sumber gambar: google |
Ummu Zhafran
(Grup Ibu Cinta Quran)
Melihat riuh pemilu mengharu-biru, tapi negeri tetap saja terbelenggu_ Najwa Shihab
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia pada penyelenggaraan Pemilu 2019 bertambah menjadi 225 orang.
"Data hingga pukul 18.00 WIB sebanyak 225 petugas KPPS wafat dalam bertugas," kata komisioner KPU, Viryan saat dihubungi wartawan. (cnnindonesia, 25/4/2019).
Selain itu, Viryan turut merinci petugas KPPS yang turut mengalami sakit dengan jumlah 1.470 orang. Sehingga, total keseluruhan antara petugas yang meninggal dan sakit sebanyak 1.695 orang.
Memprihatinkan. Siapa sangka pesta rakyat yang dielu-elu nyatanya berujung pilu. Dengan anggaran sebesar 25,59 triliun Pemilu kali ini mencatat sejarah paling banyak memakan korban. (kemenkeu.go.id, 26/3/2019) Miris. Jika terus bertambah, tak salah jika diistilahkan Pemilu lalu dengan Pemilu rasa bencana alam.
Terhadap hal ini Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menyatakan kalau kejadian tersebut bukanlah hal yang wajar, mengingat banyaknya korban yang meninggal dan jatuh sakit. (teropongsenayan, 24/4/2019).
Akar Persoalan
Dengan jumlah penduduk 267 juta jiwa (katadata.co.id, 2019) memang dibutuhkan mekanisme Pemilu. Tujuannya tak lain untuk memilih figur-figur yang akan mengisi kursi di jajaran pemerintahan. Sehingga dapat dikatakan Pemilu merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan yaitu terpilihnya sosok pemimpin.
Sebagai sebuah cara tentu tak ada yang salah dengan Pemilu. Lazimnya usai proses pemilihan maka terpilihlah pemimpin baru yang siap menjalankan amanah kepemimpinan.
Lalu mengapa sampai terjadi rentetan peristiwa duka di atas?
Masalahnya ada pada tataran ideologi yang menaungi Pemilu hari ini. Yaitu demokrasi-kapitalisme. Ideologi yang mengandung cacat bawaan sejak lahirnya.
Pertama, menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Dengan kata lain menjadikan hak membuat hukum ada pada manusia. Manusia bebas membuat aturan untuk dirinya sesuai kepentingannya. Celakanya bila hanya segelintir orang yang mengklaim diri sebagai wakil rakyat yang menetapkan aturan. Tentu dibuat sesuai kepentingan dan kemaslahatannya. Termasuk misalnya merumuskan aturan mengenai indikator kemenangan calon pemimpin.
Jujur saja, dari sinilah potensi kecurangan bermula. Ya, sebab standar kemaslahatan bagi sekelompok orang adakalanya berbeda dengan kelompok yang lainnya. Wajar bila di ujungnya berisiko petaka minimal pelanggaran akibat konflik kepentingan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat terjadi 7.132 pelanggaran selama penyelenggaraan Pemilu 2019, baik terkait Pileg maupun Pilpres 2019. (cnnindonesia, 23/4/2019).
Sayangnya meski realitas tersaji tetap saja tak banyak yang sedia mengakui borok demokrasi ini. Kepiawaian media sebagai perpanjangan tangan penguasa sukses menyulap cacat terlihat seolah mulus tanpa noda.
Kedua, mengingat calon harus memenangkan suara terbanyak untuk mencapai kekuasaan, maka mau tak mau harus ada usaha untuk merebut hati rakyat. Serba -serbi kampanye pun harus dilakoni. Mulai dari baliho, pamflet, kartu nama, iklan televisi, akomodasi serta janji fulus yang menanti. Semua bermuara pada dana. Semakin besar dana yang dimiliki maka semakin banyak sarana kampanye yang bisa diakses. Kasus Bowo Sidik yang tertangkap dengan 400 ribu amplop berisi uang yang katanya akan digunakan untuk serangan fajar salah satu buktinya. (kompas.com,10/4/2019).
Bagaimana jika kantong tipis setipis kartu yang tidak pula sakti? Usah cemas tersedia jalannya. Dengan menggandeng para sponsor yang siap menggelontorkan dana. Simbiosis mutualisme sudah tentu terjalin sebab asas no free lunch masih dipegang teguh para kapitalis alias pemodal. Di poin ini bahaya mengintai. Sebab rakyat tak lagi jadi tempat mengabdi. Posisinya digantikan dengan para pemilik modal yang menyertai. Jadilah Pemilu bukan lagi sekedar suka cita rakyat memilih pemimpin tapi lebih sebagai kumpulan transaksi untung rugi. Tak peduli walau banyak jiwa harus melayang pergi.
Sampai di sini tak jauh beda dengan ramalan Plato. Ia meramalkan bahwa semua pemerintahan demokratis pasti akan menimbulkan kekacauan dan anarki. Bahkan Plato menyimpulkan bahwa satu-satunya hasil logis dari demokrasi adalah tirani. (Ancient Origins).
Demikianlah bagai surya di siang hari, demokrasi sejatinya hanya ilusi. Asa memiliki pemimpin yang melayani dan mengurusi rakyat baru sebatas mimpi. Entah kapan jadi nyata. Terlebih jika menyimak kecurangan demi kecurangan yang hadir secara masif dan terstruktur rapi. Walaupun bukti culas terserak di berbagai media sosial tetap saja berkelit ala jurus Machiavelli. Menempuh segala cara demi tujuan yang ingin dicapai meski halal haram ikut tergadai.
Butuh Solusi Mudah, Murah dan Membawa Berkah
Harus diakui momen Pemilu kali ini membuat demokrasi semakin menunjukkan wajah aslinya. Harusnya tak butuh waktu lama untuk menyingkap bopeng di balik mimpi keadilan dan kesejahteraan yang dijanjikan demokrasi. Hanya saja mesti ada upaya memahamkan umat tanpa henti akan hal ini. Agar semakin banyak yang menyadari kebobrokan demokrasi dan menolak untuk ditipu yang ke sekian kali.
Andai rakyat negeri zamrud khatulistiwa yang mayoritas umat Islam ini kembali pada ajaran yang diwariskan baginda Rasulullah saw. Yaitu Islam yang sempurna diturunkan dari Yang Maha Pencipta alam semesta. Niscaya musibah seperti ini bisa terhindarkan.
Sebab bertentangan dengan demokrasi, syariat menuntun masalah kepemimpinan ini dengan mudah dan sederhana. Dalam Islam kedaulatan ditetapkan hanya milik Allah dan kekuasaan ada di tangan umat. Sebagaimana firman Allah swt.,
“Tidak ada hukum kecuali hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (TQS Yusuf:40).
Dengan kata lain Islam mengakui Allah Swt. satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-hákim) dan syariat (al-musyarri’), baik dalam perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqûbat (sanksi-sanksi).
Sedangkan kekuasaan diberikan kepada umat. Artinya, umatlah yang diberi hak untuk memilih siapa yang menjadi penguasa yang akan menjalankan seluruh syariat Allah swt. Namun penguasa atau pemimpin yang dipilih harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan Islam. Yaitu memenuhi syarat sah (syurûth al-in’iqâd) terdiri dari Muslim, baligh, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kepemimpinan.
Selanjutnya dalam ketentuan syariat seorang pemimpin hanya bisa meraih kekuasaan melalui baiat. Dari Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:
"Kami membaiat Rasulullah saw. untuk setia mendengarkan dan menaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi atau pun kami benci, dan benar-benar kami dahulukan." (HR Muslim).
Berdasarkan hadis tersebut seorang pemimpin mendapatkan kekuasaan semata-mata dari umat melalui baiat. Bahkan Rasulullah saw., meskipun beliau berkedudukan sebagai rasul, tetap saja mengambil baiat dari umat, baik dari laki-laki maupun perempuan. Demikian juga yang dipraktikkan oleh al-khulafâ’ al-râsyidûn. Mereka semua menjadi khalifah setelah mendapatkan baiat dari umat.
Dalam akad baiat tersebut, kekuasaan yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem demokrasi. Melalui metode baiat ini tampak keberkahan syariat Al-Khaliq yang mustahil zalim pada makhluk-Nya. Alih-alih sampai menimbulkan korban kelelahan akibat proses yang berliku juga mahal, sebaliknya akan menghadirkan rahmat dari Allah. Dengan terwujudnya baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur bersama pemimpin yang kredibel, jujur, amanah, terpenting mencintai dan dicintai segenap rakyat. Wallaahu a’lam.