Oleh: Yantie Ummu Iqbal
Pemerintah propinsi Lampung kembali menghelat acara tahunan yaitu Lampung fair. Pembukaan acara dilaksanakan dengan meriah (kumparan,19/4/2019 ). Beberapa artis ibu kota dan lokal turut serta meriahkan acara tersebut. Meski diguyur hujan , masyarakat bersuka cita menyambut acara tahunan ini. Seperti disampaikan pihak penyelenggara bahwa acara ini dilaksanakan lebih awal dari tahun sebelumnya. Lampung fair hadir sebagai bentuk promosi keberhasilan pembangunan di Bandar Lampung. Juga memperkenalkan berbagai macam hasil produksi dari berbagai usaha, baik secara makro maupun mikro. Dengan motto “Kilau Lampung, semarak Sumatera”.
Pemerintah daerah menyampaikan bahwa penting mengadakan Pameran pembangunan ini. Lampung sebagai pintu gerbang pulau sumatera memiliki posisi yang strategis. Hasil bumi yang melimpah juga objek wisata yang indah. Maka promosi adalah jalan mengenalkan potensi yang ada di propinsi ini. Tujuannya menarik investor lokal juga luar agar lebih mengenal kekayaan alam Lampung dan menanamkan modalnya di sini. Sehingga diharapkan lampung semakin berkembang sebagai wilayah yang maju. Dan mampu bersaing di era globalisasi saat ini.
Namun disayangkan, pengelolaan event ini diserahkan pada pihak ketiga. Jika beberapa tahun yang lalu masyarakat gratis menikmati perhelatan ini, namun tiga tahun terakhir, masyarakat harus merogoh kocek untuk membeli tiket. Bahkan untuk tahun ini tiket dinaikkan menjadi 15.000.
Sungguh aneh, acara yang sepenuhnya untuk rakyat, tak gratis lagi. Bahkan kini dijadikan ajang bisnis. Stand yang disiapkan harus sewa, masuk arena pameran beli tiket, titip kendaraan dipungut uang parkir. Semua harus diuangkan, tak ada hak rakyat yang diberikan secara gratis. Bukankah manfaat pameran pembangunan adalah agar rakyat mengetahui hasil kerja pemimpinnya , dan pencapaian pembangunan di propinsi ini? Bukankah ada Anggaran Belanja Daerah yang dapat dipakai untuk perhelatan ini? Lantas mengapa penguasa enggan mengeluarkan dana tersebut.
Liberalisasi ekonomi adalah penyebab semua ini. Induk dari ekonomi liberalisasi yaitu kapitalisme memang mensyaratkan kebijakan ini. Bahwa negara tidak wajib mengurusi urusan rakyatnya, Karena ini dianggap membebani Anggaran Belanja Daerah. Akhirnya Pengelolaan kepentingan rakyat diserahkan pada swasta. Dan rakyat harus membayar. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator saja. Pemerintah tidak ikut campur urusan ini. Tidak heran jika aroma bisnis berbalut pesta rakyat ada di sana . Pemerintah enggan menggunakan uang rakyat untuk kepentingan rakyat itu sendiri.
Asas sekuler yang diambil tidak menggunakan islam sebagai rujukan ketika mengatur urusan rakyat. Karena hanya azas manfaatlah yang diraih. Semua tentang uang dan uang. Kehidupan sekuler yang dominan dengan konsep pesta pora pada pembukaannya, sama sekali mengabaikan aturan yang ada dalam islam. Padahal penduduknya mayoritas adalah muslim.
Berbeda ketika islam dijadikan sebagai pengatur rakyat. Islam mewajibkan penguasa mengurusi urusan rakyatnya, tidak boleh mencari keuntungan se-rupiah pun. Semua kepentingan rakyat harus diberikan secara gratis. Karena sesungguhnya Allah telah melimpahkan kekayaan alam yang melimpah, dan penguasalah yang mengatur pendistribusiannya. Diolah dan dikembalikan lagi kepada rakyat. Politik dalam islam adalah ri’ayah suunil ummah. Bukan pula hanya mengajak rakyatnya untuk berpesta pora tanpa manfaat.
Seorang pemimpin dalam islam akan selalu mengajak rakyatnya taat kepada Allah secara kaffah (keseluruhan ). Karena sejatinya penguasa itu dipilih hanya untuk melayani rakyatnya, dan imbalannya hanya ridho Allah SWT. sebagaimana hadist rasulullah SAW:
“Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, ia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap rakyatnya. ” (HR al Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah SWT, pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang zalim."(HR Tarmizi )
Dalam Islam kelalaian mengurusi rakyat adalah dosa besar, dan tempatnya adalah di neraka.karena kelak para pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Hendaklah penguasa hari ini menyadari bahwa mengambil azas kapitalisme dan sekulerisme dalam mengatur urusan rakyatnya adalah sebuah bentuk kezaliman kepada rakyatnya sendiri. Saatnya meninggalkannya dan mengambil islam sebagai azas dalam mengatur rakyatnya. Wallahu’allam bishowab.[]
---
[Like and share, semoga menjadi amal sholih]
---
Join Komunitas Muslimah Cinta Islam Lampung di:
⬇️⬇️⬇️
Facebook: fb.com/DakwahMCI
Telegram: t.me/MuslimahCintaIslam
Instagram: @muslimah.cintaislam
---