Oleh: Nor Aniyah, S.Pd*
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Banua masih cukup memprihatinkan. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Kalsel mencatat, sepanjang 2018 mereka telah menemukan 214 kasus. Kepala Dinas P3A Kalsel memaparkan, jenis kekerasan terhadap perempuan dan anak yang paling mendominasi ialah kekerasan seksual. Dari 253 jenis kekerasan, 75 di antaranya merupakan kekerasan sosial. Disusul kekerasan psikis 60 kasus dan kekerasan fisik 59 kasus. Dia menjelaskan, kekerasan terhadap perempuan dan anak masih marak terjadi diakibatkan oleh sejumlah faktor. Di antaranya, kemiskinan, pergaulan, narkoba dan minuman keras. Kesalahan pola asuh juga dapat mempengaruhinya (kalsel.prokal.co).
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Banjarmasin menunjukkan tren kenaikan setiap tahunnya. Fenomena ini mengacu pada laporan tahunan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Banjarmasin. Ketua P2TP2A Kota Banjarmasin, mengatakan kasus kekerasan anak dan perempuan di Banjarmasin terus meningkat dalam dua tahun terakhir. “Kalau tahun 2016 saja kami mendapat laporan sebanyak 35 kasus, kemudian meningkat di tahun 2017 menjadi 37 kasus. Dan tahun 2018 terakhir, melonjak lagi menjadi 43 kasus,” ucapnya.
Menurutnya, ada lima indikator kasus kekerasan yang dilaporkan masyarakat ke P2TP2A. Kelima indikator ini mencakup kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, dan perdagangan manusia. Menginjak tahun 2019, ia memprediksi kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan makin memprihatinkan (m.kumparan.com).
Perempuan dan anak-anak selalu menjadi korban kekerasan. Faktor ekonomi ditengarai paling besar berpeluang memicu kekerasan ini. Solusi yang ditawarkan adalah perempuan harus mandiri secara ekonomi agar kekerasan terhadapnya bisa teratasi. Jadi, benarkah kekerasan yang menimpa perempuan dan anak karena kesalahan mereka sendiri yang tak mampu mandiri secara ekonomi?
Kebanyakan orang berpandangan bahwa untuk perbaikan ekonomi keluarga adalah dengan berpartisipasi menjadi pelaku ekonomi. Namun, hal ini hanya memalingkan perempuan dari penyebab hakiki kemiskinan. Padahal, sebenarnya perbaikan ekonomi keluarga tidak akan bisa diselesaikan oleh unit keluarga semata (ada peran negara dalam pengaturan politik ekonomi, dan ada tanggung jawab laki-laki dalam proses penafkahan). Selain itu, dikuasainya SDA lah yang memimbulkan dampak pada kemiskinan bangsa yang berujung pada buruknya perekonomian keluarga.
Faktanya, di dunia kerja yang eksploitatif pun kaum perempuan justru lebih banyak mengalami kasus kekerasan dan pelecehan ketika bekerja di ruang publik. Hal ini, karena kapitalisme tidak menempatkan perempuan sebagai kehormatan yang harus dijaga, tapi sebagai komoditas bisnis. Sehingga, banyak kalangan perempuan dan anak-anak di dunia pun merasakan penderitaan yang sama akibat diberlakukan sistem kapitalisme-demokrasi.
Perempuan merupakan tiang penyangga negara, dan anak sebagai aset negara yang sangat berharga. Memperjuangkan kesejahteraan dan perlindungan bagi ibu dan anak di tengah-tengah kehidupan sekuler, menjadi sebuah perkara yang mustahil. Dalam upaya melindungi perempuan dan anak, perlu sebuah tatanan sistemik yang mengatur tentang perlindungan pada perempuan dan anak. Yakni, hanya dengan sistem Islam.
Posisi perempuan dalam Islam sungguh mulia. Sebagai istri dan ibu buat anak-anaknya. Berada dalam perlindungan mahramnya. Perempuan tak wajib bekerja, tapi justru mereka ditanggung nafkahnya oleh suaminya atau mahromnya yang lain. Jika keluarga atau walinya tidak mampu menafkahi, maka nafkah perempuan ditanggung negara.
Perempuan boleh bekerja, tapi tidak wajib bekerja. Perempuan bekerja bukan karena tekanan ekonomi, tapi sebagai amal shalih bagi masyarakat. Sehingga tak ada peluang kekerasan menimpa mereka karena negara akan turut menjadi pelindung bagi seluruh warganya. Jika ada kekerasan menimpa mereka, maka sanksi hukum akan diterapkan bagi para pelaku kekerasan tersebut.
Penerapan sistem Islam secara kaffah akan meminimalkan faktor-faktor yang bisa memicu kasus pelanggaran dan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Namun, jika masih ada yang melakukan itu, maka sistem ‘uqubat (sanksi hukum) Islam akan menjadi benteng yang bisa melindungi masyarakat. Caranya dengan pemberian sanksi hukum yang berat, yang dapat memberikan efek jera. Khilafah Islamiyah akan mewujudkan sistem perlindungan menyeluruh bagi setiap keluarga, termasuk perempuan dan anak.
Sistem Islam akan menyejahterakan, menghapus kemiskinan, menjamin terjadinya distribusi pendapatan, menciptakan lapangan kerja yang luas bagi kaum laki-laki dan tidak menyerahkan pengelolaan SDA kepada asing sehingga hasilnya mampu memberikan layanan publik yang berkualitas. Dengan penerapan sistem ekonomi, pendidikan, aturan sosial, media, dan lainnya, khilafah akan memberikan jaminan perlindungan bagi perempuan dan anak. Keberlangsungan hidup perempuan dan anak-anak serta hak-hak lainnya akan terpenuhi, akan terlindungi baik secara fisik maupun secara mental di dalam naungan sistem Islam.[]
*) Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi. Berdomisili di HSS, Kalsel.