Oleh: Rosmita (Aktivis Dakwah)
Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf, Lukman Eddy mengatakan bahwa tahun 2019 adalah pemilu terbaik. Sebab, pemilu kali ini memiliki jumlah partisipasi yang tinggi, yaitu 77 persen dari target KPU. Bahkan, pemilihan presiden mencapai 80 persen (Liputan6.com).
Pernyataan tersebut sungguh berbanding terbalik 180 derajat dengan kenyataan di lapangan. Karena faktanya pemilu tahun ini begitu banyak menimbulkan kisruh hingga berujung pilu.
Dari mulai ditetapkannya orang dengan gangguan jiwa sebagai pemilih, persiapan logistik berupa kotak suara berbahan kardus, bocoran soal pertanyaan untuk debat Capres-Cawapres, sampai proses pelaksanaan pemilu yang rumit.
Dalam proses pemilu tahun ini seorang pemilih akan mendapat 5 surat suara yang berbeda yang harus dicoblos. Pertama, surat suara berwarna abu-abu untuk memilih presiden dan wakilnya. Kedua, warna hijau untuk memilih anggota legislatif DPRD kabupaten/kota. Ketiga, warna biru untuk DPRD Provinsi. Keempat, warna kuning untuk DPR RI. Dan kelima, warna merah untuk DPD RI.
Dengan demikian ada jenis 5 surat suara yang harus dicoblos oleh seorang pemilih dan 5 kotak suara yang harus dihitung oleh petugas KPPS. Hal ini membuat beban kerja petugas KPPS, panitia pengawas pemilu, dan polisi yang mengamankan pemilu bertambah berat, hingga menyebabkan mereka kelelahan dan sakit, bahkan meninggal dunia.
Seperti dilansir oleh Tribunnews.com, Selasa (23/4/2019) - Setidaknya sebanyak 167 orang meninggal dunia saat melaksanakan tugas sebagai penyelenggara Pemilu Legislatif (Pileg) yang diselenggarakan serentak dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Mereka adalah 119 orang petugas KPPS, 33 orang Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), dan 15 anggota polisi yang mengawal logistik dan mengamankan TPS. Selain itu, masih terdapat 459 orang petugas yang jatuh sakit yang tersebar hampir di seluruh provinsi.
Selain memakan korban jiwa pemilu tahun ini juga menyisakan masalah lainnya.
Ratusan petugas KPPS di Sleman menagih honor yang belum dibayarkan. Pihak kantor KPU Sleman pun berjanji akan membayarkan honor petugas KPPS selambat-lambatnya 23 April 2019 pukul 24.00 WIB.
Bagaimana mungkin honor petugas KPPS bisa belum dibayarkan? Padahal dana yang dikeluarkan mencapai 24,8 trilyun rupiah meningkat sekitar 700 miliar dibandingkan Pemilu 2014, yang diselenggarakan dengan biaya 24,1 triliun.
Kisruh pemilu 2019 membuktikan bahwa rakyat tidak bisa berharap bahwa pemilu benar-benar menjadi sarana untuk melakukan perubahan. Inilah bukti kegagalan sistem demokrasi, selain berbiaya tinggi pemilu juga tidak dapat membawa perubahan yang berarti. Faktanya Indonesia sudah berapa kali ganti pemimpin, tapi tidak juga ada perubahan, karena sampai kapan pun demokrasi tidak akan membawa kepada kebaikan dan kemaslahatan untuk umat.
Sampai saat ini SDA yang dimiliki negara ini masih dikuasai oleh segelintir orang, baik pribumi maupun asing. Hutang negara terus bertambah. Lapangan pekerjaan sulit, harga-harga melangit. Rakyat miskin tambah sengsara. Kerusakan moral remaja juga kian parah.
Penyebabnya adalah sistem demokrasi yang melahirkan asas sekulerisme yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Asas ini membuat manusia tidak lagi mematuhi aturan Allah Sang Pencipta, hasilnya kerusakan demi kerusakan yang terjadi dan musibah datang silih berganti.
Sebagaimana firman Allah Swt: "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (Qs. Ar-Ruum :41)
Demokrasi juga melahirkan asas liberalisme, yaitu kebebasan dalam beragama, kebebasan dalam berpendapat, kebebasan dalam berperilaku, dan kebebasan dalam hal kepemilikan. Asas inilah yang menyebabkan manusia bebas berbuat sesuka hati atas dasar hak asasi manusia. Selain itu, asas ini juga yang menyebabkan SDA negara ini bebas dikuasai oleh segelintir orang. Padahal dalam Islam SDA adalah harta milik umum yang harus dikelola oleh negara dan digunakan untuk kemaslahatan rakyat.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw : "Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara yaitu air, padang rumput dan api." (HR. Ahmad)
Oleh karena itu harus ada perubahan yang hakiki, tak cukup hanya mengganti rezimnya saja. Tetapi juga harus mengganti sistem demokrasi dengan sistem Islam. Karena hanya sistem Islam yang akan memberikan keberkahan dan kesejahteraan. Terbukti selama lebih dari 14 abad silam Islam berjaya memimpin negeri dibawah naungan khilafah.
Dalam sistem Islam, hanya aturan Allah yang wajib diterapkan yaitu aturan yang bersumber dari Kalamullah (Alquran) dan sunah Rasulullah. Memilih pemimpin dalam Islam bukan soal banyak-banyakan suara, tapi harus sesuai dengan hukum syara'. Pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria seorang pemimpin, yaitu: muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, dan memiliki kapabilitas dalam mengurus rakyat.
Proses yang dilakukan pun sederhana dan tidak memerlukan banyak biaya, yaitu pembai'atan oleh umat. Dalam akad bai'at tersebut seorang khalifah diberikan kekuasaan untuk mengatur urusan rakyat sesuai dengan hukum-hukum Allah. Khalifah juga wajib memutuskan perkara berdasarkan Alquran dan Assunah bukan hukum buatan manusia. Insyaa Allah negara ini akan makmur dan sejahtera, dan Allah akan limpahkan keberkahan dari langit dan bumi.
“Dan jika penduduk negeri beriman dan bertaqwa (kepada Allah) sesungguhnya Kami (Allah) bukakan kepada mereka (pintu-pintu) berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka lantaran apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. Al-A’raf: 96)
Wallahu a'lam bishowab.