Oleh : Dian Safitri, S.Pd.I
Abad modernisasi kini menjadikan penguasa mempolitisasi Islam untuk kepentingan politik, Islam dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Tidak heran jika masyarakat muak dengan kondisi saat ini, karena mereka merasakan Islam dijadikan kepentingan untuk mengambil hati ummat.
Sebagai contoh, ketika pemilu, para calon menyibukkan diri mendatangi masjid-masjid untuk memberikan sumbangan, mendatangi pesantren serta para ulama atau pun kiyai untuk meraup suara dan dukungan.
Dan setelah tujuannya tercapai, mereka tidak lagi memperhatikan semua yang berkaitan dengan Islam, bahkan berkesan tidak memihak pada Islam.
Contohnya, masih teringat di benak kita kasus mantan gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menghina agama, kasus itu bermula saat dirinya memberikan pidato kunjungan kerja di pulau pramuka, kepulauan seribu pada tanggal 27 september 2016, dalam pidatonya Ahok dianggap menghina agama lewat komentarnya soal surah Al-Maidah ayat 51. Ahok menganggap banyak orang yang dibohongi oleh surah tersebut dengan tidak boleh memilih pemimpin nonmuslim
(Okezone.com, 26/2/2018).
serta
pernyataan kepala staf kepresidenan, Moeldoko terkait ijtima II, dia mengatakan jangan mengaitkan Agama dengan politik.
Tambahnya, saran saya jangan Agama dibawa ke politik. Karena kalau Agama dibawa ke politik kasihan ummat ini mau kemana nanti (Detiknews.com,16/09/2018).
Lantas bagaimana sudut pandang Islam terkait pemisahan agama dari politik ?
Menurut pendapat Imam Al-Ghazali di dalam kitab Ihya' ulumuddin, Hujjatul Islam, beliau mengatakan Agama dan negara adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang.
apa yang disampaikan oleh Imam AlGhozali tersebut mengarah kepada pemahaman bahwa antara Agama dan negara merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan.
Keduanya saling membutuhkan, untuk saling memperkokoh antara satu dengan yang lainnya.
Dan hal itu dirumuskan demi terciptanya kemaslahatan global dalam porsi dan koridor masing-masing, baik yang berhubungan dengan kehidupan keagamaan dan kenegaraan.
Rumusan tersebut bukan bertujuan untuk menumbuhkan asumsi terhadap bentuk hegemoni agama atas negara. Pemahaman terhadap norma-norma keagamaan sudah saatnya di
Sinkronisasikan dengan pemahaman atas kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena negara merupakan wadah yang melindungi pengimplementasian ajaran agama secara real dalam kehidupan.
Jadi, agama tidak bisa dipisahkan dari politik. Dan akhir-akhir ini kita merasakan perubahan politik yang semakin meningkat, masyarakat menuntut Islamisasi politik yakni dengan menjadikan Islam sebagai dasar dalam berpolitik.
Dalam peradaban Islam, narasi Agama dan politik kerap beririsan, tidak hanya menjadi properti privat, Agama juga menjadi ruh bagi negara. Sinar Agama itulah yang menjadi nilai yang menjiwai suatu pemerintahan untuk menjalankan kekuasaan.
Sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad shallallahu A'laihi Wasallam, beliau bukan hanya sebagai pembawa risalah, melainkan juga membangun komunitas masyarakat terstruktur di kota madinah.
Bahkan di masa itu beliau sudah melahirkan piagam madinah semacam konstitusi negara yang mengatur hubungan penduduk Madinah yang beragam atas dasar konsesus. Inilah yang menjadikan beliau sebagai negarawan.
Wallahu 'Alam