Oleh: Ummu Arieq
Beberapa waktu yang lalu dunia digemparkan dengan berita kebijakan pemerintah Brunei Darussalam yang memberlakukan hukum rajam bagi para pelaku LGBT. Banyak yang menyambut baik dan mengapresiasi langkah yang diambil pemerintah Brunei Darussalam, bahkan banyak yang berharap hal yang sama akan diberlakukan di Negara kita yang mayoritas muslim.
Akan tetapi, seperti yang dilansir dari laman sindonews (07/04/2019) ratusan oang berdemo di depan Hotel mewah milik Brunei Darussalam yang berada di Inggris, Dorchester Hotel. Mereka mengecam Sultan Hassanal Bolkiah yang menerapkan Hukum Syariah ketat, termasuk rajam sampai mati bagi pelaku seks sesama jenis. Para demonstran yang didominasi para aktivis pembela hak-hak gay menganggap Sultan Hassanal meniru kelompok Islamic State (ISIS) di Irak dan Suriah karena memberlakukan hukuman seperti itu.
Bukan hanya sebagian warga Inggris yang merupakan aktivis LGBT saja yang menolak kebijakan hukum rajam untuk pelaku LGBT yang ditetapkan Sultan Brunei Darussalam pada tanggal 03 april 2019. PBB pun mengecam keras kebijakan seperti yang dilansir laman Merdeka.com (02/04/2019), Kepala urusan HAM di PBB, Michelle Bachelet, mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Senin, mendesak pemerintah Brunei untuk menghentikan berlakunya KUHP baru yang "kejam" tersebut.
Apabila alasan PBB menolak kebijakan hukum rajam bagi pelaku zina dan LGBT karena alasan pelanggaran HAM, lalu bagaimana dengan dengan saudara-saudara kita di Palestina yang nyata terlihat mata bahwa Hak mereka diambil oleh Yahudi Laknatulloh. Apakah ada tindakan nyata dan upaya PBB dalam menyikapi masalah ini? Yang tentu saja hal yang mudah bagi PBB apabila mereka ingin menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM berat yang dilakukan Yahudi terhadap warga Palestina. Berapa juta nyawa yang telah gugur, berapa banyak lahan yang mereka ambil alih bahkan dalam janji kampanyenya, Netanyahu berjanji akan mencaplok dan memperluas wilayah Yahudi di tepi barat bagian dari wilayah Palestina di barat sungai Yordan (Republika.co.id 15/04/19).
Bukankah itu Pelanggaran HAM berat yang nyata? Lalu kemanakah PBB, bukankah ini permasalahan pelanggaran HAM yang paling nyata dan sudah berlangsung lama. Dari hal tersebut bisa disimpulkan, HAM hanyalah senjata bagi mereka untuk menolak kebijakan yang sesuai hukum syara. Kebebasan HAM yang mereka agung-agungkan hanya untuk mempermudah dan melegitimasi hal-hal yang sekuler seperti LGBT. Yang mereka anggap itu adalah sebuah kebebasan yang harus dibiarkan, lalu bagaimana dengan para korban tindakan kejahatan seksual yang diakibatkan para penggiat LGBT? Bukankah disana terdapat pelanggaran HAM? Bagaimana dengan kami para orangtua yang memiliki hak untuk merasa nyaman dan terbebas dari LGBT bagi anak anak kami?
Sudah jelas HAM ini bagai karet yang tidak jelas pakemnya, tidak bisa memberikan solusi secara konkrit. Masalah pelanggaran Palestina yang sudah berlangsung lama pun tidak ada solusinya.
Sejarah mencatat kala umat masih bersatu dalam bingkai khilafah, Khalifah mampu mengusir Zionis yang meminta sebidang tanah untuk mereka. Khalifah Abdul Hamid berkata kalau Palestina bukan miliknya, ia milik kaum muslim. Begitu pun kini, solusi bagi Palestina pun akan terselesaikan dengan adanya penyatuan umat islam untuk membela dan mengusir penjajah Zionis Israel dari tanah Palestina dan sekitarnya. Dengan tanpa bergantung atau meminta pertolongan kepada Negara-negara asing yang probarat. Begitupun pelaksanaan hukum syara akan dilindungi.
Wallahu ‘alam bishawab