Hoax Sama Dengan Terorisme?

Oleh : Ummi Mujahid20

Menjelang detik-detik di selenggarakan pilplres 2019, suhu kontestasi politik kian memanas. Kampanye masing-masing kubu semakin masif di lakukan, baik di darat maupun di media sosial. Pembahasan terkait kedua paslon presiden dan wapres selalu menjadi hal menarik. Debat dan bincang terbuka pun terus bergulir, survey - survey di lakukakan, baik itu fakta atau hanya sekedar untuk menaikan citra elktabilitas. Semakin dekat pilpres suasana semakin bergolak, tidak terkecuali tersebarnya hoax menjadi bumbu dan pelengkap pertarungan kontestasi politik yang sedang berlangsung. Sedemikian hingga menteri polhukam mewacanakan UU terorisme akan di gunakan untuk menangani hoax.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto mewacanakan penggunaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk menindak para penyebar hoaks. Sebab, dia menilai hoaks yang kerap beredar telah imenganggu keamanan dan menakuti-nakuti masyarakat. Menurutnya hoaks tersebut telah serupa dengan aksi teror, seperti yang terjadi terkait pemilihan presiden (pilpres) atau pemilu 2019. "Kalau masyarakat diancam dengan hoaks untuk tidak ke TPS (tempat pemungutan suara), itu sudah terorisme. Untuk itu maka kami gunakan UU Terorisme," kata Wiranto di kantornya, Jakarta, Rabu (20/3).

Namun beberapa kalangan menilai wacana yang di gulirkan oleh menkopolhukam terlalu berlebihan.

Jakarta - Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menilai Menko Polhukam Wiranto lebay karena menyebut pelaku hoax bisa dijerat menggunakan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. BPN Prabowo-Sandiaga menyebut Wiranto ingin menakut-nakuti rakyat.

"Pertama ya, pernyataan Wiranto itu lebay. Lebay, kelihatan pemerintah dan pendukung Pak Jokowi ini panik sehingga ingin menakut-nakutin rakyat dengan UU Terorisme. Tidak bisa dibandingkan pelaku teroris dengan hoax," kata juru bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade, kepada wartawan, Sabtu (23/3/2019).

Demikian di perkuat dengan pendapat senada Mahfud MD yang di lansir Merdeka.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD belum menemukan dalil jika pelaku penyebaran berita bohong atau hoaks dijerat menggunakan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Seperti diketahui, wacana tersebut muncul dari Menko Polhukam Wiranto. Dasarnya, pelaku hoaks dinilai sebagai peneror masyarakat."Saya belum menemukan dalilnya, saya cari-cari teroris itu kan satu tindakan kekerasan yang membuat orang takut korbannya, masyarakat umum membahayakan jiwa dan sebagainya," kata Mahfud dalam diskusi Aliansi Anak Bangsa untuk Indonesia di Hotel Treva, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (24/3)

Definisi Hoax dan Terorisme

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘hoaks’ adalah ‘berita bohong.’ Dalam Oxford English dictionary, ‘hoax’ didefinisikan sebagai ‘malicious deception’ atau ‘kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat’.

beberapa Jenis hoax:

1. Hoax proper

Hoax dalam definisi termurninya adalah berita bohong yang dibuat secara sengaja. Pembuatnya tahu bahwa berita itu bohong dan bermaksud untuk menipu orang dengan beritanya.

2. Judul heboh tapi berbeda dengan isi berita

Kebiasaan buruk banyak pembaca adalah hanya membaca headline berita tanpa membaca isinya. Banyak beredar artikel yang isinya benar tapi diberi judul yang heboh dan provokatif yang sebenarnya tidak sama dengan isi artikelnya.

3. Berita benar dalam konteks menyesatkan

Kadang-kadang berita benar yang sudah lama diterbitkan bisa beredar lagi di sosial media. Ini membuat kesan bahwa berita itu baru terjadi dan bisa menyesatkan orang yang tidak mengecek kembali

Sedangkan makna Terorisme dalam KBBI adalah: penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); atau praktik tindakan teror.

Jika melihat definisi kedua istilah tersebut memang tidak di temukan keterkaitan atau kesamaan antara hoax dengan tindakan terorisme. Terlebih lagi untuk penanganan hoax sendiri sudah cukup banyak undang-undang yang di bisa gunakan. yaitu pelaku hoax dikenakan KUHP, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ketika ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial. Dan masih ada lagi Undang -undang yang lainnya. Jadi memang tidak perlu untuk menggunakan undang-undang terorisme untuk menindak hoax.

 Sehingga wacana yang di gulirkan menkopolhukam memang terkesan terlalu tergesa-gesa dan dipaksakan.

Apalagi jika prakteknya hanya menyasar orang-orang yang berada di barisan oposan saja dan tidak menyentuh orang-orang yang ada di kubu petahana. Jika demikian ini menunjukkan ke kalutan yang muncul dari rasa panik rezim akan kekalahannya pada pilpres 2019. Ketakutan akan lepasnya kekuasaan dari tangan mereka.

Begitulah dalam sistem demokrasi. Kekuasaan adalah segalanya. Karena kekuasaan bisa digunakan sebagai alat untuk meraih dan mengakomodir berbagai kepentingan segelintir orang, yakni penguasa, elit politik dan juga pengusaha(bukan kepemtingan rakyat). Maka akan di pertahankan dengan berbagai cara oleh mereka. tidak terkecuali menggunakan kekuasaan untuk memukul lawan politiknya. sehingga abuse of poewer pun akan sering terjadi

Kekuasaan Dalam Islam.

sungguh islam adalah agama yang syamilan wakamilan. agama yang sempurna dan paripurna mengatur setiap aspek kehidupan manusia. Termasuk mengatur konsep kekuasaan dalam negara.

Dalam islam, kekuasaan adalah alat untuk menegakkan hukum syara. Penguasa/al hukam di pilih dan di baiat untuk menerapakan hukum syara atas seluruh rakyatnya. Menjaga kehidupan rakyat agar senantiasa dalam ketaatan sehingga terpenuhi hak dasar mereka. Jadi hubungan antara penguasa dan rakyat adalah saling menguatkan dalam ketaatan. wujudnya dalam menghidupkan budaya amar ma'ruf nahi munkar bukan hubungan antara pemenang dan oposan.

gambaran hal ini bisa kita lihat secara nyata pada masa pemerintahan umar bin khottob ketika umar membuat kebijakan besaran mahar itu di batasi,

Umar berpidato di atas mimbar. Setelah memuji Allah, ia berkata. “Ketahuilah, janganlah kalian mempermahal mahar wanita, sebab seandainya hal itu merupakan suatu kehormatan di dunia atau ketaqwaan di sisi Allah, niscaya orang yang paling pertama melakukannya adalah Rasululullah, namun beliau tidak pernah memberikan mahar kepada seorang istrinya dan tidak juga seorang putrinya diberi mahar lebih dari dua belas uqiyyah.”

Kemudian pernyataan umar ini di sanggah oleh seorang perempuan, “Wahai pemimpin orang Mukmin. Apakah Kitab Allah yang lebih berhak kami ikuti ataukah ucapanmu?”

Spontan Umar pun menjawab, “Tentu al Quranlah yang lebih berhak dikuti.”

“Apa yang kamu maksudkan?” lanjut Umar.

Wanita itu berkata, “Engkau baru saja melarang untuk memberi mahar yang lebih banyak dari mas kawin Rasulullah. Padahal Allah Ta’ala berfirman,

وءاتيتم إحداهن قنطارا فلا تأخذوا منه شيئا {٢٠} سورة النساء

“Dan kalian telah memberikan pada salah satu wanita harta yang banyak sebagai mas kawin……….”

dan umar pun menjawab

"wanita ini benar dan umar salah"

dalam kisah tersebut tergambar terciptanya budaya amar ma'ruf nahyi munkar. saling menasehati dalam ketaatan. Bkan hubungan pemenang dan oposan yang selalu saling menjatuhkan.

wallohu a'alm bishoab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak