkualitas. Kajian, studi banding dan diskusi dilaksanakan untuk menelisik, apa penyebab tidak tercapainya tujuan pendidikan dan upaya apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Kurikulum berganti dan mengalami revisi, peningkatan kualitas guru dan SDM pendidikan digencarkan namun belum menampakkan hasil maksimal.
Usaha perbaikan pendidikan untuk mencetak lulusan bertakwa, cerdas, terampil dan bertanggungjawab belum berhasil diantaranya disebabkan asas, metode dan sistem pendidikan tidak secara terpadu melaksanakan proses pembentukan pribadi sesuai tujuan. Masih ada pemisahan antara proses mencetak anak takwa (paham aturan agama dan taat atas aturan tersebut) dengan proses mencetak anak cerdas, terampil dan bertanggungjawab. Pemisahan ini diturunkan dari asas pendidikan yang memisahkan agama dari kehidupan alias sekuler.
Pembentukan karakter siswa merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Namun faktanya pendidikan karakter dipisahkan dari pendidikan agama. Bahkan yang menyedihkan pendidikan agama tak ubahnya transfer ilmu semata. Pembentukan karakter menjadi makin sulit ketika lingkungan sekitar baik lingkungan fisik, sosial maupun tayangan media justru memberi pengaruh negatif. Pengaruh positif pendidikan sebagai usaha yang disengaja nyaris kalah oleh pengaruh negatif media dan lingkungan sosial siswa. Sementara tudingan kegagalan hanya diarahkan kepada pihak sekolah dan keluarga.
Pendidikan dalam sistem Islam
Menengok catatan sejarah tentang sistem pendidikan yang melahirkan generasi ilmuwan selama berabad-abad kita akan menemukan jejak sejarah sistem pendidikan Islam dalam sistem pemerintahan yang menerapkan Islam secara menyeluruh.
Dalam kurun waktu yang tidak sampai satu generasi sistem ini telah menjadi produsen generasi emas yang kemudian berjaya berabad-abad. Diukur dari pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi maupun dari ketinggian akhlaq hasil pendidikan Islam merupakan bukti nyata kualitas pendidikan Islam. Tidak sedikit negara-negara barat mengirimkan para pemudanya untuk belajar di universitas-universitas di dunia Islam. Keberhasilan ini ditopang oleh asas, tujuan dan metode pendidikan yang khas.
Dalam sistem Islam asas pendidikan adalah aqidah Islam. Aqidah menjadi dasar kurikulum (mata ajaran dan metode pengajaran) yang diberlakukan oleh negara. Aqidah Islam berkonsekuensi ketaatan pada syari’at Islam. Ini berarti tujuan, pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum harus terkait dengan ketaatan pada syari’at Islam.
Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni: Pertama, berkepribadian Islam. Ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang Muslim. Intinya, seorang Muslim harus memiliki dua aspek yang fundamental, yaitu pola pikir dan pola jiwa yang berpijak pada aqidah Islam.
Kedua, menguasai tsaqâfah Islam. Islam telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori, yaitu:
1. Ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap Muslim, yaitu tsaqâfah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum Islam; bahasa Arab; sirah Nabi Saw, ulumul Qur’an, tahfizh al-Qur’an, ulumul hadis, ushul fiqh, dll.
2. Ilmu yang dikategorikan fadhu kifayah (kewajiban kolektif); biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.
Ketiga, menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Penguasaan IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu jika ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat, seperti kedokteran, kimi, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll.
Keempat, memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di dunia.
Sistem Pendidikan Islam
Agar pendidikan menghasilkan sumber daya manusia yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul.
Dalam hal ini, minimal ada 3 hal yang harus menjadi perhatian. Pertama, berorientasi pada pembentukan tsaqâfah Islam, kepribadian Islam, dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.
Kedua,sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Baik buruknya pendidikan anak di rumah akan berpengaruh pada beban sekolah/kampus dan berkontribusi pada persoalan di tengah-tengah masyarakat. Pada saat yang sama, situasi masyarakat memberi pengaruh kepada siswa. Jika ketiga komponen ini dapat bersinergi memberi pengaruh positif, maka pendidikan berjalan dengan relatif mudah. Sebaliknya jika salah satu komponen memberi pengaruh negatif, maka pendidikan memperoleh beban berat dalam mencapai tujuannya.
Ketiga, kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi. Kurikulum sebagaimana tersebut di atas dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan setiap anak didik pada setiap jenjangnya.
Selain muatan penunjang proses pembentukan kepribadian Islam yang secara terus-menerus diberikan mulai dari tingkat TK hingga PT, muatan tsaqâfah Islam dan Ilmu Kehidupan (IPTEK, keahlian, dan keterampilan) diberikan secara bertingkat sesuai dengan daya serap dan tingkat kemampuan anak didik berdasarkan jenjang pendidikannya masing-masing. Pada tingkat dasar atau menjelang usia balig (TK dan SD), struktur kurikulum bersifat mendasar, umum, terpadu, dan merata bagi semua anak didik yang mengikutinya.
Di tingkat dasar ini anak memperoleh hal-hal mendasar yang harus ditanamkan pada setiap anak sejak dini, seperti pengetahuan dasar keislaman, bahasa Arab dan menghafalkan alquran, minat terus belajar, juga keterampilan fisik seperti berenang, berkuda dan memanah. Di tingkat menengah yaitu sejak menjelang baligh, mereka sudah dapat menekuni berbagai jenis ilmu sesuai minatnya di samping keterampilan yang menunjang fungsinya dalam kehidupan. Penyediaan pilihan ilmu sesuai minat telah menghasilkan intelektual polymath di masa itu adalah, yakni mereka yang menguasai minimal tiga bidang ilmu secara mendalam, misalnya ilmu syariah, ilmu sejarah dan matematika, atau bahkan juga ditambah geografi, kedokteran dan astronomi. Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Ideologi sosialisme-komunisme atau kapitalisme-sekularisme, misalnya, dapat diperkenalkan kepada kaum Muslim setelah mereka memahami Islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain Islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan dan dipahami cacat-celanya serta ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia.
Dalam implementasinya, ketiga hal di atas menjadi orientasi dan panduan bagi pelaksanaan pendidikan.
Saat ini dunia membutuhkan sistem pendidikan yang mampu memajukan peradaban dunia dan memuliakan manusia, tak hanya muslim tapi bagi seluruh manusia. Sebab Islam adalah rahmatan lil 'alamin. Sistem pendidikan Islam dengan kekhasannya akan mampu mewujudkan integrasi ilmu dan agama. Sistem pendidikan Islam akan mampu mengubah potret kelam dunia pendidikan sekuler menjadi realitas pendidikan yang agung yang memuliakan manusia