Oleh Meriyani (Alumni UIN Raden Fatah)
Gagap gempita pasca pilkada serentak tahun 2019 disambut meriah. Seolah rakyat berpesta pora dan bersuka cita. Sayang rakyat tak pernah tahu ada apa di balik semua itu. Menilik partisipasi rakyat dalam sistem demokrasi, rakyat hanya dilibatkan dalam pemilihan umum. Selebihnya rakyat dibiarkan kembali kepada habitat aslinya. Rakyat bukanlah subyek politik dalam demokrasi. Rakyat sebagai obyek dalam menentukan legitimasi dan duduk di kursi kekuasaan. Jika rakyat berpartisipasi politik, itu pun didasari atas keinginan untuk sekadar pergantian kepemimpinan. Tanpa melihat sistem yang digunakan dalam pengaturan kehidupan. Kondisi faktual demokratisasi di Indonesia menjadikan rakyat melakukan partisipasi politik secara sukarela.
Adapun pelaku politik yang berebut kuasa, mereka mengeluarkan daya upaya hingga uang yang jumlahnya tak terkira. Manifestasi partisipasi politik rakyat memang ditekankan pada pemberian suara, kegiatan kampanye, aksi demonstrasi, menulis di media cetak, melakukan dialog, dan sebagainnya. Ukuran sumbangan suara rakyat sangat mempengaruhi tingkat kesadaran partisipasi politik. Rakyat jadi Raja? Membincang demokrasi harus dimulai dari asas yang mendasari kelahiran ide itu. Jangan melihat demokrasi dari kulitnya yang berbunyi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Sangat naif jika berpolitik dalam demokrasi sekadar dicekoki dengan jargon itu.
Demokrasi sesungguhnya dibangun dari asas yang bertumpu pada kebebasan. Hal ini dilandasi dari segala sikap menjauhi penindasan dan sebagai jalur kompromi agar semua senang dan mendapatkan bagian. Di dalam demokrasi ditiadakan nilai-nilai agama dalam pengaturannya. Bahkan demokratisasi yang gaung di masa kini lebih menonjolkan perebutan dan pembagian kekuasaan. Praktik itu benar-benar dibuktikan pelaku dan penguasa saat ini. Mencari idealitas demokrasi menuju kesempurnaan mustahil diwujudkan. Hal ini dikarenakan demokrasi merupakan ide kompromi, bukan ide solusi. Rakyat mustahil menjadi raja yang akan diurusi kehidupannya. Selama ini, pemerintahan demokrasi senantiasa tumpang tindih dalam pembangunan dan pembuatan aturan. Janji-janji selama kampanye sekadar komunikasi politik yang dibangun demi simpati.
Pembangunan sistem politik sekadar wah dalam rancangannya, namun ‘memble’ dalam pelaksanaannya. Sikap koruptif pun ditujukan kepada orang-orang yang tidak teguh memegang amanah. Rakyat kembali mengelus dada, seolah masih terngiang janji manis yang hanya kompromis. Pada fenomena Pilkada Serentak 2019 rakyat sesungguhnya marah besar. Seperti di Jakarta, suatu anomali baru dalam perpolitikan Indonesia. Seorang terdakwa dalam penistaan agama diberikan kelapangan menduduki jabatannya kembali. Penguasa dan departemen yang berwenang pun bersilat lidah untuk mengeluarkan jurus 1001 bayangan. Ingat, rakyat bukan anak kecil atau orang bodoh. Rakyat sudah sadar bahwa segala bentuk kedzaliman adalah kejahatan nyata, meski itu ditutupi rapat. Mustahil penguasa demokrasi mendengarkan suara rakyat, meski mereka mengklaim berkuasa didukung oleh suara rakyat. Suara rakyat adalah ‘suara Tuhan’ sekadar pemanis buatan dalam memuluskan ke jalur kekuasaan. Masihkah peristiwa itu tidak menyadarkan semuanya? Tak hanya di Jakarta, di beberapa daerah meski Pilkada terlaksana dengan damai ternyata masih menyimpan ‘api dalam sekam’.
Konflik bisa saja terjadi pasca pilkada berlalu. Hal inilah yang senantiasa diwanti-wanti pihak keamanan agar senantiasa menjunjung persaudaraan dan perdamaian. Beberapa kepala daerah angkat bicara agar semua ‘legowo’ menerima pihak yang menang. Rakyat sendiri yang akan menelan pil pahit dari demokratisasi yang membawa bencana baru. Di sisi lain, partai politik tak satu suara terkait kepemimpinan seorang muslim. Hal inilah yang akhirnya menjadi ‘lelucon’ seolah menjadikannya terkait politisasi Islam. Suatu fenomena pencampuradukan Islam dan demokrasi yang berujung pada kebatilan dan kehinaan. Lagi-lagi, umat Islam yang menjadi rakyat mayoritas di negeri ini terkena bencana politik. Pilkada Berlalu Biarkanlah pilkada berlalu, karena memang rakyat kembali pilu. Politisasi kepemimpinan dalam demokrasi sekadar dijadikan ajang berbagi kepentingan dan kekuasaan. Modal besar harus mereka keluarkan sebagai konsekuensi hasrat duduk di kekuasaan. Pada kondisi ini, masuklah kepentingan pemodal yang ingin melancarkan misinya agar tetap bertahan dalam belantika ekonomi. Sudah banyak fakta kepala daerah tersangkut korupsi, sikap memperkaya diri, dan keangkuhan sebagai raja-raja kecil.
Sekali lagi perlu ditegaskan di sini, rakyat haruslah sadar akan partisipasi politik sejati. Partisapasi yang tidak sekadar menyumbangkan suara secara percuma. Lebih dari itu partisipasi dalam rangkan mengoreksi setiap kebijakan dzalim dan khianat yang dilakukan penguasanya. Begitu pun membongkar segala makar orang-orang rakus berwajah halus yang ingin menghancurkan kehidupan umat Islam.
Sistem pemerintahan dalam Islam berbeda dengan demokrasi. Sistem demokrasi adalah sistem buatan manusia yang tegak di atas asas pemisahan agama dari kehidupan dan menetapkan kedaulatan sebagai milik rakyat. Jadi rakyatlah yang memiliki hak menetapkan hukum dan syariat. Rakyat yang memiliki hak mendatangkan penguasa dan mencopotnya. Rakyat pula yangmemiliki hak menetapkan konstitusi dan undang-undang.
Sementara sistem pemerintahan Islam itu berdiri di atas asas akidah islamiyah dan berdasarkan hukum-hukum syara’. Kedaulatan dalam sistem pemerintahan Islam adalah milik syara’ bukan milik rakyat. Umat maupun khalifah tidak memiliki hak membuat hukum. Yang menetapkan hukum adalah Allah SWT. Akan tetapi Islam menetapkan kekuasaan dan pemerintahan menjadi milik umat. Umat lah yang memilih orang yang memerintah umat dengan islam dan mereka baiat untuk menjalankan hal itu. Selama khalifah menegakkan[, dan menerapkan hukum-hukum Islam maka dia tetap menjadi khlaifah berapapun lamanya masa jabatan khilafahnya. Dan kapan saja ia tidak menerapkan hukum Islam maka masa pemerintahannya berakhir meski baru satu hari atau satu bulan, dan ia wajib dicopot. Dari situ kita memandang bahwa ada kontradiksi yang besar antara kedua sistem (Republik demokrasi dengan Khilafah) dalam hal asas dan bentuk masing-masingnya. Atas dasar itu, maka tidak boleh sama sekali dikatakan bahwa sistem Islam adalah sistem republik, atau bahwa Islam menyetujui demokrasi.
Gelombang opini umum dalam membangun politik Islam harus segera direalisasikan, di tengah kekeringan pemahaman politik Islam yang masih setengah sadar. Bangkit dan bergerak itulah sebuah jawaban. Jika tidak kembali pada politik Islam, maka apakah kembali kepada demokrasi yang hipokrasi? Jika tidak mengambil aturan Islam sebagai sistem kehidupan, maka apakah rela diatur oleh aturan bobrok yang meninabobokan dari mengingat Tuhan? Jika tidak segera mengganti kepemimpinan yang mengabaikan rakyatnya, maka apakah rela umat terus hidup dalam hina? jelas tidak karena sistem pemerintahan dalam islam adalah sistem Khilafah,Khilafah secara syar’i adalah kepemimpiman umum bagi kaum Muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara’ islami dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah adalah imamah itu sendiri.
Khilafah adalah bentuk pemerintahan yang dinyatakan oleh hukum-hukum syara’ agar menjadi daulah Islam sebagaimana yang didirikan oleh Rasulullah saw di Madinah al-Munawarah, dan sebagaimana yang ditempuh oleh para sahabat yang mulia setelah beliau. Pandangan ini dibawa oleh dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah dan yang menjadi kesepakatan ijmak sahabat. Tidak ada yang menyelisihinya di dalam umat ini seluruhnya kecuali orang yang dididik berdasarkan tsaqafah kafir imperialis yang telah menghancurkan daulah Khilafah dan memecah belah negeri kaum Muslimin.