Oleh: Yuli Ummu Raihan
Member Akademi Menulis Kreatif
Siapa yang tidak kenal Mobil Legend? Atau pernah mendengar dua kata ini?
Ya, Mobile Legend atau yang lebih dikenal dengan sebutan ML adalah salah satu _game online_ yang viral saat ini. Konon kabarnya memiliki jumlah pemain terbanyak di Indonesia. Para generasi muda tentu sangat akrab dengan permainan _online_ yang satu ini. Hampir seluruh lapisan masyarakat ikut memainkannya. Ada yang hanya sekedar iseng, coba-coba, bahkan menjadikan ajang kompetisi dengan iming-iming hadiah ratusan juta rupiah.
Dibalik keseruan permainan ML ini, diduga kuat game semacam ini memiliki konten yang merusak. Diantaranya ada unsur kekerasan, tidak mendidik, dan mengancam karakter pemainnya khususnya anak-anak. Efek candu game ini juga sangat berbahaya jika anak tidak dikontrol oleh orang tua. Apalagi ketika mereka dibiarkan memainkannya sepanjang waktu.
Menjadi semakin miris karena ML menjadi bahasan dalam debat terakhir capres beberapa hari lalu. ML dinilai mampu meraup keuntungan dan menjadi sumber penghasilan jika ditekuni oleh pemainnya.
Sistem kapitalis membuat orang tidak lagi memandang halal haram, melainkan keuntungan materi. Tidak heran _game online_ semacam ML ini pun dilirik sebagai sumber keuntungan. Seolah tidak ada ide untuk menciptakan jenis pekerjaan dan profesi lain yang lebih menjanjikan.
Ada banyak profesi lain yang lebih keren dan menjanjikan ketimbang hanya menjadi seorang _gamers,_ jika kita lihat faktanya _game online_ hanya sebagian kecil dari dunia digital yang amat luas. Jumlah _gamers_ yang sukses tidak sebanding dengan para _gamers_ yang justru kecanduan _game_ dan menghabiskan banyak waktu serta materi hanya untuk bermain _game._ Bahkan mereka ada yang melupakan tugas sekolah, membolos, bahkan kejahatan seperti mencuri, agar bisa terus bermain _game online._
Meski para generasi muda itu berhasil mengumpulkan poin jutaan ketika bermain _game online,_ tapi tidak mampu menjamin masa depan yang lebih baik untuk mereka. Justru mereka melewatkan peluang-peluang emas yang ada.
WHO sebagai organisasi PBB di bidang kesehatan, juga telah menetapkan secara resmi bahwa kecanduan _game_ atau _game disorder_ sebagai penyakit gangguan mental. Maka bagaimana bisa seorang presiden dengan jargon revolusi mentalnya itu justru memiliki ide menjadikan game online semacam ML ini sebagai bahasan level negara? Revolusi mental macam apa yang dimaksud?
Generasi muda kita saat ini sudah rusak. Maka janganlah menambah kerusakannya dengan ide semacam ini. Lihatlah potret generasi muda hari ini! Akibat sistem sekuler kapitalis, pergaulan bebas, narkoba, kenakalan remaja, _bullying,_ aborsi, tawuran, geng motor, bahkan tindakan kriminal lainnya jumlahnya kian hari kian meninggi.
Sistem sekuler yang saat ini dianut menjadi biang keladi semua kerusakan ini. Saat aturan kehidupan dipisah dari agama, maka masyarakat hidup menurut aturan mereka sendiri. Mereka menuruti hawa nafsu dan arus global yang makin menggila. Atas nama HAM kebebasan dijunjung tinggi, maka halal haram bukan lagi menjadi patokan.
Dalam pandangan hidup sistem sekuler, kebahagian adalah ketika mendapatkan kesenangan hidup sebanyak-banyaknya. Terpenuhinya _hajatul udhowiyah_ (kebutuhan jasmani) dan _gharizah_ (nalurinya). Masyarakat khususnya generasi muda larut dalam 3F3S (food, fashion, fun, seks, song, sport).
Kemajuan dan kecanggihan teknologi di era digital 4.0 ini, seharusnya mampu memberi kebaikan bagi kita. Tapi faktanya tidak begitu. Teknologi canggih justru menjadi ajang pemenuhan eksistensi diri yang keliru. Lihatlah sosial media generasi muda hari ini! Beragam komunitas gay, lesbi, pelacuran _online_, baik di grup whatsapp dan _facebook_ menjamur. _Youtuber, vlogger_ dan _selebgram_ bermunculan mengumbar aurat dan mengkampanyekan kemaksiatan. Fatalnya, hal ini diikuti serta menjadi inspirasi bagi penggemarnya untuk melakukan hal sama bahkan mengkreasikannya. Sungguh kecanggihan teknologi bikin rugi!
Kurangnya perhatian keluarga khususnya orang tua, tidak adanya kontrol masyarakat, serta abainya negara membuat kondisi ini semakin parah. Sistem pendidikan, gaya hidup hedonis, cengkaraman kapitalis, dan liberalisme menambah buruk keadaan.
Manusia harusnya memahami hakikat kehidupan dari mana, untuk apa, dan kemana setelah kehidupan ini? Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hendaknya menjadi sarana penunjang manusia untuk hidup dan berkehidupan yang lebih baik.
Hanya dengan sistem Islam secara kaffahlah kita bisa memperbaiki generasi muda yang rusak ini. Mengembalikan mereka agar menjadi bagian khoiru ummah. Berkontribusi dalam peradaban Islam, yang kelak akan menjadi generasi penerus yang bertakwa, berwawasan luas dan memiliki kemampuan mumpuni di segala bidang tak terkecuali dunia digital.
Mereka yang akan jadi mutiara peradaban yang berperan aktif memajukan dan menyejahterakan umat dalam segala lini kehidupan. Wallahu a'lam.