Oleh: Arin RM, S.Si
(Freelance Author, Member TSC)
Setelah melakukan survey terhadap sejumlah masjid di ibu kota, narasi media menuliskan “sebanyak 41 masjid yang ada di kantor pemerintahan terindikasi sebagai tempat penyebaran paham radikal” (liputan6.com 08/07/2018). Pengolahan isu seputar radikalisme sebelumnya juga telah dilebarkan hingga memasuki dunia kampus.
Pada 25 Juni, Menristek telah mengumpulkan rektor guna membahas radikalisme (cnnindonesia.com, 06/06/2018). Hal senada juga diberitakan oleh republika.co.id (25/06/2018) dengan menuliskan headline “Para Rektor Diajak Deteksi Dini Dinamika Radikalisme”.
Sungguh teramat disayangkan. Mimbar penyampaian Islam (masjid) dan juga mimbar intelektual justru digunakan untuk membahas hal yang menyakiti umat Islam. Menyakiti karena wacana radikalisme dimuarakan pada ajaran Islam.
Bahasan survey masjid itu juga mengandung unsur ajaran Islam sebagai bahan pertanyaannya. Enam topik radikalisme berupa ujaran kebencian 60%, sikap negatif terhadap agama lain 17%, sikap positif terhadap khilafah 15%, sikap negative terhadap minoritas 6%, kebencian pada minoritas 1% dan sikap negative terhadap pemimpin perempuan dan nonmuslim 1% (voaindonesia.com, 08/07/2017).
Aneh, posisi dan peran negara yang mengetahui hal ini justru terkesan tidak mempermasalahkan kejadian di atas. Padahal menuding masjid terpapar dengan radikalisme lantaran mengajarkan ajaran Islam yang selama ini ditutup-tutupi, sekaligus menjadikan kampus sebagai proyek pengarusan isu radikalisme merupakan tindakan yang sangat mungkin menjadi perantara pelemparan islamophobia di tengah masyarakat.
Masyarakat akan resah dengan Islam karena takut dinilai radikal. Dan khusus masyarakat muslim akan menjadi alergi terhadap ajaran agamanya sendiri. Sungguh jahat muaranya.
Amat disayangkan. Di tengah menumpuknya permaslahan bangsa harusnya masjid dan kampus dioptimalkan untuk mengedukasi anak bagsa agar turut memikirkan solusi yang terbaik. Bukan terus berkutat pada narasi “teroris/radikal”. Terlebih definisi radikalisme, terorisme, dan sejenisnya cenderung subjektif. Dipolitisasi sesuai kepentingan, tak lagi merujuk pada KBBI. Frasa yang ada dimanfaatkan dalam upaya menggiring kriminalisasi ajaran Islam seperti Khilafah, bahkan monsterisasi aktifitas kajian keislaman di masjid dan di kampus.
Disinilah pentingnya muslim harus cerdas. Muslim harus membina diri agar memiliki kesadaran politik Islam. Hal itu diperlukan agar tak selamanya muslim dan Islam menjadi proyek politisi subjektif sesuai kepentingan. Terlebih supaya bisa mewaspadai setiap upaya yang membelokkan kepada pembungkaman suara kritis ulama intelektual. Ataupun upaya mengintimidasi dengan berbagai alasan yang dibuat-buat.
Sebab semuanya akan menghambat kebangkitan Islam. Padahal kebangkitan Islam itu sendiri adalah sesuatu yang niscaya. Lebih baik muslim sibuk menyambutnya daripada dipermainkan oleh mereka yang tak menginginkan kehadirannya. [Arin RM]