Oleh: Ifa Mufida (Pemerhati Masalah Sosial)
Kaum muslimin tiada hentinya tersakiti dengan berbagai penyerangan, pembunuhan, dan pembantaian yang tak kunjung usai. Masih jelas dalam ingatan umat Islam seluruh dunia, serangan brutal di masjid Al Noor dan Linwood Islamic Centre di Christchurch, Selandia Baru, Jum'at (15/03/2019) telah menyisakan luka yang mendalam. Sedikitnya 50 orang tewas dan 20 lainnya terluka akibat serangan brutal. Begitu pun nasib muslim Uighur dan Rohingya hingga kini masih meninggalkan tanda tanya dan belum terselesaikan.
Luka yang masih basah dan belum sembuh itu pun, harus ditambah dengan luka baru. Umat Islam harus kembali menelan pedih, perih, lemah dan tak berdaya. Kasus pembantaian sadis terhadap salah satu etnis kembali terjadi. Kali ini etnis Fulani menjadi korban pembantaian sekelompok orang yang diduga dari kelompok Dogon di Mali, Republik Mali, Afrika Barat. Hingga saat ini, ada 160 korban tewas akibat serangan kelompok tersebut. Sekelompok orang menggunakan senjata untuk membunuh ratusan orang, di antaranya warga sipil, anak-anak dan ibu hamil (merdeka.com, 27/03/2019).
Di waktu yang hampir bersamaan, Gaza kembali membara. Pesawat-pesawat tempur Israel terus menyerang Kota Gaza pada Selasa (26/03/2019), meskipun ada laporan gencatan senjata. Militer Israel mengonfirmasi bahwa pesawat tempurnya telah melakukan 15 pemboman di Jalur Gaza. Serangan itu diklaim untuk menanggapi roket yang diluncurkan dari Jalur Gaza pada hari Senin. Serangan ini pun menyebabkan kebakaran besar di dekat Masjid Omar bin Abdulaziz di dekatnya (kiblat.net, 26/03/2019).
Duka kaum muslim di Mali dan Gaza, menjadikan semakin komplit duka lara yang dirasakan kaum muslimin. Hal ini harusnya menjadikan kaum muslimin di belahan bumi lainnya bersegera bergerak membela mereka. Namun nyatanya, tidak demikian. Penguasa negeri-negeri muslim pun diam membisu, seakan tak peduli darah yang tumpah dari saudara sesama muslimnya. Bentuk negara bangsa yang melahirkan nasionalismelah yang membuat para penguasa negeri muslim seakan tidak satu tubuh dengan muslim di Mali, Gaza, Uighur dan Rohingya atau belahan dunia yang lain.
Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Urusan wilayah dan negara lain dianggap bukan urusannya. Pada hakekatnya pembentukan negara bangsa merupakan alat penjajah untuk melemahkan umat Islam di dunia agar tidak bisa bersatu. Para kapitalis penjajah memecah belah dunia Islam menjadi negara-negara parsial, agar tak mampu bangkit untuk melawan penindasan di negeri-negeri muslim lainnya. Umat Islam harusnya menyadari bahwa negara bangsa dan sekat nasionalisme terbukti telah membawa perpecahan di tubuh umat Islam itu sendiri. Hal ini menjadikan umat Islam yang begitu banyak jumlahnya seolah tidak berdaya dan begitu mudahnya diserang dan dilecehkan.
Maka sangat benar sabda Rasulullah SAW berabad-abad silam. Umat Islam akhir zaman akan seperti buih di lautan. Meski terlihat banyak, namun tidak berarti. Rasulullah bersabda, "Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring". Seseorang berkata, "Apakah karena sedikitnya jumlah kami waktu itu?". Beliau bersabda, "Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di lautan. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn". Seseorang bertanya, "Apakah wahn itu?" Beliau menjawab, "cinta dunia dan takut mati," (HR.Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud).
Sungguh menyedihkan karena saat ini memang faktanya kaum muslimin hanya seperti buih di lautan. Bahkan ketika kita melihat saudara-saudara kita di belahan bumi lain yang menderita, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kita kaum muslimin yang seharusnya menjadi satu tubuh yang akan ikut merasakan sakit jika bagian tubuh yang lain disakiti, seolah-olah sekarang tak bisa merasakan hal tersebut. Demikianlah karena kaum muslimin sekarang terpecah-pecah dalam sebuah negara bangsa (nation state). Selama ikatan ini masih mengekang erat di tubuh kaum muslimin, maka sampai kapan pun derita dan luka lara ini tak akan pernah terobati.
Sudah saatnya lah kaum muslimin bersatu dalam satu panji. Kaum muslimin adalah umat yang satu, bertuhan satu yakni Allah SWT. Sudah saatnya bersatu di bawah aturan syariat Allah dan negara yang satu yakni Khilafah Islamiyyah. Hanya dengan khilafah, maka kaum muslimin akan memiliki pelindung yang akan menjadi perisai bagi seluruh kaum muslimin di dunia.
Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya al-Imam (khalifah) itu adalah perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya." (HR. Al-Bukhori, Muslim, Ahmad).
Rekam jejak emas masa peradaban Islam di bawah kekhilafan hingga sekarang masih ada dan bahkan bisa ditemukan dalam banyak catatan-catatan sejarah yang ditulis oleh orang non-muslim. Sebagai contoh adalah apa yang dikatakan Will Durant seorang sejarawan barat. Dalam buku yang dia tulis bersama Istrinya Ariel Durant, Story of Civilization, dia mengatakan, Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka.
Keamanan dalam sistem khilafah tidak hanya melindungi jiwa dari warga muslim saja, namun Islam menganggap semua orang yang tinggal di negara khilafah sebagai warga negara khilafah dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka. Islam menjamin perlindungan terhadap orang- orang non muslim, hal ini di sampaikan oleh Rasulullah SAW "Barangsiapa membunuh seorang mu'ahid (kafir yang mendapat jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekalipun" (HR. Ahmad).
Oleh sebab itu agama Yahudi, Nasrani dan Islam bisa hidup berdampingan aman, damai, dan semua merasakan keadilan yang sama. Mereka non muslim tidak dipaksa meninggalkan agama mereka, justru mereka diberikan jaminan hidup dan juga keamanan dari Khalifah. Alhasil khilafah dapat memberikan rasa aman. Berbeda dengan sekarang, hilangnya perisai umat yakni Daulah Khilafah Islamiyah tepatnya tanggal 3 Maret 1924, menjadikan kaum muslim tidak lagi memiliki institusi yang mampu melindungi dan memberikan rasa aman. Kaum muslimin pun dipecah dalam sebuah negara bangsa dengan ikatan yang sangat lemah yakni nasionalisme. Akibatnya, kekerasan bertubi-tubi menimpa kaum muslimin. Darah dan nyawa kaum muslim dikorbankan teramat murah. Seperti yang terjadi di Mali tengah, New Zealand, Suriah, Palestina, Rohingya, Uighur dan negeri muslim yang lain.
Demikianlah solusi pasti yang akan mengobati luka lara kaum muslimin dan mengembalikan kemuliaan Islam adalah jika kita berada di bawah Khilafah Islamiyyah. Hal ini telah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera diwujudkan.
Wallahu a'lam bishowab.