Oleh : Siti Ruaida, S. Pd
Hari Kartini bagi kaum wanita indonesia menjadi pengingat bahwa Indonesia pernah memiliki seorang wanita pelopor pejuang perubahan untuk kaum wanita Indonesia. Hingga mendaulat Raden Ajeng Kartini. sebagai Pahlawan nasional untuk kaum Wanita Indonesia, karena kegigihannya memperjuangkan pendidikan bagi kaum wanita. Kartini yang lahir pada tanggal 21 April 1879 di Kota Jepara adalah seorang bangsawan dengan gelar Raden Ajeng. Hingga Kartini berhak memperoleh pendidikan yang menghantarkannya pada pengetahuan dan kemampuan memahami kondisi kaum wanita saat itu. Kegemarannya membaca membuat beliau memiliki perhatian khusus pada kondisi wanita saat itu dan membandingkan kehidupan wanita Pribumi dan wanita Eropa dari sisi kondisi sosial dan budaya saat itu. Dimana wanita harus dipingit, tidak bebas dalam menuntut ilmu atau belajar karena adanya adat yang mengekang kebebasan wanita. Berbeda dengan wanita Eropa yang terkesan memiliki banyak kebebasan.
Sebagai bahan renungan tentang kegalauan Kartini akan kondisi sosial saat itu beliau tuliskan dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899, RA Kartini menulis;
Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya.
Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.
Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya.
Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kita ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.
Surat surat Kartini ini diterbitkan oleh Abendanon dari Belanda, memang terkesan Kartini seperti sudah jadi sekuler dan penganut feminisme. Kita tidak tahu apakah Abandenon melakukan pengeditan terkait tugasnya sebagai aparat pemerintah kolonial Belanda plus orientalis saat itu. Di sisi lain memang Belanda memang memiliki kebijakan melarang menerjemahkan Al Quran kedalam bahasa Jawa.
Namun kisah berikut ini semoga bisa memberi informasi baru mengenai apresiasi Kartini pada Islam dan Ilmu Tasawuf. Bagaimana pertemuannya dengan Kyai Sholeh bin Umar Darat, yang diceritakan Ibu Fadhila Sholeh, dalam tulisannya. Pertemuan Kartini dengan Kyai terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya Kartini.
Saat itu Kyai mengajarkan tafsir Surat al-Fatihah. RA Kartini menjadi amat tertarik dengan penjelasan Kyai Sholeh Darat.
Kartini tertegun dan Sepanjang pengajian, seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh Darat, menangkap kata demi kata yang disampaikan sang Kyai. Bahkan Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya menemui Kyai Sholeh Darat. Bahkan dengan merengek-rengek seperti anak kecil. Sehingga membuat sang Paman terpaksa mempertemukan dengan Kyai untuk berdialog. “Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog. Pertanyaan tersebut membuat Kyai Sholeh tertegun, Dan menanyakan kembali “Mengapa Raden
Ajeng bertanya demikian?”. Kartini mengungkapkan
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kyai Sholeh Daratpun seolah tak punya kata untuk menyela. Kartini melanjutkan; “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Buntut dari dialog ini membuat Kyai Sholeh akhirnya melakukan pekerjaan besar yaitu menerjemahkan Alquran ke dalam Bahasa Jawa. Walaupun ada larangan dari pemerintah Kolonial Belanda. Beliau menerjemahkan Qur’an dengan ditulis dalam huruf “arab gundul” (pegon) sehingga tak dicurigai penjajah. Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A. Kartini pada saat dia menikah dengan R.M. Joyodiningrat, seorang Bupati Rembang. Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan:
“Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
Hal inilah yang menjadi dasar terbitnya sebuah buku “Habis gelap terbitlah terang”.
Kartini banyak mengulang kata “Dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda: “Door Duisternis Toot Licht.” yang Oleh Armijn Pane, ungkapan tersebut diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang,”. Kemudian dijadikan judul buku kumpulan surat-menyurat Kartini. Dalam hal ini tampaknya Kartini terinspirasi dari salah satu ayat dalam surah Al Baqorah.
“Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya.” (QS. Al-Baqarah: 257).
Disini jelas sekali peran Kyai Sholeh membawa Kartini kepada transformasi spiritual. Sehingga pandangan Kartini tentang Eropa dan kebudayaannya berubah yang diungkapkannya dalam sebuah surat bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon. Kartini menuliskan "Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Begitu pula surat Kartini kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis; "Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai".
Dalam tulisan suratnya kepada Abendanon, kartini juga mengungkapkan"Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan disamping kami", Kartini menganggap Al Qur'an sebagai gunung kekayaan yang seharusnya dijadikan oleh umat manusia sebagai pedoman, bukan melupakannya karena mengenal pendidikan Barat. Kartini berupaya mempelopori perjuangan untuk mencerdaskan anak bangsa menjadi penggerak kebangkitan pendidikan terutama untuk kaum wanita.
Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis;
"Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
Dari perjumpaan Kartini dengan Mbah Sholeh Darat untuk belajar Islam. Menjadi catatan tersendiri yang akhirnya menghantarkan Kartini dalam memahami kehidupan masyarakat yang selama ini terkungkung penjajahan. Sehingga banyak memunculkan sikap inferioritas terutama di kalangan wanita. Keterbukaan pandangan dan pemikiran Kartini dari hasil kawruh (belajar) kepada Mbah Sholeh Darat inilah yang membuat langkahnya semakin mantap untuk mengubah tatanan sosial kaum wanita dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Demikianlah begitu besar dedikasi Kartini untuk memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Untuk mendapatkan pengajaran agama agar mendapatkan petunjuk sang pencipta hingga bisa keluar dari gelapan. Mendapatkan pencerahan sebagai mana layaknya seorang hamba Allah yang harus tunduk pada aturan sang Kholik. Tidak salah beliau dinobatkan sebagai pahlawan nasional sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964, yang berisi penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Saat itu Presiden Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini, yakni tanggal 21 April, sebagai Hari Kartini hingga sekarang ini. Semoga perjalanan hidup Kartini untuk mencari cahaya dalam kehidupan dengan ajaran Islam mampu menginspirasi kaum wanita untuk menjemput cahaya Islam sehingga menjadi sosok wanita yang mulia dalam naungan Islam.
Selanjutnya wanita Indonesia tidak boleh tergoda dengan arah moderenisasi wanita yang dijajakan oleh Barat, apalagi terjebak pada ilusi moderenisasi yang mereka tawarkan. Sehingga membuat wanita keluar dari fitrahnya. Maka penting bagi kaum wanita untuk menyadari agungnya syariat Islam.
Dalam hal ini tentu kaum wanita harus banyak belajar Islam seperti halnya Kartini. Islam telah terbukti datang untuk menghapus kejahiliahan yaitu dengan syariatnya yang modern dan sempurna.
Wallahu a'lam bishowab
Selamat Hari Kartini!
Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber.
Penulis adalah Pengajar di MT.s Pangeran Antasari Martapura