Oleh : Ummu Himmah
Pangan merupakan kebutuhan mendasar setiap warga negara yang pemenuhannya harus dijamin oleh negara. Maka negara akan berusaha untuk menjamin ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup, mutu bahan pangan yang baik serta nilai gizi yang tinggi. Yang pemenuhannya sendiri bisa melalui peningkatan produktivitas pertanian hingga mampu swasembada pangan atau melalui jalur impor.
Sebagai negara agraris ternyata lahan pertanian Indonesia dinilai tak mampu menenuhi seluruh kebutuhan pokok tersebut. Terbukti Indonesia belum bisa keluar dari jeratan importisasi. Padahal bahan pangan yang diimpor justru bisa dihasilkan dinegri sendiri misalnya beras, kedelai, jagung, gula garam dan sebagainya.
Menurut peneliti dari Indef Bhima Yudhistira, sikap Prabowo Subianto yang tidak ingin mengimpor pangan ada yang bisa diwujudkan dan tidak. "Jadi kalau dilihat memang Indonesia ini tidak semua produk pertanian bisa diproduksi karena ada perbedaan iklim, kemudian perbedaan letak geografis," kata Bhima (detikFinance.com 31/3/2019).
Jadi sebenarnya cukup dengan pemilihan letak geografis untuk daerah prioritas pertanian, peningkatan produktivitas pertanian dan sistem pertanian yang tepat, Indonesia akan mampu berswasembada pangan. Kalaupun harus dilakukan impor untuk terpenuhinya ketahanan pangan ini maka kebijakan impor tidak akan merugikan petani atau negara.
Impor sebenarnya maklum dilakukan oleh negara dalam kaitannya dengan perdagangan luar negri. Namun perlu diperhatikan kebutuhan masyarakat dan waktu pelaksanaan impor. Misalnya saja gandum yang memang Indonesia tidak mampu memproduksinya. Dan tidak impor bahan pangan ketika sedang panen raya. Yang jelas merugikan petani. Ini biasanya tak lepas dari adanya mafia ekspor impor. Mengambil keuntungan ditengah penderitaan. Dalam sistem kapitalis yang memang mencari keuntungan hal ini lumrah terjadi.
Islam memandang bahwa kegiatan ekspor dan impor merupakan bentuk perdagangan (tijârah). Di dalamnya praktik jual-beli (buyû’) dengan berbagai bentuk dan derivasinya dilakukan. Hukum jual-beli itu sendiri dengan tegas dinyatakan boleh oleh syariah, sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran, surat al-Baqarah: 275. Karena itu, hukum asal perdagangan, baik domestik maupun luar negeri adalah mubah, sebagaimana hukum umum perdagangan.
Hanya saja, ada perbedaan fakta, antara perdagangan domestik dengan perdagangan luar negeri. Karena Khilafah adalah negara yang menerapkan hukum Islam, baik ke dalam maupun ke luar, maka perdagangan luar negeri ini pun harus diatur dengan hukum Islam. Perdagangan luar negeri ini, dalam pandangan Islam, tidak dilihat dari aspek barang yang diperdagangkan, tetapi dilihat dari orang yang melakukan perdagangan.
Dalam hal ini, mereka bisa diklasifikasikan menurut negara asalnya, menjadi tiga: (1) Kafir Harbi, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang bermusuhan dengan negara Islam dan kaum Muslim; (2) Kafir Mu’âhad, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang mempunyai perjanjian dengan negara Islam; (3) Warga negara Islam.
Terkait dengan warga negara kafir harbi, mereka diperbolehkan melakukan perdagangan di negara Islam, dengan visa khusus, baik yang terkait dengan diri maupun harta mereka. Kecuali warga negara Israel, Amerika, Inggris, Prancis, Rusia dan negara-negara kafir harbi fi’lan lainnya, sama sekali tidak diperbolehkan melakukan perdagangan apapun di wilayah negara Islam.
Adapun warga negara kafir mu’âhad, maka boleh dan tidaknya mereka melakukan perdagangan di wilayah negara Islam dikembalikan pada isi perjanjian yang berlaku antara Khilafah dengan negara mereka.
Sementara warga negara Khilafah, baik Muslim maupun non-Muslim (ahli dzimmah), mereka bebas melakukan perdagangan, baik domestik maupun luar negeri. Hanya saja, mereka tidak boleh mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri, sehingga bisa melemahkan kekuatan negara Khilafah, dan menguatkan musuh (Lihat, Masyrû’ ad-Dustûr, pasal 157).
Karena itu, dalam perdagangan, selain hukum jual-beli, Islam juga mengatur hukum lain yang terkait dengan kegiatan mediasi (wisâthah), yang pelakunya kemudian dikenal dengan makelar (broker) itu. Broker, atau dalam bahasa Arabnya, disebut Simsâr, berhak mendapatkan komisi (‘amûlah) dari hasil mediasinya. Hanya saja, Islam menetapkan posisi mereka harus benar-benar menjadi mediator antara pejual dan pembeli (wisâthah baina al-bâi’ wa al-musytari).
Jika makelar menghubungkan penjual dengan pembuat kebijakan agar disetujui perdagangannya dengan memberikan fee maka ini dilarang oleh islam. Praktik seperti ini bisa terjadi, dan dilakukan oleh politikus dari partai politik, karena memang aktivitas politik yang dilakukannya membutuhkan biaya besar. Maka, cara-cara seperti inilah yang banyak dilakukan. Bahkan, telah menjadi rahasia umum. Praktik seperti ini jelas merupakan pelanggaran hukum syara’. Tidak hanya itu, karena pelanggaran ini melibatkan nasib rakyat, di mana partai dan para penguasa itu seharusnya mengurusi urusan rakyat, maka tindakan ini juga bisa disebut mengkhianati rakyat. Praktik seperti tidak akan terjadi di dalam negara Khilafah. Jika pun terjadi, maka negara Khilafah akan memberlakukan sanksi tegas untuk menghentikan praktik ini.