Oleh: Ria Khairiyyah
Siswi MAS Plus Darul Hufadz
(Kumparan.com) Setelah keran demokrasi dibuka pasca jatuhnya Orde Baru, besarnya geliat pengaruh organisasi pergerakan Islam transnasional di Indonesia, tak terkecuali HTI, biasanya dimulai dari kampus dan perkotaan. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Di Indonesia, Hizbut Tahrir sebagai pengusung wacana Khilafah masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis aktivitas dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir semakin merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan. Hizbut Tahrir, menurut situs resminya, mengklaim diri sebagai organisasi politik, bukan organisasi kerohanian, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula lembaga sosial. Definisi ini sangat bisa kita kritisi. Mengapa? Sebab kelak kita ketahui, bahwa terdapat ketidaksatuan antara definisi gerak keorganisasian dengan gerak mereka dalam memperluas sayap gerakan. Kenyataannya, mereka menggunakan alibi dakwah alih-alih sikap keterusterangan sebagai organisasi politik yang merongrong sistem kebinekaan NKRI. Sebagai organisasi politik, kader HTI tidak pernah berterus terang pada calon target pasar mereka di awal “jualan” ide khilafah. Barangkali mereka memang kesulitan membumikan ide-ide politik khilafah ke dalam bahasa yang dapat diterima manusia awam Indonesia. Seperti umumnya gerakan Islam transnasional lain, kader HTI akan memakai strategi indoktrinasi yang menyebut gerakannya sebagai dakwah yang ingin menegakkan syariah Islam sebab mereka percaya bahwa sumber-sumber kerusakan di bumi ini berlangsung karena syariah Islam tidak ditegakkan. Setelah itu, barulah mereka memberi provokasi bahwa demokrasi adalah haram, nasionalisme tidak ada dalilnya, dsb.
Pluralitas adalah keberagaman atau kemajemukan yang terdapat dalam suatu bangsa yang mendorong tumbuhnya persatuan dan kesatuan. Sedangkan Pluralisme, terdiri dari dua kata plural dan isme yang berarti paham atas keberagaman. Definisi dari pluralisme seringkali disalahartikan menjadi keberagaman paham yang pada akhirnya memicu ambiguitas.
Menuduh tanpa dalil pula bahwa khilafahtidak adanya pluralitas dalam khilafah, yakni mengharuskan semua rakyatnya untuk beragama islam dan dan mendiskriminasi rakyat nonmuslim.
Pengelolaan keberagaman dalam sistem sekuler mengandung penghalalan hal yang haram, dan pengharaman hal yang halal seperti mensuburkan keberagaman yang dilarang oleh Allah SWT. misalnya; Perilaku LGBT, Pemikiran Kufur, Aliran sesat dan lain sebagainya dan menjadikan itu sebagai hal yang biasa ditengah umat. Menjadikan umat yang benar benar mereka berasaskan sekuler, pemisahan agama dari kehidupan. Umat yang akan terbiasa dengan terjadinya zina dan kejahatan lainnya dan juga cenderung sungkan dan tak mau untuk berurusan dengan politik sekalipun politik islam.
Pada kenyataannya pluralitas dalam khilafah dikelola dengan tuntunan syara' untuk melahirkan kebahagiaan tanpa diskriminasi. Bahwa khalifah sendirilah yang akan melindungi seluruh umat yang berada dibawah naungan kekhilafahan sekalipun non-muslim atau disebut kafir zimi yakni kafir yaitu non-muslim yang dirinya mau untuk tunduk dan begabung bersama kekhilafahan.
Wallahu’alam Bi Shawwab.
Profil Penulis :
Nama : Ria Khairiyyah
Siswi MAS Plus Darul Hufadz
Rancaekek-Bandung