sumber foto : google |
Fadhliyah
(Relawan Muslimah Cinta Quran)
Maraknya Korupsi di Indonesia sudah melampaui batas. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, hingga Desember 2015, terdapat 363 kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, 18 diantaranya gubernur. Sejak penerapan otonomi daerah sekitar 70% kepala daerah dan wakilnya (jawapos).
Baru-baru ini fenomena yang sangat memalukan itu berulang kembali. Korupsi/suap yang melibatkan ketua PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan Kemenag. Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi dalam seleksi jabatan di Kementerian Agama. Sabtu (16/3). (https://nasional.kontan.co.id/news/kpk-tetapkan-ketum-ppp-romahurmuziy).Tidak hanya di pusat, didaerah pun disinyalir melakukan kecurangan. KPK ultimatum jajaran Kemenag di Tanah Air ( www.viva.co.id).
Kapitalisme Biangnya!
Kasus ini menambah panjangnya kasus-kasus korupsi yang menyeret dewan yang katanya mewakili rakyat ini.bahkan menjadi miris dan memalukan bagi umat Islam sebab yang terjerat korupsi adalah wakil rakyat yang “agamis”.Saat ini, korupsi di Indonesia bisa dikatakan sudah menjadi budaya dari mulai tingkat rendah sampai tinggi. Bahkan, Indonesia sudah menjadi salah satu negara terkorup di dunia yang tentunya sangat memilukan. Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang secara gencar memberantas para koruptor, akan tetapi korupsi yang sudah berubah menjadi budaya ini terasa sangat sulit untuk dihentikan dan diberantas.
Korupsi yang kian mengganas bukan semata kesalahan induvidu saja namun sudah mengarah kepada bobrokan sistem politik yang diterapkan. Sistem politik demokrasi yang digadang-gadang pengangumnya sebagai institusi politik yang terbaik dan telah final ini telah menjadi lahan yang subur untuk menyemai korupsi. Sebab sistem politik demokrasi lahir dari paham sekularisme telah menjadikan ruang politik steril dari agama, maka wajar akan lahir individu-individu yang munafik.
Korupsi dan demokrasi seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan karena praktek demokrasi yang mengagungkan popular vote membutuhkan dana yang sangat besar, sehingga tidak ada jaminan bahwa orang baik akan selamat dari jeratan demokrasi ini, bahkan aparat Negara yang bergerak dibagian kementerian agama sampai para petugas partai politik Islam. Kebanyakan orang masih tersilaukan dengan demokrasi. Demokrasi dianggap sistem pemerintahan yang terbaik. Padahal demokrasi membawa cacat bawaan sejak lahirnya. Demokrasi yang masih menjadi anak kandung dari sistem sekuler dengan akidah pemisahan agama dari negara dan kehidupan menyebabkan nilai-nilai ketakwaan hilang dari politik dan pemerintahan. Tidak ada pada diri para politisi dan pejabat kesadaran senantiasa diawasi oleh Allah.
Kasus korupsi, suap, kongkalikong penguasa dan pengusaha semakin membuka mata umat. Ini kenyataan dan konsekuensi logis siapa pun yang bermain-main dengan demokrasi. Demokrasi sesungguhnya perangkap yang telah disediakan orang-orang kafir. Jebakan halusnya sering tidak disadari siapa pun. Jebakan demokrasi dibuat untuk menghentikan laju perjuangan partai yang ingin memperjuangkan syariat islam. Tidak jarang hasutan berupa kedudukan, uang, wanita, dan lainnya dijadikan alat.
Islam Mewujudkan Pemerintahan Bersih
Islam merupakan agama yang sempurna. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk urusan pemerintahan. Dalam Alquran, Hadis dan Fikih Islam, pemerintahan Islam dikenal dengan istilah Khilafah. Dalam pandangan Islam kekuasaan ada di tangan rakyat dan kedaulatan ada pada Allah (Alquran dan Hadis). Artinya kepala Negara (Khalifah) yang diangkat berdasarkan ridla dan pilihan rakyat adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan Alquran dan Hadis. Begitu pula pejabat-pejabat yang diangkat juga untuk melaksanakan pemerintahan berdasarkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Dalam Pemerintahan Islam pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota majelis ummah/majelis wilayah berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi. Karenanya pemilihan dan pengangkatannya bisa mendapatkan kandidat yang betul-betul berkualitas, amanah dan mempunyai kapasitas serta siap melaksanakan Alquran dan sunnah. Dari sinilah, maka secara mayoritas pejabat Negara tidak melakukan kecurangan, baik korupsi, suap maupun yang lain. Sekalipun demikian tetap ada perangkat hukum yang telah disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan oleh pejabat/pegawai negara.
Dalam pemerintahan Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan memperoleh gaji/tunjangan. Selain itu harta-harta yang yg diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang: korupsi, suap, mark up anggaran dll. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi daulah Khilafah hlm. 118-121).
Adapun langkah- langkah pemerintahan Islam (Khilafah) dalam mencegah dan menghilangkan korupsi/ kecurangan/ suap adalah sebagai berikut:
Pertama, waskat (pengawasan melekat). Pemerintahan Islam akan membentuk Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al amwal fi daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan. Ditambah lagi keimanan yang kokoh akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah.
Kedua, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Pemerintahan Islam memberikan gaji yang cukup kepada pejabat/pegawainya. Gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier. Disamping itu dalam pemerintahan Islam biaya hidup murah karena politik ekonomi negara menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif, akan digratiskan oleh pemerintah seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Sedangkan kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah. Disamping itu perekonomian dalam pemerintahan Islam akan digerakkan berbasis pada sektor riiil yang akan memberi lapangan kerja yang luas bagi rakyat. (Abdurrahman al Maliki, Politik Ekonomi Islam). Mengenai sistem moneter akan diterapkan sistem berbasis emas – terbukti anti inflasi. Karenanya harga-harga stabil dan rakyat tetap bisa menjangkau barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya. (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan dalam Daulah Khilafah)
Ketiga, ketakwaan individu. Dalam pengangkatan pejabat/ pegawai Negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karenanya mereka memiliki self control yang kuat. Sebagai seorang muslim akan menganggap bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan benar, karena akan dimintai pertanggung jawaban di dunia dan akhirat. Dengan demikian seorang muslim akan menjadikan amanah/jabatannya itu sebagai bekal masuk surga. Firman Allah swt,
"Hai orang-orang yang beriman) kepada Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam dan Alquran, (bertakwalah) takutlah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan (apa yang telah diperbuatnya) pahala/kebaikan (untuk hari esok-akhirat) apa yang dikerjakan untuk hari kiamat, maka engkau akan menemui pada hari kiamat apa yang kau kerjakan di dunia. Jika kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas dengan keburukan)); (Dan bertakwalah kepada Allah) takutlah kepada Allah apa yang kau kerjakan, (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan) baik kebaikan maupun keburukan" (TQS Al Hasyr :18).
Keempat, amanah. Dalam pemerintahan Islam setiap pejabat/pegawai wajib memenuhi syarat amanah. Yaitu wajib melaksanakan seluruh tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya Berkaitan dengan harta, maka calon pejabat/pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya saat menjabat pun selalu dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan, maka diverifikasi apa ada penambahan hartanya itu secara syar’i atau tidak. Jika terbukti dia melakukan kecurangan/korupsi, maka harta akan disita, dimasukkan kas negara dan pejabat/pegawai tersebut akan diproses hukum.
Kelima, penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras. pemerintahan Islam juga menetapkan aturan haramnya korupsi/suap/kecurangan. Hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Inilah cara yang dilakukan oleh Khilafah Islam untuk membuat jerah pelaku korupsi/suap/kecurangan dan mencegah yang lain berbuat. Khalifah Umar juga pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah-saat itu menjadi gubernur Syam. (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123).
Karena itu, jika benar-benar ingin menghilangkan korupsi dari bumi Indonesia, maka selain harus dibersihkan dari birokrat yang korup, negeri ini juga harus dibersihkan dari sistem yang korup, yaitu sistem Sekuler–Kapitalistik, bahkan menggantinya dengan sistem yang berasal dari Allah yakni sistem Khilafah Islamiyah. Wallaahu a’lam.