Oleh Suhaeni, M,Si
(Pemerhati Remaja)
Jagat Twitter sedang viral dengan tagar #JusticeForAudrey. Seorang siswi SMP di Pontianak yang bernama Audrey, dia korban pengeroyokan sejumlah siswi SMA . Berawal dari perang kata-kata di medsos hingga berujung kekerasan. Berdasarkan pengakuan korban, Ia disiram air, rambut dijambak, kepala dibenturkan ke aspal, perut diinjak, hingga mendapat perlakuan asusila yaitu dengan menghilangkan keperawanannya. Dilansir CCN Indoensia (10/04/2019).
Kasus Audrey semakin hari semakin berkembang, banyak Netizen yang akhirnya bingung dan berkurang simpati. Pasalnya, hasil visum rumah sakit menunjukkan bahwa tak ada memar dan luka di alat vital korban. Hal tersebut seiring dengan hasil penyidikan polisi. Kapolresta Pontianak Kombes Pol Muhammad Anwar Nasir membenarkan para tersangka tak melukai alat kelamin korban. “Fakta yang ada hanya menjambak rambut, mendorong sampai jatuh, memiting dan melempar sandal. Dan tidak ada melukai kelamin.” Temuan fakta tersebut akhirnya membuat publik bingung, hingga di twitter ramai kembali dengan hastag #audreyjugabersalah (Tribunnews.com, 13/04/2019).
Namun, apapun alasannya prilaku _bullying_ tetap tidak dibenarkan. Selain trauma fisik juga mental yang kerap dihadapi korban. Kita sudah tahu bahwa kasus Audrey memang bukanlah kali pertama. Masih hangat dalam ingatan kita, kasus Yuyun (14 tahun) di Bengkulu, siswi SMP yang diperkosa beramai-ramai oleh segerombolan remaja, lalu jasadnya dibuang. Seperti dilansir www.liputan6.com (04/05/2016).
Kasus kekerasan remaja seolah tak pernah kehabisan cerita. Kasus remaja yang memukuli guru hingga meninggal serta kasus geng motor yang melakukan pembegalan secara sadis. Belum lagi kasus _cyberbully_ yang dampaknya sangat berbahaya pada kesehatan mental sang anak.
Kekerasan menjadi potret buram remaja saat ini. Indonesia sedang mengalami darurat kekerasan dan prilaku amoral di kalangan remaja. Pelakunya saat ini sudah lintas gender, bukan saja laki-laki, tapi juga perempuan. Banyak faktor yang menyebabkan remaja tumbuh dengan mental lebih rendah dari pada binatang.
Pertama, disfungsi keluarga. Orang tua yang seharusnya menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak, malah menyerahkan pengasuhan kepada yang lain. Bahkan orang tua lebih memilih hanya menjadi mesin ATM saja. Maka pantas jika anak-anak tumbuh dengan mental pemarah, egois, miskin empati dan anti sosial.
Kedua, faktor lingkungan masyarakat. Lingkungan adalah tempat perkembangan sosial. Lingkungan memiliki pengaruh kuat bagi remaja. Sehingga lingkungan yang buruk dan kontrol yang lemah akan memicu berbagai masalah tindak kenakalan dan kekerasan remaja.
Ketiga, disfungsi Negara. Remaja saat ini digempur secara massif bahkan tanpa filter oleh berbagai informasi. Remaja disuguhkan bahkan digiring untuk memiliki budaya hedonisme, liberalisme, dan sekulerisme. Ya, bebas sebebas-bebasnya, tanpa ada rasa takut dosa. Tidak ada perlindungan negara bagi masyarakat dan remaja, sehingga berbagai informasi negatif ditelan secara mentah-mentah. Apalagi minimnya keimanan dan ketakwaan dalam diri remaja.
Hukum yang diterapkan bagi pelaku kekerasan juga tidak jelas dan tidak memberikan efek jera terhadap pelakunya. Misal, untuk batasan anak dengan dewasa saja belum ada kejelasan. Dalam UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU N0.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Tetapi dalam UU N0.4 tahun 1979, tentang kesejahteraan anak adalah sesorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin.
Selain itu, ada perbedaan penangan kasus dengan kasus lainnya terhadap kriminalitas anak dan remaja. Ancaman pidana itu hanya ditujukan terhadap percobaan kejahatan, sedangkan untuk percobaan pelanggaran tidak bisa dipidana.
Islam telah memiliki aturan yang jelas dan menyeluruh serta pasti terhadap segala permasalahan yang mucul dalam kancah kehidupan. Termasuk dalam melakukan penanganan terhadap tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak. Batasan usia anak juga jelas, yakni sampai dia baligh. Orang yang sudah baligh (dewasa) sudah dikenakan beban hukum, sebagaiman yang tecantum dalam hadist:
“Diangkat pena dari tiga golongan, anak-anak sampai baligh, orang gila sampai sembuh dan orang lupa sampai ingat”. (HR. Bukhari)
Begitulah sistem Islam. Batasannya tegas dan memiliki pakem yang jelas. berbeda dengan sistem buatan manusia. Penuh dengan ketidakjelasan dan ketidakadilan. Agar kenakalan remaja tidak semakin menjadi, negara harus punya sistem hukum yang tegas dan jelas serta bisa memberikan efek jera bagi pelakunya. Hanya dengan penerapan hukum Islam secara _kaffah_ maka kasus kenakalan remaja dan kasus kriminalitas lain bisa diminimalisir. Insya Allah.
Wallahu a’lam bishawab