Oleh: Safiatuz Zuhriyah, S. Kom
Aktivis Forum Muslimah Ciputat
Sungguh ironis nasib rakyat dalam sistem demokrasi. Rakyat diperlakukan bak anak emas hanya ketika dibutuhkan suaranya. Cukup dengan polesan lip service janji-janji manis, bantuan sembako atau uang tunai, maka rakyat akan terbuai. Namun lihatlah, ketika para pendulang suara berkuasa, rakyat kembali diperlakukan bak anak tiri. Jangankan sejahtera, untuk memenuhi kebutuhan pokok dengan standar minimal pun sulit. Bila tertimpa musibah, bantuan pun minim didapat. Tidak sebanding dengan jiwa dan harta benda yang musnah.
Kondisi ini terlihat jelas ketika di Sentani dilanda banjir bandang, pada saat yang bersamaan capres petahana harus berkampanye. Anggaran yang dikeluarkan untuk keduanya ternyata sangat jauh berbeda. Korban banjir hanya mendapatkan dana Rp1M. Sedangkan Apel Kebangsaan, yang notabene adalah acara kampanye petahana, menelan dana sampai Rp18M. Padahal bencana di Sentani cukup besar. Terbukti dari banyaknya korban jiwa dan pengungsi.
Menurut Kapendam XVII Cenderawasih, Kolonel Inf. Muhammad Aidi pada 20 Maret 2019 pukul 13.00 WIT, korban meninggal dunia di Kabupaten Jayapura 100 orang, pengungsi 9.692 orang. Total korban yang terdampak bencana banjir bandang pada Sabtu malam (16/3/2019) mencapai 11.725 KK. (Kompas.com)
Sehari berselang setelah bencana banjir, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Prabowo menggelar acara Apel Kebangsaan di Lapangan Pancasila Simpang Lima, Semarang, Minggu (17/3/2019). Ganjar dikritik lantaran acara itu digelar dengan menggunakan dana APBD.(cnn.com) .
Begitulah sistem demokrasi. Sistem dengan biaya tinggi yang meniscayakan pemimpin tanpa nurani. Yang ada dalam benaknya hanyalah materi. Karena dengan materi inilah ia bisa berkuasa dan melanggengkan kekuasaannya. Apapun akan dilakukan demi mencapai tujuan kekuasaan. Meski harus mengorbankan kepentingan rakyat.
Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam, dimana ketakwaan individu menjadi pertimbangan utama dalam memilih pemimpin. Pemimpin Islam diangkat untuk melaksanakan hukum syara. Tak ada pertimbangan materi dalam mengambil kebijakan. Seorang pemimpin akan memikirkan kesejahteraan rakyatnya sejak hari pertama pengangkatan. Karena ia betul-betul paham bahwa pemimpin adalah penanggung jawab urusan rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari penghisaban.
Dalam hal pembelanjaan harta, harus dibuat skala prioritas. Kepentingan umum menjadi prioritas utama. Terutama hal-hal yang menyangkut nyawa dan kebutuhan pokok. Ketika terjadi bencana, fokus utama adalah penanganan para korban dan rehabilitasi pemukiman. Berapapun dana yang dibutuhkan, wajib disediakan oleh pemerintah sesegera mungkin. Bahkan bila kas negara kosong, maka hukum syara membolehkan negara untuk berhutang tanpa riba atau menarik pajak dari warga negara yang mampu. Bukan malah membuat acara lain.
Ilustrasi sederhana penanganan bencana yang dilakukan oleh Daulah Khilafah Islamiyah adalah apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra ketika menangani paceklik yang menimpa jazirah Arab. Pada saat itu, orang-orang mendatangi Kota Madinah–pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah—untuk meminta bantuan pangan. Umar bin Khaththab ra segera membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat, seperti Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah bin Uthbah bin Mas’ud ra. Setiap hari, keempat orang sahabat yang mulia ini melaporkan seluruh kegiatan mereka kepada Umar bin Khaththab ra, sekaligus merancang apa yang akan dilakukan besok harinya. Umar bin Khaththab ra menempatkan mereka di perbatasan Kota Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang-orang yang memasuki Kota Madinah. Jumlah pengungsi yang mereka catat jumlahnya terus meningkat. Pada suatu hari, jumlah orang yang makan di rumah Khalifah Umar bin Khaththab ra berjumlah 10 ribu orang, sedangkan orang yang tidak hadir di rumahnya, diperkirakan berjumlah 50 ribu orang. Pengungsi-pengungsi itu tinggal di Kota Madinah selama musim paceklik. Dan selama itu pula mereka mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah Umar bin Khaththab ra. Setelah musim paceklik berakhir, Umar bin Khaththab ra memerintahkan agar pengungsi-pengungsi itu diantarkan kembali di kampung halamannya masing-masing. Setiap pengungsi dan keluarganya dibekali dengan bahan makanan dan akomodasi lainnya, sehingga mereka kembali ke kampung halamannya dengan tenang dan penuh kegembiraan.
Di dalam Islam, jika pemimpin lalai maka majelis umat yang akan menegurnya. Salah satu tugas majelis umat adalah untuk melakukan koreksi terhadap penguasa dan mengubah perilaku mereka jika melanggar hak-hak rakyat, melalaikan kewajiban, abai terhadap urusan rakyat, menyalahi hukum Islam, atau memutuskan hukum dengan selain wahyu dari Allah.
Inilah sistem Islam. Rakyat akan terjamin kesejahteraannya. Pemasukan negara yang sedemikian besar, benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat. Bukan menjadi santapan para penguasa dan dipergunakan sesuka hati mereka. Hal ini hanya akan terwujud dalam daulah khilafah Islamiyah. Oleh karena itu, mari bersama-sama kita memperjuangkannya.