Oleh Kanti Rahmillah, M.Si (Revowriter Purwakarta)
Tahun 2014, pelantikan Presiden baru yang disambut pesta rakyat itu, menimbulkan tanda tanya besar. Harapan terhadap pemimpin yang mampu mengayomi rakyat. Sungguh terlampau besar, hingga melebihi kenyataan. Rakyat yang lugu, berharap sosok sederhana mampu bersahaja. Berempati pada sulitnya perjuangan hidup di era perdagangan bebas. Hingga akhirnya, seluruh kebijakannya diharapkan selalu memakai kacamata “wong deso”.
Padahal, masih terngiang dalam ingatan, ucapan pemimpin baru itu, tak sesuai dengan realita. Katanya ingin menjadikan Indonesia berdaulat dalam bidang politik? Pada kenyataannya, setidaknya ada 17 pemimpin dunia yang menyaksikan pelantikan Presiden baru Indonesia. Sehingga sudah bisa dipastikan, kepentingan asing, tak mungkin lepas dari kebijakan negeri ini.
Namun yang ingin saya ungkapkan kali ini, bukan hanya sekedar janjinya yang tak ia tepati. Lebih dari itu, ada satu hal yang mengusik hati nurani. Hati seorang hamba yang mengabdi pada pencipta langit dan bumi. Bahwa hari ini, agama suci yang dibawa nabi, telah tercabik di negeri Islami. Negri mayoritas muslim, tak menjadikan penguasa negeri ini mengagungkan ajaran Illahi Rabbi.
Masih segar dalam ingatan, saat suara azan dipermasalahkan. Mengganggu katanya. Khutbah shalat Jum’at diawasi. Takut paham radikal menyebar, katanya. Padahal, definisi radikal hanya dialamatkan pada Islam. Apalagi para ulama kami. Banyak yang dikriminalisasi. Hukum tajam pada Muslim, lihat saja Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dan Ustadz Habib Rizieq. Sungguh, tuduhan pada mereka, adalah tuduhan murahan yang tak masuk akal.
Semakin sakit hati, saat rezim panik mencabut Badan Hukum Ormas Islam yang sangat mencintai negeri ini. Hanya karena menyuarakan Khilafah. Makar, katanya. Padahal, Khilafah adalah ajaran Islam. 4 imam mazhab telah sepakat. Dan telah jelas dalilnya dalam Al quran dan Assunah.
Bukan hanya ormas, bahkan pengajian Ta’lim biasa dibubarkan. Persekusi kerap terjadi pada ceramah para Ulama kami. Sebut saja Ustadz Abdul Somad dan Ustadz Felix Siaw.
Jadi, jangan salahkan kami, jika perilaku rezim saat ini di sejajarkan dengan perilaku penguasa penentang Nabi. Abu Jahal dan konco-konco nya. Saat penguasa lebih memilih pergi ke Bandung, saat jutaan umat hadir di Monas, menuntut penjarakan penista agama. Sangat terlihat keberpihakannya.
Sekarang masalah Palestina, alhamdulillah, negeri ini diberkahi berlimpahnya tentara-tentara yang siap mengabdi. Kenapa hanya sekedar mengecam? bukan mengirimkan tentara ke Palestina? Ah lagi-lagi kepentingan politik luar negeri, mengalahkan rasa kemanusiaan.
Maka, jangan salahkan kami. Fakta lah yang menunjukan bahwa, rezim ini adalah rezim anti Islam. Rezim yang phobia terhadap syariat Islam. Rezim ingkar Janji, yang kebijakannya mendzolimi kami.
Sungguh, pemimpin yang adil itu bukan dia yang bisa Shalat. Walau Shalat saja harus diatur kameranya. Shaum, shalat, sedekah, kami pun bisa. Pemimpin amanah, bukan dilihat dari amalan yaumiyahnya. Tapi kebijakan apa yang ia tetapkan. Apakah kebijakannya sesuai syariat? Apakah kebijakannya mampu mensejahterakan? Atau justru, kebijakannya malah menghinakan agama Allah Swt.
Akhirnya, kami hanya bisa berdoa. Ya Allah, tumbangkanlah rezim represif anti Islam. Berikanlah pemimpin yang adil pada negeri kami. Jadikanlah negeri ini barokah, dengan kehadiran pemimpin yang mencintai kami. Dan menjadikanMu, ya Robb, sebagai satu-satunya pemutus perkara. Ijinkan kami memiliki pemimpin yang dengan keshalihannya, menerapkan Islam secara kaffah di zamrud Khatulistiwa ini.