Oleh: Mimin Mintarsih
Ibu Rumah Tangga
Suhu panas jelang pilpres makin meningkat sampai nanti masa pencoblosan 17 april. Kedua paslon semakin gencar berupaya menarik simpati dan dukungan massa sebanyak-banyaknya. Berbagai jurus dikeluarkan, mulai dari memasang spanduk, baligho dimana-mana, kampanye melalui iklan hingga membuat kampanye terbuka.
Ada yang menarik dari sana, dimana masing-masing paslon terlihat berusaha mendekati massa yang mayoritas adalah umat Islam dengan mencari dukungan melalui ulama. Lagi-lagi disini seharusnya umat Islam harus bersedih, Islam yang sejatinya seharusnya digunakan sebagai landasan untuk melaksanakan segala aktivitas, dikebiri untuk kepentingan sesaat hausnya kekuasaan.
Padahal agama hendaknya diposisikan pada tempat yang mulia dan tidak dijadikan alat legitimasi politik, karena justru akan memunculkan permasalahan di masyarakat.
Ketika agama dijadikan ideologi yang kuat, maka dapat digunakan untuk sesuatu yang sah dan boleh ,tapi sebaliknya, ketika agama dijadikan alat legitimasi politik, maka ini akan jadi masalah. Seperti yang disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ,Ujang Komarudin, jumat ( 5/4/2019).
Artinya disini sesungguhnya telah terjadi politisasi terhadap Islam. Politisasi Islam atau Politisasi Agama sendiri secara umum tidak bisa dilepaskan dari cara pandang tentang relasi antara agama dan politik.
Islam dan politik tidak bisa dipisahkan, bahkan politik merupakan salah satu bentuk pengamalan islam itu sendiri. Karena itu politik harus berdasar kepada dan untuk kepentingan islam. Bila politik diartikan sebagai kehidupan rakyat, maka pengaturan itu harus berdasarkan Islam. Artinya pengurusan urusan kehidupan rakyat harus berdasarkan aturan-aturan Islam secara keseluruhan.
Harus diyakini bahwa hanya dengan Islam, maka ditengah masyarakat akan tercipta kebaikan atau rahmat bagi semua. Dalam masyarakat dan Negara Islam, Islam dijadikan sebagai dasar dan hukum positif baik dalam kehidupan individu, masyrakat maupun negara. Dalam sistim ini ,Ulama mempunyai peranan sangat penting dan strategis. Eksistensi ulama nyaris tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan.
Pada Zaman keemasan islam yaitu pada mada Khilafah Rasyidah yang pertama, mulai dari pejabat tinggi, Hakim, hingga panglima militer dijabat oleh seseorang yang juga adalah ulama. Namun demikian Khilafah adalah sistim pemerintahan Negara manusia, bukan negara malaikat. Karena itu meski berbagai jabatan dipegang ulama, amar ma’ruf nahi mungkar tetap dilakukan.
Ya karena amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban seluruh kaum muslimin baik terhadap sesama rakyat maupun penguasa, bahkan kewajiban amar makruf terhadap penguasa merupakan amalan agung yang dilipatgandakan dengan banyak pahala dan kebaikan. Ini karena itu merupakan aktivitas mulia yang memiliki dampak dan pengaruh yang luar biasa.
Dan karena amar makruf nahi mungkar membutuhkan ilmu, maka tugas ini banyak diemban para ulama. Apalagi para ulama hakikatnya orang yang hanya takut kepada Allah SWT. Kaerena itu mereka selalu menjadi tokoh terdepan dalam melaksanakan amar makruf nahi mungkar termasuk muhasabah terhadap para penguasa.
Namun sayang dalam sistem demokrasi seperti sekarang, peran ulama justtu dikebiri, dikerdilkan hanya demi kepentingan sesaat kekuasaan. Karenanya mengganti sistem rusak ini dengan islam adalah satu-satunya cara agar Islam tidak terus-menerus dipolitisasi. Dan semua itu tidak mungkin terlaksana dengan mempertahankan sistim Demokrasi Kapitalisme, hanya dalam sistem islam lah semua bisa terlaksana yaitu dengan tegak nya Khilafah ala minhaji nubuwah. Wallohu’alam Bi Shawwab.