Oleh Septa Anitawati, S.I.P. (Muslimah Peduli Umat)
Bulan Rajab ini tepat 98 tahun runtuhnya Khilafah. Ditumbangkan oleh Kemal Pasha Attaturk. Negara Khilafah diganti menjadi Negara Republik Sekuler Turki. Akibatnya, umat Islam sedunia yang tadinya bersatu dibawah naungan Khilafah. Tercerai berai menjadi 50-an negara. Terkotak-kotak oleh nation state dan nasionalisme. Umat kehilangan perisai yang mampu melindungi umat.
Saat ini, 157 orang di Mali dibantai, dibakar hidup-hidup di dalam rumah mereka. Perempuan dan bocah tak berdosa pun menjadi korban. Alasannya karena di daerah tersebut, terkait Al Qaeda. Sungguh bengis apa yang dilakukan oleh Teroris . Lagi-lagi tanpa bukti. Namun teroris tetap beraksi.
Padahal duka di New Zealand belum berhenti. Apalagi di Palestina, Suriah, Afghanistan, Irak, Rohingya, Uighur. Umat Islam menjadi korban berkepanjangan. Tiada satupun Negara yang melindungi. Termasuk negeri ini. Yang mayoritas muslim terbesar di dunia. Bahkan ketika tragedi Uighur, pemimpin negeri ini berdiam diri dan khawatir dengan tuan China. Akankah kita biarkan Teroris melenggang. Dan umat Islam makin binasa?
Nation State dan Nasionalisme untuk Memecah Belah Umat Islam
Napoleon Bonaparte ketika ingin membuktikan betapa kokohnya kesatuan Negara Khilafah. Dia menghamparkan permadani dan meletakkan topi di atasnya. Dikibaskan permadani tersebut. Namun topi tidak terlepas. Tetap pada posisinya. Pengibaratan topi sebagai Khalifah dan permadani sebagai kesatuan Khilafah yang terbentang dari Afrika, Asia sampai Eropa. Selama umat Islam dibawah kesatuan Negara Khilafah. Walau diuji dan diterpa badai. Akan tetap eksis.
Namun ketika kesatuan khilafah dipecah-pecah, tergulinglah kepemimpinan yang menyatukan umat Islam sedunia. Sampai ditemukan cara untuk memisahkan umat Islam yang satu dengan yang lainnya. Melalui perjanjian Sykes-Picot. Perjanjian yang ditandatangani 15 Mei 1916, dinegosiasikan oleh diplomat Inggris, Sir Mark Sykes dan Prancis Francois Georges-Picot yang bertujuan untuk membagi-bagi wilayah Timur Tengah yang pada saat itu di bawah kendali Khilafah Utsmani. Barat kala itu yakin kontrol Utsmani di daerah tidak akan bertahan setelah akhir Perang Dunia I.
Kesepakatan, yang akhirnya memicu serangkaian perjanjian serupa lainnya yang berhubungan dengan kontrol dari Timur Tengah, menyebabkan penciptaan perbatasan longgar antara Suriah dan Irak moderen yang disebut banyak pihak sebagai meletakkan platform untuk penciptaan negara Yahudi di Palestina.
Berdasarkan kesepakatan itu Prancis mengontrol wilayah yang membentang dari Selatan Turki, Suriah, Lebanon dan sebagian dari Irak utara. Inggris akan mengambil alih daerah yang terdiri dari Irak tengah dan selatan, serta Yordania. Sebuah wilayah ketiga yang longgar ada di sekitar Israel hari ini, adalah menjadi sebuah kerajaan Arab di bawah mandat bersama Prancis-Inggris. Sykes menggambarkan metode penentuan batas-batas sesuai briefing dengan Perdana Menteri Inggris Herbert Asquith pada tahun 1915.
Nation State atau Negara Kebangsaan modern adalah Negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme. Kelemahan konsep nation state dapat dilihat dari nasionalisme sebagai dasar nation state. Adalah ide yang paling lemah secara intelektual. Demikian kritik Ian Adams dalam bukunya, Political Ideology Today (1993). Artinya, nasionalisme didasarkan pada aspek emosi atau sentimen. Bukan didasarkan pada aspek intelektual yang mengajak manusia berfikir secara jernih dan rasional. Maka nasionalisme memerlukan rekayasa berupa simbol-simbol untuk membentuk identitas nasional. Misalnya, lagu kebangsaan, bendera nasional, bahasa nasional, lagu-lagu nasional, peringatan hari-hari nasional, tim nasional (olah raga, dll). Rekayasa sejarah perjuangan bangsa, mitos kebangkitan dan kelahiran bangsa, pengangkatan pahlawan nasional, dll. (Adams 2004:143).
Nation state bagi umat Islam ibarat racun yang melumpuhkan bahkan mematikan. Dibawah hegemoni Amerika Serikat saai ini. Umat Islam yang terpecah menjadi 50-an Negara. Tidak memiliki kepala. Sehingga tak berdaya ketika salah satu tubuhnya diserang di berbagai Negara. Terakhir di Mali. 157 umat Islam menjadi korban bakar hidup di rumahnya. Dan tak ada satupun Negara yang melindunginya.
Bahkan PBB yang mengklaim dirinya sebagai organisasi internasional. Tak bisa menyelesaikan masalah demi masalah umat Islam. Sekat-sekat nasionalisme berbicara. Individualisme warga dan individualime Negara. Nafsi-nafsi. Karena dalam nation state, ikatan pemersatunya adalah ikatan kebangsaan. Sedangkan dalam Islam, ikatan pemersatunya adalah aqidah Islam. Bukan kebangsaan atau nasionalisme.
Kesatuan Khilafah
Dalam QS. Al Hujurat ayat 10 ditegaskan bahwa orang-orang yang beriman adalah bersaudara. Dalam HR. Bukhari no.6551, Rasulullah SAW bersabda, seorang muslim adalah saudara bagi sesama muslim. Juga dalam HR. Muslim no. 2586. Ikatannya adalah aqidah Islam.
Sejalan dengan ikatan aqidah, adanya kesatuan Khilafah. Artinya, umat Islam seluruh dunia. Apapun suku dan bangsanya. Hanya boleh memiliki satu Negara yang memimpin. Yakni satu Negara Khilafah. Dibawah kepemimpinan satu orang Khalifah saja. Rasulullah SAW bersabda,”Jika dibaiat dua orang Khalifah. Maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”(HR. Muslim no.1853).
Syaikh Abdurrahman Al Jaziri dalam kitab alFiqh ‘ala madzahib al Arba’ah V/416 menjelaskan bahwa Imam Madzhab yang empat. Yakni Imam Syafii, Imam Malik, Imam Ahmad,dan Imam Abu Hanifah. Keempatnya sepakat bahwa kaum muslimin tidak boleh memiliki dua Khalifah pasa saat yang sama. Baik keduanya sepakat maupun bertentangan.
Khilafah, kepentingan tertinggi adalah kepentingan umat (mashalih al-ummah), yang tunduk kepada syariah Islam. Secara garis besar kepentingan umat tercermin dalam dua hal. Pertama: penerapan syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (politik dalam negeri). Kedua: penyebaran dakwah Islam ke luar negeri dengan jihad fi sabilillah (politik luar negeri).
Dari segi batas wilayah, nation-state akan memiliki batas teritori yang tetap. Adapun batas wilayah Khilafah tidak tetap, melainkan akan terus meluas seiring dengan politik luar negerinya, yaitu penyebaran dakwah Islam dengan jalan jihad fi sabilillah (M. Husain Abdullah, Mafahim Islamiyyah, II/42-44).
Kesatuan Khilafah Harapan Satu-Satunya Umat
Dengan adanya Kesatuan Khilafah, umat di belahan bumi manapun. Akan merasakan nikmatnya dibawah naungannya. Baik di Gaza, Suriah, Irak, Afghanistan, Rohingya, Uighur, New Zealand dan Mali. Dan belahan bumi lainnya. Yang akan menjadi sasaran korban berikutnya. Sang Khalifah tak kan pernah mendiamkan umat terdzalimi. Demikian pula kaum muslimin di seluruh dunia akan bahu membahu menolong saudaranya yang terdzalimi.
Ketika ada wanita Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan, demi menjadi junnah [perisai] bagi Islam dan kaum Muslim. Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khilafah. Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan. Pun demikian dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, semuanya melakukan hal yang sama. Karena mereka adalah junnah [perisai]. Semoga Allah segerakan pertolongan dan janjiNya, seperti dalam QS. An Nur ayat 55.