Oleh: Kunthi Mandasari
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Korban kekerasan seksual kembali berjatuhan. Kali ini 14 siswi SD yang menjadi korban. Itupun masih ada kemungkinan jumlahnya akan bertambah. Mengingat pelakunya adalah mantan Kepala Sekolah di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, (detiknews.com, 14/04/2019).
Dengan berbagai cara ditempuh untuk melancarkan aksinya. Mulai dari iming-iming nilai hingga ancaman tidak naik kelas. Tak cukup sampai disitu, bagi yang berani menceritakan kejadian tersebut korban ditakuti akan ditangkap polisi.
Sangat disayangkan, kekuasaan yang dimiliki justru digunakan untuk tindakan tidak senonoh. Padahal sebagai seorang Kepala Sekolah harusnya memberikan perlindungan serta memastikan setiap anak didiknya mendapatkan pendidikan yang layak untuk bekal masa depan. Bukannya malah sebaliknya, merusak masa depan mereka. Sehingga meninggalkan trauma mendalam bagi para korban.
Belum tuntas kasus pencabulan, kini orang tua harus kembali meningkatkan kewaspadaan. Pasalnya belasan bocah di Garut terdeteksi ketagihan sex menyimpang. Diduga kuat penyebabnya karena menonton video porno, (viva.co.id, 14/04/2019).
Anak merupakan tumpuan harapan. Dimana kelak menjadi estafet kepemimpinan akan diemban. Namun jika masa depannya telah direnggut secara paksa, apa yang bisa diharapkan?
Sebenarnya naluri melangsungkan keturunan (gharizatun nau') merupakan fitrah. Hanya saja untuk memenuhinya Islam telah mengaturnya melalui adanya pernikahan. Ketika naluri tersebut disalurkan melalui jalan yang salah yakni pemerkosaan, free sex atau bahkan melalui hubungan sesama jenis adalah jalan yang keliru. Sehingga menimbulkan kerusakan. Baik secara fisik, psikis, tatanan masyarakat hingga tersebarnya penyakit mematikan.
Gharizatun nau' sendiri jika tidak disalurkan tidak akan menyebabkan kematian. Tidak akan muncul jika tidak ada rangsangan dari luar. Sehingga keberadaannya bisa ditekan dengan menjauhi faktor pemicunya.
Sayangnya dalam sistem sekuler yang hanya berasas pada manfaat saja. Maka keberadaan film porno tidak dianggap sebagai ancaman. Justru keberadaannya dijadikan sebagai komoditi untuk diperdagangkan. Dari sana akan menjadi ladang penambah pundi-pundi kekayaan.
Sehingga tidak heran jika perkembangan teknologi juga dijadikan sebagai salah satu pangsa pasar. Tanpa ada payung hukum sebagai filter, keberadaan film pornografi sangat mudah diakses. Maka wajar jika para pecandunya bisa melakukan apa saja agar keinginannya terpuaskan.
Kasus pencabulan maupun penyimpangan seksual tidak bisa diselesaikan hanya dengan menghukum pelakunya. Karena selama akarnya belum dicabut tetap akan melahirkan pelaku-pelaku lainnya.
Hanya dengan penerapan Islam secara total yang akan menyelesaikan seluruh persoalan. Membangun ketaqwaan dari skala individu hingga negara. Serta menutup segala pintu maksiat melalui hukum-hukum yang diterapkan. Sehingga kecil kemungkinan terjadi tindak kejahatan. Belum lagi hukuman yang berat siap menanti bagi mereka yang tetap kekeuh melanggar.
Wallahu'alam bishowab.