Oleh : Rahmi Rahmawati
Ibu Rumah Tangga/ Aktivis Dakwah
Penyelenggaraan Pemilu 2019 di Indonesia serentak tinggal menghitung hari. Kurang dari sebulan masyarakat diharapkan ikut serta aktif menyukseskan pemilihan Presiden RI dan anggota legislatif DPR RI. MUI mengeluarkan pernyataan yang mewajibkan seluruh kaum muslim untuk ikut memilih kandidat yang tertera di surat suara. Hal ini karena dipandang sebagai pertanggungjawaban sebagai warga negara. Menkopolhukam Wiranto memberikan pernyataan bahwa orang yang mengajak orang lain untuk golput dapat dikenakan sanksi pidana. Menurut beliau, mengajak golput mengancam hak kewajiban orang lain. Tidak tanggung-tanggung, ancaman UU yang disebutkan beliau mulai dari UU Terorisme, UU ITE dan atau UU KUHP.
Padahal menurut Komisioner KPU, UU tentang Pemilu No.7 Tahun 2017 tidak mengatur soal pidana orang yang memilih untuk golput dan mengajak yang lain golput. Bahkan menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju golput adalah sikap politik yang tentu tidak bisa dipidana. Beliau menyebut dalam UUD 1945 Pasal 28 setiap warga negara punya kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Maka bentuk turunan dari hak tersebut adalah hak menyatakan pilihan politiknya dalam pemilihan umum. Jika seseorang memilih untuk golput ia tidak melanggar aturan apa pun.
Ternyata menurut laporan Bank Dunia, tren tingkat partisipasi pemilu di beberapa Negara di dunia setiap tahunnya menurun. Pada 2015 rata-rata tingkat partisipasi pemilu global hanya di angka 65 %. Pada 2016, Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) menerbitkan hasil riset yang menunjukkan bahwa jumlah Negara yang mengikuti pemilihan parlemen langsung telah meningkat secara signifikan sejak 1990-an. Namun jumlah golput terus naik sejak itu. Hingga 66 % pada 2011-2015 (Tirto.id).
Tentu untuk sebagian kalangan pengusung paslon atau partai peserta pemilu tertentu, angka golput yang semakin besar bisa menjadi momok. Ketika mereka sangat membutuhkan jumlah suara, masyarakat malah cenderung memilih untuk tidak memilih.
Semoga tidak ada lagi oknum dari Pemerintah yang menyebarkan berita bohong bahwa orang yang mengajak golput dapat dipidanakan. Kita sebagai warga Negara yang baik, jangan sampai demi kekuasaan dan keberpihakan pada salah satu paslon atau partai tertentu menjadikan kita panik. Jangan sampai UU Terorisme seperti diancamkan dapat menjerat kasus hoax dijadikan ancaman kembali pada fenomena meningkatnya angka golput.
Kita tetap harus melihat secara dewasa fenomena golput ini. Apalagi jika golput karena alasan ideologis. Alih-alih ancam sana ancam sini, positive thinking harus dikedepankan menghadapi fenomena masyarakat yang lebih memilih golput ini. Justru harus dicari tau kenapa mereka lebih memilih golput ketimbang memilih kandidat yang ada. Membangun trust pada masyarakat menjadi PR yang belum selesai.
Dalam demokrasi sekarang ini, kekuasaan menjadi segalanya. Banyak pihak yang sangat ingin mempertahankannya dengan segala cara. Kita mesti ingat bahwa kekuasaan harusnya untuk menegakkan kebenaran, bukan untuk memukul lawan politik. Bahkan dalam Islam, kekuasaan adalah untuk menegakkan hukum-hukum Allaah. Hubungan antara penguasa dan ummat harusnya adalah hubungan saling menguatkan dalam ketaatan dengan menghidupkan budaya amar ma’ruf nahyi munkar, bukan hubungan pemenang dan oposan.