Oleh: Sri Elita Sari
(Member WCWH Kolaka)
Pagi itu suasana Pesantren Darunnajah ramai seperti biasa. Para santri dan santriwati bersiap - siap untuk belajar. Ustaz dan Ustazah pun nampak berkemas untuk lebih dahulu masuk ke kelas binaannya masing-masing.
Cuaca sangat bersahabat. Udara kota Cimahi kali ini begitu sejuk. Burung-burung nampak terbang riuh rendah menuju tempat pencahariannya. Matahari bersinar terang, namun tidak lah panas. Keadaan ini membuat siapapun jadi bersemangat utk beraktivitas. Tidak terkecuali gadis berkerudung putih, Anjari, putri sulung Kyai Maksum - pemilik pesantren ini. Anjari baru saja menyelesaikan kuliahnya pada salah satu universitas di Kairo. Untuk itu lah dia berada di pesantren guna mengamalkan ilmu yg didapatnya. Ia sebagai salah satu staff pengajar di pesantren ini.
Di usia yg sudah cukup dewasa, 25 tahun, Anjari memang sudah sepantasnya bersuami. Namun, entah kenapa Anjari belum juga menemui jodohnya. Untuk gadis secantik dan sepintar dia, tentu bukan hanya satu dua pria saja yang sudah mencoba meminangnya, namun Anjari belum juga bisa menentukan pilihan.
Pada akhirnya Kyai Maksum, ayah Anjari, memutuskan untuk mencarikan jodoh buat Anjari.
Adalah Dimas, anak seorang pengusaha yang juga pemilik salah satu pesantren di Kota Sragen Jawa Tengah. Laki-laki inilah pilihan Kyai Maksum buat putrinya. Ayah Dimas adalah sahabat lama Kyai Maksum. Dimas bungsu dari tiga bersaudara.
***
Singkat cerita, Anjari dan Dimas pun menikah. Mereka berdua menerima apapun yang menjadi keputusan orang tua mereka. Mereka, terutama Anjari, kali ini tidak mampu menolak. Karena Anjari sangat tahu kedekatan ayahnya dengan ayah Dimas. Sahabat kental yang tidak mungkin terpisahkan sampai kapanpun.
Ada dua sifat yang sangat kontras dari sepasang suami-istri ini. Anjari, anak sulung yang terbiasa diajar mengatur dan memimpin adik - adiknya, bahkan adik - adik santri di pesantren ayahnya.
Sementara Dimas, anak bungsu yang manja, yang terbiasa hidup dengan penuh perhatian dari seluruh keluarganya. Dan rupanya, keadaan seperti inilah yang sulit menyatukan mereka berdua.
“Mas bangun, matahari sudah tinggi.” Anjari membangunkan suaminya. Namun laki-laki itu hanya sedikit membuka matanya untuk kemudian kembali memeluk guling.
“Mas, katanya mau antar Rio berenang!!” Anjari bicara agak menegang. "Rio sudah mulai nangis tuh mas di depan. Dia menunggu kamu dari tadi. Makanya kalau ga bisa, jangan suka janji sama anak mas!!“ Kali ini Anjari benar-benar meninggikan suaranya.
Akhirnya dengan terpaksa, Dimas bangun dari atas ranjangnya. Masuk kamar mandi dan menyiapkan diri untuk pergi mengantar Rio.
“Kamu bawel ih, ga bisa liat orang seneng,“ kata Dimas pada Anjari dengan menggerutu.
Dimas pun pergi berlalu, tanpa menghiraukan Anjari yang masih kesal dengan tingkah suaminya yang kekanak-kanakkan itu.
Selalu seperti itu, setelah 10 tahun pernikahan, dan mereka sudah dikarunai seorang anak laki-laki, Rio yang baru berumur 9 tahun.
Dimas yang masih sering manja dan bahkan cenderung kekanak-kanakkan. Sementara Anjari tipikal istri yang selalu ingin mengatur segalanya. Anjari memang perempuan mandiri, cenderung bisa melakukan apapun bahkan tanpa harus bertanya pada Dimas. Karena Anjari menganggap Dimas bukan tipikal suami yang mampu membimbing dan mengarahkan dia.
Dimas juga tipikal suami posesif, pencemburu.Mungkin karena melihat Anjari yang serba bisa, pandai bergaul, aktif dan gesit.
Perbedaan-perbedaan itulah yang sering memicu pertengkaran mereka. Ketika mereka bertengkar, Anjari mampu menyimpan dan mencari solusi sendiri dari setiap permasalahan yang terjadi. Hanya kepada seorang sahabatnya, Hanum, Anjari mengadukan persoalannya. Karena Hanum adalah sahabat yang mampu menyelami hati Anjari, amanah untuk dan selalu bisa menyimpan keluh-kesah Anjari.
Sementara Dimas yang memang anak manja ini, selalu lari dan mengadukan segala persoalan mereka pada ibunya.
“Gue harus bersikap bagaimana lagi??? Capek, Num,” kata Anjari siang itu pada Hanum.
“Sabar, An. Kamu udah tahu dari awal kalau Dimas seperti itu. Dan jamu juga udah berkali-kali komunikasikan sama Dimas. Ya gue juga cuma bisa bilang, hal yang sama ke kamu. Doakan terus suami kamu, hati suami kamu milik Allah, An. Kamu cuma butuh terus sabar aja."
“Sampai kapan gue harus sabar, Num? Kali ini batas kesabaran gue kayaknya udah habis.” Anjari akhirnya menangis. “Gue mau minta cerai aja, Num....”
“Astagfirullah... istighfar, An. Jangan menyerah dong say. Ingat, Allah beserta hamba-Nya yang sabar. Lagian kalau gue liat kamu begini, sepertinya ini bukan kamu, An. Mana Anjari yang kuat? Mana Anjari yang berani ? Mana, An? Mana???”
***
Sore itu Anjari sedang menemani Rio bermain di halaman rumah. Sebuah mobil Audi merah yang sangat dia kenal, berhenti tepat di depan rumah Anjari. Ibu mertua Anjari turun dari mobil tersebut. Masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang sangat tidak menyenangkan. Betul saja dugaan Anjari, ibu mertuanya ini datang hanya untuk menghakimi Anjari seperti biasa.
“Jangan terlalu sombong jadi perempuan, Njari. Apa karena kamu sudah terlalu merasa hebat, sehingga dengan seenak-enaknya kamu perlakukan suamimu seperti itu??? Dan itu sudah yang kesekian kali. Apa kamu pikir Dimas tidak punya hati? Sepanjang menjadi anakku, tidak sekalipun saya ibunya berani menyakiti hatinya, apalagi menyakiti tubuhnya. Tapi kamu, istri yang seharusnya menyayangi dan menghormati dia, mampu berlaku kurang ajar, bahkan menampar suamimu sendiri??!!!"
Ibu mertua Anjari terus bicara, tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk Anjari membela diri. Ya, seperti biasa, selalu dia lakukan itu pada Anjari. Setelah pertengkaran demi pertengkaran bersama suaminya. Dan selalu Dimas pergi mengadu pada ibunya, kemudian ibunya datang menghakimi Anjari. Begitu terus dan seterusnya.
Anjari lelah dengan semuanya. Anjari tidak mampu berfikir waras lagi. Hingga akhirnya perceraian itu pun terjadi. Tidak ada satupun yang mampu mencegah Anjari. Tidak ayahnya, ibunya, maupun Hanum, sahabatnya.
Ya, setelah 12 tahun usia pernikahan mereka, tidak ada satu pun kenangan yang mampu membuat Anjari bertahan.
***
Satu tahun setelah Anjari hidup menjanda, Anjari bertemu dengan laki-laki berkewarganegaraan Inggris. Richard, nama laki-laki itu. Richard seorang mualaf yang akhirnya memilih menjadi seorang mubaligh.
Mereka bertemu di sebuah kegiatan Tablig Akbar, Richard yang memiliki nama muslim Yusuf, hadir sebagai pengisi acara alias penceramah pada saat itu.
Pertemuan demi pertemuan melalui proses ta'aruf (ada perantara), semakin menambatkan hati mereka berdua. Richard yang begitu dewasa, penyayang, mampu membuat perasaan Anjari nyaman ketika bersamanya.
Di mata Anjari, Richard mampu menaklukan hatinya yang keras selama ini. Richard selalu bijak menyikapi sikap Anjari. Dan akhirnya Anjari pun menerima pinangan Richard tanpa menunggu lama.
Tahun pertama mengarungi biduk rumah tangga, Anjari merasakan bahagia yang luar biasa. Richard mampu mengimbangi Anjari. Richard juga selalu memanjakan Anjari. Richard cenderung mengikuti apapun yang Anjari inginkan dari dirinya. Karena rasa sayang, dan cintanya yang begitu besar pada Anjari, istrinya.
Namun, setelah tahun ke tiga pernikahan mereka, Anjari mulai merasakan kejenuhan. Pernikahan yang minim dengan pertengkaran itu, ternyata tidak membuat Anjari puas apalagi bersyukur.
Anjari gamang lagi.
“An, mau kamu tuh maunya apa sih?“ Hanum kesal dengan aduan Anjari kali ini.
“Apa kurangnya Richard? Dia begitu sayang sama kamu, manjain kamu, bahkan ikuti apapun semua mau kamu, tanpa dia meminta apa yang dia inginkan sebagai suami dari kamu istrinya.”
“Hm, gue jenuh, Num. Dia terlalu baik,” jawab Anjari. “Hidup sama dia terlalu lurus, hidup tanpa gejolak ga enak juga, Num. Seperti makan sayur tanpa garam, tawarrr...”
“Gue pikir kasian juga ke Richard nya,” lanjut Anjari lagi. “Dia ngorbanin kebahagiaannya demi gue. Itu artinya dia ga bahagia hidup sama gue, Num.”
Terus mau kamu apa? Bercerai lagi?” Hanum benar benar tidak habis pikir dengan tingkah laku sahabatnya ini.
Perceraian Anjari dengan suami pertamanya saja, Hanum tidak bisa menerima alasan Anjari, walaupun Hanum tahu suami pertama Anjari memang kurang ajar untuk ukuran seorang suami.
Tapi pada pernikahan kedua sahabat tersayangnya ini, Hanum benar benar bingung. Richard begitu mendekati sempurna untuk ukuran seorang suami. Hanum sendiri tidak mampu melihat cacat cela pada diri Richard.
“Anjari lama-lama kamu ga waras.” Hanum membatin.
“Dia tidak mampu melihat kebaikan Richard dengan mata batinnya.” Hanum bergumul dengan monolognya. “Entah apa yang terjadi pada diri Anjari. Entah apalagi yang akan dia lakukan dengan pernikahan keduanya ini.“ Kali ini Hanum benar-benar sudah tidak peduli.
Kolaka, 28 April 2019