Mengunci Suara dengan Suap

Oleh : Ummu Himmah


Perhelatan akbar lima tahunan pesta demokrasi tnggal menghitung hari, berbagai persiapan telah dilakukan untuk bisa menikmati "roti kekuasaan". Bermacam strategi di rancang untuk mendapatkan kuncinya (suara) agar menang. 

Meski tak semua strategi yang dilakukan caleg dan paslon tersebut  mampu untuk meraih simpati dari rakyat si pemilik suara ini. Mulai dari kampanye terbuka, memasang foto mereka di baliho yang berjejer sepanjang jalan sampai dengan bagi-bagi souvenir  juga uang tunai yang sedang berjalan dan akan berjalan hingga hari H pesta demokrasi. 

Direktur Riset Charta Politika, Muslimin mengatakan praktik politik uang (money politic) dalam bentuk 'serangan fajar' atau pembagian uang di hari pencoblosan selama ini selalu terjadi di setiap pemilu di Indonesia. Menurut dia, banyak kandidat, seperti calon legislatif (caleg), melakukan 'serangan fajar' karena tidak percaya diri akan menang sehingga menempuh cara itu untuk 'mengunci suara' (Tirto.id 29/3/2019).

Bukan kali ini saja praktek money politic ini terjadi. Hampir setiap pemilihan umum baik pilkada atau pileg, money politic ini terjadi. Tidak semata kurang cerdasnya pemilih, namun lebih pada sikap pragmatis para caleg dan parpol yang ada. Mereka bersaing untuk mendapatkan suara terbanyak. 

Salah satu bukti masih maraknya praktik politik uang adalah temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menangkap anggota DPR dari Fraksi Golkar, Bowo Sidik Pangarso.  Dalam pengusutan kasus ini, KPK juga menyita uang milik Bowo senilai Rp 8 miliar yang diduga merupakan hasil penerimaan suap. KPK menduga duit itu akan dipakai oleh Bowo untuk "serangan fajar" jelang pemilihan legislatif pada 17 April mendatang. Uang Rp8 miliar itu ditemukan berupa pecahan Rp50 ribu dan Rp20 ribu yang dimasukkan dalam 400-an (Tirto.id 29/3/2019).

Dalam sistem demokrasi, semua individu  memiliki hak suara yang sama dimata hukum. Suara profesor dianggap sama dengan suara si gila. Jumlah perolehan suara bagi caleg itu penting hingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.

Uang yang diberikan oleh caleg kepada masyarakat, tujuannya menggiring calon pemilih untuk mendukung mereka, tanpa memandang baik dan buruknya yang dipilih. Karena itu bisa jadi uang ini diterima dalam rangka membela dan membenarkan kebatilan. Dan ini termasuk risywah (suap).

Suap, seluruhnya adalah haram, apapun bentuknya, baik sedikit maupun banyak, dengan cara apapun diserahkannya, dan dengan cara apapun harta itu diterimakan. Semuanya haram. Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah yang berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap di dalamm kekuasaan/pemerintahan. Ahmad meriwayatkan dari Tsauban ia berkata: Rasulullah saw melaknat penyuap, penerima suap dan orang yang menyaksikan 

Seluruh harta yang diperoleh dengan cara suap adalah harta haram dan bukan harta miliknya. Jadi harus dikembalikan (kepada pemiliknya), atau disita dan disimpan di baitul mal, karenadiperoleh dengan cara yang tidak syar’iy. Pelaksanaan hukuman, baik yang menyuap, yang disuap maupun perantara keduanya.

Di era Khilafah, pemilu juga pernah terjadi pasca wafatnya Amirul mukminin Umar bin Khattab. Ada 5 orang calon kholifah, yang mengerucur menjadi 2 saja yakni Utsman bin Affan dan Ali  bin Abi Thalib. Karena tidak boleh lebih dari tiga hari untuk didapatkan pengganti kholifah, maka  Abdurrahman bin Auf berkeliling ke rumah-rumah penduduk, bertanya pada mereka tentang pilihan mereka. Dan dalam waktu 3 hari diketahui hasilnya bahwa mayoritas penduduk memilih Utsman bin Affan. Kemudian dibaiatlah Utsman sebagai syarat penunjukan Khalifah. Mudah bukan ? Tidak ribet dan tidak butuh biaya besar. Mau??















Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak