Oleh R.A Larasati
Maret 2019 dunia dikejutkan dengan penembakkan brutal di masjid Al Noor, Christchurch Selandia baru. Pelaku terror terindentifikasi bernama Brenton Tarrant seorang penganut supremasi kulit putih asal Australia. Insiden ini menewaskan setidaknya 50 jiwa dan melukai puluhan lainnya. Penembakkan brutal ini dilatarbelakangi kebencian terhadap Islam, yang terlihat dari tulisan-tulisan pada senjata terorris tersebut. Diantaranya, tulisan Charles Martel, seorang raja Perancis yang mampu menghentikan kemajuan kekhalifahan Ummayah di Eropa Barat, dan tulisan Wina 1683 yang memiliki arti berupa pasukan Ottoman yang mengalami kekalahan di Wina tahun 1683.
Berbagai kejadian yang merugikan Muslim terkait Islamofobia dan anti-muslim semakin meningkat di berbagai negara. Satu minggu berselang, 4 masjid di Brimingham, Inggris, diserang. Al Quran di bakar oleh pendukung partai sayap kanan di Denmark. Selain itu, sekolah muslim dan Al Quran dirusak di Amerika Serikat. Publik di seluruh dunia mengecam dan berduka. Namun, masih ada sekelompok orang yang tetap menjunjung anti-Islam. Seperti komentar yang dilontarkan oleh Fraser Annings bahwa pertumpahan darah di ChristChurch adalah kesalahan pemerintah yang membiarkan imigran muslim yang fanatik tinggal di new Zealand.
Indonesia, yang notabene adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia ternyata juga menjadi tempat eksisnya Islamofobia. Narasi kebencian tehadap Islam dikembangkan oleh para penjunjung pluralisme. Siapa saja yang menggenggam panji Islam, pasti langsung di cap anti-pluralisme anti-pancasila. Siapa saja yang meninggikan hukum Islam pasti dikatakan anti kebhinnekaan. Telah kita saksikan bendera Tauhid dibakar, ormas Islam dicabut badan hukumnya, Ulama dikriminalisasi, dan sebagainya. Muslim yang memperjuangkan Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam ikut dianggap radikal dan anti-NKRI.
Islamophobia sendiri berasal dari kata Islam dan Phobia. Phobia berasal dari kata Yunani yaitu phobos yang berarti ketakutan. Kecemasan dalam phobia dialami apabila seseorang menghadapi objek atau situasi yang ditakuti atau dalam antisipasi akan menghadapi kondisi tersebut. Sebagai tanggapannya, orang menunjukkan tingkah laku penghindaran yang merupakan ciri utama semua phobia.
Dalam ingatan, Islamophobia mulai ramai terjadi sejak tragedi 9/11 di New York Amerika Serikat. Umat Islam menjadi target kekerasan dan kebencian paska serangan yang disebut-sebut didalangi oleh Al Qaeda. Munculnya gerakan ekstrimis seperti ISIS menambah ketakutan dan kebencian terhadap Islam. Sebenarnya, Islamophobia sudah dimulai jauh sebelum itu. Para penyair Eropa abad 18-20 terbiasa menggambarkan umat Muslim dengan karakter negatif. Idiom “as fierce as turk” banyak didengungkan sejak runtuhnya sebagian besar eropa timur dan tenggara oleh Ottoman. Para sultan Ottoman digambarkan sebagai orang yang ganas dan immoral. Fenomena ini dilanjutkan saat kebangkitan eropa 300 tahun kemudian, dimana kulit putih (Inggris dan prancis) berhasil menjajah tanah kaum Muslim dari Algeria sampai Indonesia. Saat itu Muslim dianggap inferior dan barbar. Demikianlah perpektif negatif dan kebencian terhadap Islam terus berlangsung sampai sekarang.
Ketakutan akan nilai – nilai Islam sebenarnya sangat tidak relevan. Islam sendiri berakar dari kata salam yang berarti kedamaian. Ketika Rasulullah mampu menaklukkan makkah (fathu makkah), Islam menaungi seluruh penduduk makkah dengan damai. Saat itu kaum kafir di Makkah takut akan pembalasan Rasulullah dan kaum Muslim. Namun, justru Rasulullah memberikan pernyataan bahwa Islam melindungi warga non muslim (kaum dzimmi). Dalam sebuah hadis shahih, Rasul bersabda, “Aku wasiatkan (titipkan) atas ahl al-dzimmah ku, barangsiapa yang menyakiti ahl al-dzimmah maka ia benar-benar telah menyakitiku, barangsiapa yang menyakitiku maka ia telah menyakiti Allah”.
Pada tahun 1847 Irlandia pernah dilanda musibah kelaparan (the great famine). Saat itu khalifah turki ustmani mengirimkan tiga buah kapal yang penuh berisi bahan makanan melalui pelabuhan Drogheda. Saat Muhammad Al Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel, terjadi ketakutan para kaum Nasrani disana. Konstatinopel adalah pusat dari gereja Ortodoks. Saat itu hampir seluruh rakyat Konstatinopel adalah pemeluk Nasrani. Akhirnya diberlakukanlah sistem Millet, dimana para penganut Nasrani berhak untuk beribadah namun diwajibkan membayar jizyah dan mengikuti aturan Islam.
Selama hampir 14 abad Islam mampu menyebar ke hampir ¾ dunia. Dalam kurun waktu tersebut tidak ada satupun catatan sejarah yang menyatakan bahwa kaum non muslim tertindas. Sampai saat ini masih ada kaum Yahudi dan Nasrani di wilayah timur tengah. Itu membuktikan bahwa memang benar Islam melindungi seluruh manusia apapun kepercayaannya. Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 256 : “ Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam”. Ayat tersebut menyatakan bahwa Negara Islam tidak boleh memaksakan orang non muslim untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Non Muslim boleh mengikuti aturan sesuai kepercayaan mereka dalam hal makanan, pakaian, pernikahan dan peribadatan mereka. Namun mereka wajib mengikuti aturan Islam apabila berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, misal pada sistem sanksi, peradilan dan sistem ekonomi.
Saat Khilafah masih berdiri, kaum non Muslim secara rela berada dalam negara Islam, karena merasa hak – haknya terlindungi. Bahkan seorang sejarawan barat, Will Durrant menulis dalam bukunya The Story Of Civilization bahwa Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka (khilafah).
Berbagai cara dapat dilakukan untuk mengatasi Islamophobia. Yang paling utama adalah kembali menegakkan dan menjalankan syariat Islam secara Kaffah dibawah naungan Khilafah. Islam adalah satu – satunya agama yang sesuai fitrah manusia. Maka, tidak akan ditemukan aturan yang bertolak belakang dengan fitrah kehidupan. Kebanyakan dari kita adalah menyerupai orang barat agar dapat diterima di masyarakat luas. Sebagai contoh, kita malu untuk memakai kerudung syar’I karena takut dianggap ekstrimis. Ataupun kita takut memanjangkan jenggot karena takut dianggap terorris. Justru hal ini adalah salah, kita membiarkan kenyataan terkubur sementara opini – opini miring tentang Islam semakin gencar tersebar di media.
Tampilkan Islam di diri dan sebarkan ke umat adalah satu – satunya cara melawan islamophobia. Sebarkan senyum dan salam, berjabatan tangan dan merangkul adalah yang dilakukan Rasulullah sampai kepada khilafah Ustmani. Ketika umat Islam bersatu dan berhasil menerapkan syariat Islam yang Kaffah, Insya Allah akan terwujud arti sebenar – benarnya dari Islam Rahmatan Lil’aalamiin.
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (TQS. an-Nashr [110]: 1-3)
Untuk itu ada hal yang perlu kita renungkan kembali, misalnya tentang kebiasaan kita meniru keberhasilan umat lain. Kita seringkali silau dengan beberapa keberhasilan yang dicapai orang lain terutama yang bersifat material dan terindera.