Demokrasi Cacat Sejak Lahir, Khilafah Solusi Mustanir


Oleh: Elisa Syalsabila Lukmayanti

(Siswi Kelas XII SMAN 1 Rancaekek)


Akhir akhir ini Indonesia sedang ramai dengan adanya pemilihan pemimpin untuk Indonesia, begitu besar antusias masyarakat  dengan diadakannya pemilihan umum, apalagi pemilihan inilah yang menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin untuk Indonesia. Namun sebelum itu kita harus tahu dulu bagaimana sebenarnya pemilihan pemimpin dalam Islam, karena jika kita memilih pemimpin tidak sesuai dengan kriteria Islam, maka akan banyak kerusakan dan semakin banyak kerusakan dalam negeri ini apalagi dalam sustem demokrasi ini.


Pelaksanaan Pemilihan umum (Pemilu) serentak 2019 kali ini telah membuka mata masyarakat. Ini terkait dengan mencuatnya dugaan sejumlah kecurangan. Diawali dari hebohnya kasus dugaan ribuan surat suara tercoblos yang ditemukan di Selangor, Malaysia beberapa waktu lalu. Kemudian disusul beberapa dugaan kecurangan dan pelanggaran lainnya saat pencoblosan pemilu pada 17 April lalu. Pasca pencoblosan pun diindikasi masih ada pelanggaran, salah satunya kecurangan dalam penghitungan suara. Karenanya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sempat merekomendasikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) digelar pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah lokasi seperti di 103 TPS di Sumatera Barat, 20 TPS di Jawa Tengah, 112 TPS di Riau, Surabaya, dan sebagainya, serta luar negeri seperti di Malaysia dan Australia.  (indopos.co.id) 


Itulah salah sau bukti begitu bobroknya sistem demokrasi saat ini karena pada saat pemilu saja banyak sekali kecurangan yang bertebar dimana-mana padahal pada saat pemilu itu calon-calon pemimpin belum menjadi pemimpin saja sudah berani melakukan kecurangan apalagi nanti setelah menjadi pemimpin. Maka dari itu kita sebagai umat muslim harus tahu bagaimana memilih pemimpin dalam Islam .


Dalam kondisi terjadinya kekosongan kekuasaan, dimana Khalifah meninggal dunia, diberhentikan oleh Mahkamah Madzalim atau dinyatakan batal kekuasaannya, karena murtad atau yang lain, maka nama-nama calon Khalifah yang telah diseleksi oleh Mahkamah Mazalim, dan dinyatakan layak, karena memenuhi syarat; Laki-laki, Muslim, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu, diserahkan kepada Majelis Umat.


Majelis Umat segera menentukan dari sejumlah nama tersebut untuk ditetapkan sebagai calon Khalifah. Bisa berjumlah enam, sebagaimana yang ditetapkan pada zaman ‘Umar, atau dua, sebagaimana pada zaman Abu Bakar. Keputusan Majelis Umat dalam pembatasan calon Khalifah ini bersifat mengikat, sehingga tidak boleh lagi ada penambahan calon lain, selain calon yang ditetapkan oleh Majelis Umat ini.


Baik Mahkamah Madzalim maupun Majelis Umat, dalam hal ini akan bekerja siang dan malam dalam rentang waktu 2 hari 3 malam. Mahkamah Madzalim dalam hal ini bertugas melakukan verifikasi calon-calon Khalifah, tentang kelayakan mereka; apakah mereka memenuhi syarat in’iqad di atas atau tidak. Setelah diverifikasi, maka mereka yang dinyatakan lolos oleh Mahkamah Madzalim diserahkan kepada Majelis Umat.


Selanjutnya, Majelis Umat akan melakukan musyawarah untuk menapis mereka yang memenuhi kualifikasi. Pertama, hasil keputusan Majelis Umat akan menetapkan 6 nama calon. Kedua, dari keenam calon itu kemudian digodok lagi hingga tinggal 2 nama saja. Ini seperti yang dilakukan oleh ‘Umar dengan menetapkan 6 orang ahli syura, kemudian setelah itu mengerucut pada dua orang, yaitu ‘Ali dan ‘Utsman.


Perlu dicatat, pengangkatan Khalifah ini hukumnya fardhu kifayah, sehingga tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat. Jika kemudian ditetapkan, bahwa Majelis Umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah ini pun terpenuhi. Jika kifayah ini dianggap terpenuhi, maka Khalifah bisa dibai’at dengan bai’at in’iqad. Setelah itu, baru seluruh rakyat wajib memba’atnya dengan bai’at tha’ah.


Gambaran dan mekanisme di atas berlaku jika Khilafah sudah ada, dan Khalifah meninggal, berhenti atau dinyatakan batal. Namun, ini akan berbeda jika Khilafah belum ada, dan kaum Muslim belum mempunyai seorang Khalifah, dimana bai’at belum ada di atas pundak mereka. (www.globalmuslim.web.id)


Nah seharusnya begitulah cara memilih pemimpin dalam Islam, sehingga tidak akan terjadi kecurangan-kecurangan pada pemilihan pemimpin. Dalam kondisi sekarang, ketika Khilafah belum ada, maka solusi untuk mengangkat seorang Khalifah tentu bukan melalui Pemilu. Karena pemilu bukanlah metode baku dalam mendirikan Khilafah. Juga bukan metode untuk mengangkat Khalifah. Namun, ini hanyalah uslub. Bisa digunakan, dan bisa juga tidak, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Islam telah menetapkan, bahwa metode baku untuk mendapatkan kekuasaan adalah thalab an-nushrah. Sedangkan metode baku untuk mengangkat Khalifah adalah bai’at. Meski dalam praktiknya, bisa saja dengan menggunakan uslub pemilu.


Karena itu, mengerahkan seluruh potensi untuk melakukan uslub yang mubah, namun meninggalkan metode baku yang wajib, yaitu thalab an-nushrah dan bai’at, jelas tidak tepat. Meski harus dicatat, bahwa thalab an-nushrah tidak akan didapatkan begitu saja, tanpa proses dakwah dan adanya jamaah (partai politik Islam idelogis) yang mengembannya.


Allaahu a'lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak