Fenomena Digital Era Milenial dan Kebangkitan Umat


Oleh. R. Alnadra

(Founder Penulis Ideologis)


Kita sesungguhnya sudah mahfum bahwa siapa saja yang ingin menguasai dunia, kuasailah medianya. 


Begitulah, media mainstream menyetir opini masyarakat seolah kekuasaan itu berada dalam "genggamannya".  Wajar saja umat selalu resah dengan informasi dan pemberitaan yang cenderung menyudutkan dunia Islam.  Tak lain hal itu karena arus informasi saat ini masih dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak suka terhadap Islam. 


Belum lagi banyak media-media pembebek, bisa jadi memiliki agenda yang sama atau mungkin juga karena ketidaktahuan akan informasi yang sebenarnya ikut menyebarluaskan berita yang menyudutkan islam. Walhasil kebenaran seolah dibungkam, namun jejak digital tak pernah berdusta--sekalipun penggunanya dikriminalisasi. 


Sebut saja, Buni Yani, Baiq Nuril, Asma Dewi, Jonru, juga musisi Ahmad Dhani. Mereka para pegiat medsos era milenial yang terjerat UU ITE akibat cuitan postingannya di jagad maya.


Fenomena Digital Era Milenial


Menelisik peran generasi milenial di era digital saat ini, rupanya "jempol" juga menentukan arus opini media sosial. Mulai dari konten yang diposting baik itu sekedar status celotehan  berupa sindiran, meme juga video kreatif dll sangat ampuh membentuk opini dan menjadi topik perbincangan masyarakat. 


Hal ini menjadi fenomena revolusi arah opini tak kala masyarakat kini, tak lagi mencari berita di televisi maupun koran sebagai media resmi rujukan, melainkan gadget dalam genggaman.


Celakanya menurut Jurnalis Asri Supatmiati, "Ada kecendrungan media resmi menjadi follower informasi dari media sosial".


Bahkan kata dia, "Media resmi, sekarang mati-matian mencoba menjadi leader opinion, tapi sulit. Kalah cepat dan viral dibanding media sosial".


Kebangkitan Umat


Bisakah kaum muslim menguasai media dan mampu membentuk opini umum masyarakat dunia?


Ada baiknya kita preteli beberapa fakta. Tiga diantaranya dikutip dari Roni Tabroni (Dosen Komunikasi Universitas Sangga Buana YPKP)


Pertama, sebagai industri. Faktanya untuk membentuk industri media massa memerlukan dana yang sangat besar. Sampai saat ini media berbasis islam belum ada yang mampu menyaingi media mainstream.


Kedua, sumber daya manusia (SDM) media massa. SDM yang dimaksud, disamping latar belakang pendidikan jurnalistik, juga kemampuan dan pengalaman broadcasting yang handal serta memiliki kecakapan tsaqofah islam yang mumpuni. Faktanya belum mampu terpenuhi oleh media islam yang ada saat ini. Walaupun misalnya ada seperti R*******a, faktanya masih belum maksimal menampilkan "wajah" islam secara kaffah.


Ketiga, Dilihat sebagai konsumen (baca penikmat media). Belum adanya solidaritas umat islam sendiri yang mendukung keberadaan media islam kaffah.  Bisa jadi masih tersekat antara kepentingan dan kelompok.


Keempat,  Dilihat dari sisi media dan alat penguasa. Kebijakan terkait pers/media juga dinilai tidak pro islam. Bahkan cenderung memusuhi islam. Masih ingat sekitar tahun 1997 lalu, ada 74 media massa di Indonesia yang sudah diverifikasi Dewan Pers ? media-media ini dianggap telah menegakkan kode etik jurnalistik dan pemberitaannya bisa dipercaya masyarakat. Yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tentu regulasi yang dibuat oleh penguasa akan menyulitkan pemberitaan media islam kaffah.


Namun kita juga perlu optimis. Pasca aksi 212 lalu, ghiroh persatuan umat islam (baca: kebangkitan umat) mulai terbentuk. Dengan adanya media sosial yang bisa dengan mudah diakses oleh umat, opini islam pun tersebar luas, cepat dan masif hingga menjalar ke seluruh penjuru dunia.


Walaupun demikian adanya regulasi UU ITE juga menjadi kendala tersendiri. Umat yang bersuara lantang dipersekusi dengan dalih menyebarkan kebencian dll.


Satu-satunya cara membentuk opini hanyalah dengan terus menggalang solidaritas dan dukungan dari umat serta mendakwahkan islam di berbagai media sosial--untuk membentuk kesadaran umat. Jika kesadaran umat sudah terbentuk dengan mudah media dapat dikuasai. Sebab tekanan  dan teori jurnalistik yang menyebabkan hal itu bisa terjadi. 


Persis seperti kejadian reuni 212 yang sepi pemberitaan media mainstrem. Padahal aksi 212 menurut Konsultan media Hersubeno Arief telah memenuhi kaidah jurnalistik secara utuh. 


Idealnya, teori jurnalistik itu memiliki nilai-nilai universal yang cenderung bersahabat dengan islam. Tidak memihak pada satu golongan juga seharusnya informasinya independen tidak dalam pengaruh siapa pun maupun tekanan apa pun.

 

Dengan demikian jika kesadaran umat ini terus terpelihara secara otomatis akan terbentuk opini umum masyarakat bahkan menjadi titik awal kebangkitan umat di dunia. Allahu'alam bisawab.

#Melekdunia

#kuliahumumrevowriter

#gemesda

#penulisideologis

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak