Oleh : Siti Rofiyah
(Menulis Asyik Cilacap)
Meski pemilu telah usai, suasana politik di Indonesia tetap terasa panas hingga saat ini. Pasalnya, tidak sedikit peristiwa yang terjadi membuat kita miris. Bagaimana tidak, pemilu yang sejatinya menjadi harapan baru bagi masyarakat, justru menuai banyak masalah. Mulai dari mekanisme pemilu yang dianggap lebih rumit hingga kecurangan yang terjadi saat diselenggarakannya pemilu.
Dikutip dari laman tirto.id, penyelenggaraan pemilihan umum 2019 di sejumlah daerah mengalami kendala. Mulai dari masalah distribusi logistik, kekurangan surat suara, kerusakan kotak suara, kerusakan surat suara, hingga surat suara tercoblos lebih dulu. Salah satu contohnya di kabupaten Cirebon, Jawa Barat, KPU menemukan ada 12 ribu surat suara yang rusak. Kerusakan surat suara ini berupa kesalahan cetak, ada bercak tinta, dan sobek.
Lebih mengejutkan lagi dengan banyaknya jumlah petugas KPPS yang meninggal pasca pemilu, KPU terus melakukan pendataan. Data terakhir menyebutkan bahwa setidaknya 144 orang meninggal, sementara ratusan lainnya menderita sakit. KPU melaporkan, kelelahan faktor utama petugas sakit. Selain itu, beberapa petugas mengalami typus dan stroke.
Ketidakjelasan hasil quick count pun menjadi perdebatan sengit antar kedua kubu. Bagaimana tidak? Kedua kubu saling klaim kemenangan. Media massa optimis bahwa petahana-lah yang menjadi pemenang dalam hasil penghitungan cepat ini.
https://tirto.id/deretan-kekacauan-pemilu-2019-bukti-kegagalan-kpu-dmwX
Tidak kurang dari Rp.24 Triliun sudah melayang. 100 lebih manusia wafat dalam tugas. 7000 pelanggaran tercatat. Kekacauan politik dan ketidakpercayaan rakyat pada penyelenggara pemilu. Itulah segelintir poin yang terjadi pada hajatan pemilu kali ini. Ruwet, kacau, penuh kecurangan. Hal ini membuktikan bahwa kisruh pemilu 2019 tidak bisa dijadikan sebagai harapan bagi rakyat untuk melakukan perubahan (sekalipun merubah rezim). Demokrasi sejatinya hanya akan berpihak penguasa yang akan melanggengkan penjajahan sistematisnya dalam segala aspek (politik, ekonomi, maupun sosial budaya). Jargon demokrasi (dari-oleh-untuk rakyat) yang digadang-gadang para penguasa yang haus akan kekuasaan sejatinya tidak pernah benar-benar terbukti. Padahal yang dipakai uang rakyat, tenaga rakyat, tapi pemilu hanya sebagai sarana bagi korporasi dan rezim untuk menguasai rakyat.
Pergantian Kepemimpinan dalam Islam
Sesungguhnya, pergantian kepemimpinan merupakan hal yang biasa dan lazim, khususnya dalam sistem Islam. Saat kekasih kita, Baginda Rasulullah ﷺ wafat, ia segera digantikan oleh Abu Bakar radhiyallahu anhu. Abu Bakar radhiyallahu anhu wafat, digantikan oleh Umar radhiyallahu anhu. Umar radhiyallahu anhu wafat, digantikan oleh Ustman, dan seterusnya.
Apa yang berbeda? Perbedaannya adalah bahwa dasar pergantian kepemimpinan dalam Islam hanya diletakkan pada ketaqwaan pada Allah subhanahu wa ta'ala, bukan kepentingan pribadi maupun segelintir golongan.
Kekacauan demi kekacauan akan terus terjadi selama sistem Demokrasi-Kapitalis terus bercokol. Karena sistemlah yang menjadi biang kerusakan sebenarnya. Sudah saatnya mengganti sistem hari ini dengan sistem illahi (Khilafah) yang telah terbukti memberikan siklus pemerintahan stabil yang memberikan rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a'lam bish-shawab.[]