Oleh : Siti Ghina Citra Diany
Menjelang pilpres tahun ini, tidak bisa dipungkiri bahwa ghirah islam semakin membuncah di tengah umat. Berawal dari momen 212 yang mampu menghadirkan jutaan massa, menjadi motivasi luar biasa bagi bangkitnya kesadaran umat. Begitu juga tampak di berbagai aksi yang dilakukan umat menyikapi dinamika perpolitikan saat ini.
Sehingga muncullah kekhawatiran pihak tertentu yang merasa terancam dengan meningkatnya kesadaran umat ini. Gerakan umat dibaca sebagai ancaman terhadap kepentingan politik mereka. Yang jika kesadaran ini dibiarkan, maka suara umat di prediksi akan menguat pada kubu yang dianggap pro umat islam. Dan untuk jangka panjang menunjukkan kesadaran islam yang ideologis. Salah satu indikasinya, umat tidak asing lagi dengan syariat islam dan penerapannya. Bahkan kemudian ide khilafah digaungkan sebagai solusi pengganti sistem demokrasi.
Kekhawatiran rezim ditampakkan dalam wujud pengelolaan semangat umat ke arah politik pragmatis di satu sisi. Berikutnya diopinikanlah pernyataan-pernyataan yang menyudutkan seperti jangan mempolitisasi agama, tidak boleh membawa perbincangan politik di dalam masjid, dan yang terbaru yaitu kekhawatiran mantan Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono mengenai kampanye akbar salah satu calon presiden yang dianggap bernuansa politik identitas. Dan di sisi lain ada upaya mengkriminalisasi ajaran islam untuk membendung islam ideologis, dengan menghembuskan isi radikalisme dan terorisme. Upaya-upaya massif ini ditujukan untuk menjauhkan umat dari aktivias politik yang shahih.
Tetapi, islam kini hanya dijadikan sebagai alat untuk meraih kepentingan politik. Islam diajak turut berperan, tetapi hanya pada masalah etika atau menjadi alat legitimasi ketika diperlukan. Dan islam tidak boleh terlibat terlalu jauh dalam urusan politik, karena dianggap akan mengotori agama dan tidak sesuai dengan prinsip kebhinekaan.
Karena itu, menjelang pemilu ramai para elite politik berhias islami, setelah pemilu usai mereka tinggalkan itu semua. Mereka tetap melalaikan bahkan menolak prinsip-prinsip islam dalam kehidupan dan politik. Tidak ada lagi sikap dan narasi manis seperti yang mereka lakukan jelang pemilu. Inilah yang terjadi ketika sistem yang diemban bukan dari islam. Semua dilakukan semata-mata hanya untuk kepentibgan pribadi saja, bukan untuk kepentingan ummat.
Politik di dalam islam jelas berbeda dengan politik didalam demokrasi, sistem Barat yang kini sudah di ambang kehancurannya. Islam dengan kedaulatan yang mutlak berada di tangan syara’, dan dengan makna kedaulatan ala islam inilah yang menjadi fondasi dalam bernegara. Sehingga seluruh kebijakan negara dan pelaksanaanya akan diawasi oleh rakyat dengan landasan syar’i. Karena sejatinya, sistem islam dan sistem barat adalah dua landasan yang bertentangan. Wacana islam tidak bisa dilahirkan dari demokrasi islami ataupun islamisasi demokrasi.
Disinilah urgensinya untuk mendakwahkan pemahaman ditengah umat tentang kesadaran politik yang benar. Karena, antara islam dan politik memang tidak bisa dipisahkan. Dan politik harus berdasar untuk kepentingan islam. Politik islam, berarti pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri hanya dengan hukum Islam. Hanya bila masyarakat diatur dengan islam akan tercipta kebaikan dan Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin.