Oleh: Darlina
(Praktisi Pendidikan Peduli Generasi)
Mencoba mengkritisi peryataan prof.Dr.Mahfud MD dalam dialog kebangsaan di stasiun merak pada tanggal 18 februari 2019 yg bertemakan "Merawat modernisasi Agama".
Beliau mengatakan bahwa islam sebenarnya tidak mengenal khilafah (sumber merdeka.com), dan ada sebagian intelektual yg mengatakan Alqur'an & sunah tidak pernah mewajibkan untuk mendirikan negara islam (khilafah), bahkan ada yang menyatakan bahwa Alquran & sunnah juga tidak pernah menyabut negara islam.
Benarkah begitu realitas sejarah peradapan islam?
Kalau dikatakan islam tidak mengenal khilafah sebagai sistem bernegara, maka sejarah mengatakan bahwasanya Rasullullah mendirikan negara di madinah & Rasulllullah yang menjadi kepala Negaranya. Rasullullah melakukan diplomasi ke Negara lain dengan mengirim utusan ke Rum, Persia dll.
Rasullullah melakukan pengelolaan zakat yang itu merupakan bagian dari sistem perekonomian, Rasullullah memberlakukan potong tangan bagi pancuri & pezina dirajam sebagai bentuk sanksi tethadap pelanggaran di tengah-tengah masyrakat.
Rasulullah menerapkan islam sebagai sebuah sistem bernegara. Memang benar pada saat itu tidak ada khalifah karena nabi sendiri yang memimpin Negara. Namun setelah Nabi wafat, beliau digantikan para sahabatnya dengan tetap menerapkan islam sebagai sebuah sistem pemerintahan yang memiliki karakteristik tersendiri, mulai dari khulafaur rasyidin hingga berakhir kekhalifahan islam ustmani pada tanggal 3 maret 1924.
Masa kekhalifahan islam membentang dalam kurun waktu 1300 tahun. Kemampuan sistem ini bertahan ratusan tahun karena didukung sistem yang di dalamnya diterapkan hukum Allah dalam menjalankan kehidupan bernegara.
Alquran dan Sunnah tidak pernah mewajibkan untuk mendirikan Negara Islam (khilafah). Pernyataan ini muncul karena dua kemungkinan. Pertama , karena merasa tertuduh, terutama ketika Negara Islam telah menjadi monster yang menakutkan, sehingga takut. Kedua, karena tidak tahu atau tidak menemukan, bahwa Negara Islam tersebut memang ada di dalam Alquran dan Sunnah.
Kedua pendapat tersebut sama sekali tidak mewakili Islam,mBahkan, pandangan yang muncul dari keduanya sama-sama tidak mempunyai nilai apapun dalam ajaran Islam.
Masalah negara ini merupakan masalah ma’lum[un] min ad-din bi ad-dharurah (perkara agama yang sudah diyakini/diketahui kepentingannya). Karena itu, adanya negara ini hukumnya wajib. Kewajibannya pun telah disepakati oleh para ulama, baik Ahlussunnah, Syi’ah, Khawarij maupun Muktazilah (Lihat, al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilafi al-Mushallin, Juz II/149).
Imam an-Nawawi, dalam kitabnya, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin menyatakan, bahwa mendirikan imamah hukumnya Fardhu Kifayah. Jika hanya ada satu orang (yang layak), maka dia wajib diangkat. Jika tidak ada yang mengaju kannya, maka imamah itu wajib diusahakan (Lihat, an-Nawawi, Raudhatu at-Thalibin wa ‘Umdatu al-Muftin , Juz VIII/369). Imamah yang dimaksud oleh Imam an-Nawawi di sini tak lain adalah Khilafah, atau Negara Islam.
Karena itu, tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa Nabi Muhammad, selain sebagai Nabi dan Rasul, baginda SAW adalah kepala negara. Ini dibuktikan dengan firman Allah SWT yang menitahkan, bahwa tugas Nabi dan Rasul hanya tabligh (menyampaikan risalah): “Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Q.s. an-Nur [24]: 54)
Dan faktanya banyak nash Alquran memeritahkan kepada Baginda SAW untuk memotong tangan pencuri (QS al-Maidah [05]: 38), mencambuk pezina (QS an-Nur [24]: 3), memerintah berdasarkan hukum Allah (QS al-Maidah [05]: 49), memerangi kaum Kafir (QS at-Taubah [09]: 36), menumpas perusuh (QS al-Maidah [05]: 33). Sedangkan tugas-tugas di atas adalah tugas yang lazimnya dijalankan oleh kepala negara.
Dari dua kategori nash di atas, yaitu nash yang menyatakan Nabi Muhammad SAW sebagaimana Nabi dan Rasul yang lain hanya diberi tugas untuk tabligh , tetapi nash-nash lain memerintahkan Nabi Muhammad untuk melakukan tugas-tugas negara, maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa Nabi Muhammad bukan hanya Nabi dan Rasul, tetapi juga kepala negara. Ini berbeda dengan Nabi Musa, Isa, Ibrahim, Nuh - ‘alaihim as-salam, yang hanya diberi tugas untuk tabligh . Ini kemudian dipertegas oleh Nabi sendiri: “Dahulu Bani Israil diurus oleh para Nabi. Ketika seorang Nabi telah wafat, maka digantikan oleh Nabi yang lain. Bahwa, tidak akan ada seorang Nabi pun setelahku, dan akan ada para khalifah. Jumlah mereka pun banyak.” (HR Bukhari)
Sabda Nabi yang menyatakan, Wa innahu la nabiyya ba’di, wa sayakunu khulafa’ fa yaktsurun (Bahwa, tidak akan ada seorang Nabi pun setelahku, dan akan ada para khalifah. Jumlah mereka pun banyak ) membuktikan, bahwa posisi Baginda SAW sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir tidak tergantikan.
Sementara posisi Baginda yang lain, yaitu kepala negara yang bisa digantikan. Dan pengganti Baginda SAW adalah Khalifah, yang memerintah secara berkesinambungan, sehingga jumlahnya banyak.
Semuanya ini membuktikan, bahwa ajaran tentang negara jelas dinyatakan dalam nash, khususnya Sunnah, dengan istilah Khilafah (HR Ahmad dari Nu’man bin Basyir), dan pemangkunya disebut Khalifah (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Karena itu, istilah Khilafah dan Khalifah adalah istilah syariah, yang digunakan oleh nash syariah, sebagaimana Shalat, Zakat, Jihad dan Haji, untuk menyebut negara dengan konteks dan konotasi yang khas. Konteks dan konotasi Khilafah itu tak lain adalah negara kaum Muslim di seluruh dunia yang dibangun berdasarkan akidah Islam, untuk menerapkan hukum-hukum syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Negara kesatuan, bukan federasi maupun persemakmuran; bukan monarki, baik absolut maupun parlementer; bukan pula republik, baik presidensiil maupun parlementer; bukan pula demokrasi, teokrasi, autokrasi maupun diktator. Itulah Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.
Tentang penggunaan istilah Negara Islam (ad-Daulah al-Islamiyyah ), memang tidak pernah digunakan oleh Alquran dan Sunnah. Karena istilah Daulah adalah istilah baru, yang diambil dari khazanah di luar Islam. Awalnya istilah ini digunakan oleh para filosof Yunani Kuno, seperti Plato dan Aristoteles. Sementara umat Islam baru berinteraksi dengan filsafat Yunani, ketika mereka menaklukkan Mesir dan Syam pada zaman Umar bin al-Khatthab. Namun, istilah Daulah saat itu juga belum digunakan. Baru setelah buku-buku filsafat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada zaman Khilafah Abbasiyah, mulailah istilah tersebut dikenal oleh kaum Muslim. Kata Daulah digunakan untuk menerjemahkan kata
State , yang digunakan oleh Plato maupun Aristoteles dalam buku mereka.
Namun, karena istilah Daulah ini bisa miss understanding, maka para ulama kaum Muslim ketika menggunakannya untuk menyebut Khilafah, mereka pun menggunakan kata Daulah dengan tambahan sifat Islamiyyah di belakangnya, sehingga mulailah kata ad-Daulah al-Islamiyyah digunakan untuk menyebut Khilafah. Ini bisa dilacak pada tulisan Ibn Qutaibah ad-Dainuri (w. 276 H), dalam kitabnya, al-Imamah wa as-Siyasah , yang ditulis pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Boleh dikatakan, Ibn Qutaibahlah ulama yang pertama kali menggunakan istilah tersebut sebagai padanan dari istilah Khilafah.
Setelah itu, diikuti oleh Yaqut al-Hamawi (w. 626 H) dalam Mu’jam al-Buldan, Ibn Taimiyyah (w. 726 H) dalam Majmu’ al-Fatawa , Ibn Katsir (w. 774 H) dalam al-Bidayah wa an-Nihayah , dan Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam Muqaddimah dan Tarikh Ibn Khaldun. Inilah fakta normatif eksistensi Negara Islam atau Khilafah dalam khazanah klasik. Selain fakta normatif, juga ada fakta empiris yang telah membuktikan eksistensinya, baik dalam bentuk perundang-undangan yang pernah diterapkan pada zamannya, maupun peninggalan fisik yang hingga kini masih berdiri kokoh di negeri-negeri kaum Muslim.
Maka, sangat memalukan jika ada intelektual atau ulama yang menyatakan, bahwa Alquran dan Sunnah tidak pernah mengajarkan tentang Negara Islam. Pernyataan yang sebenarnya tidak akan mengurangi sedikit pun kelengkapan dan keagungan ajaran Islam. Sebaliknya, justru meruntuhkan kredibilitas mereka sebagai intelektual ulama. Wajar, jika karena alasan yang sama, Hai’ah Kibar Ulama’ al-Azhar di masa lalu telah mencabut seluruh gelar dan ijazah yang telah diberikan kepada Ali bin Abd ar-Raziq. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]
---
[Like and share, semoga menjadi amal sholih]
---
Join Komunitas Muslimah Cinta Islam Lampung di:
⬇️⬇️⬇️
Facebook: fb.com/DakwahMCI
Telegram: t.me/MuslimahCintaIslam
Instagram: @muslimah.cintaislam
---