Demokrasi Bukan Jalan Sejahterakan Perempuan

Oleh : Alin FM 

(Praktisi Multimedia)

Pemberdayaan perempuan. Itulah jargon yang kerap dikemukakan dalam berbagai kampanye pemilu 2019 belakangan ini. Sebut saja debat kelima pilpres juga membahas kesetaraan gender, kedua paslon pilpres tersebut mengusung ide serupa yaitu mendorong keikutsertaan perempuan dalam bidang ekonomi. Partisipasi perempuan menjadi primadona kampanye mengatasnamakan kaum emak-emak dan dewi-dewi. Kaum perempuan terlibat langsung dalam mesin perekonomian dalam mewujudkan pemberdayaan ekonomi perempuan. Tentu jika kita melihat sekilas ide tersebut berhubungan langsung dengan peran perempuan dalam ranah politik dan memaksa menyeimbangkan peran perempuan di ranah domestik

Pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin menyiapkan dua program untuk perempuan. "Visi-misi kami mengutamakan kesetaraan gender. Kami akan berusaha semaksimal mungkin agar perempuan tidak hanya di bidang ekonomi, politik, tapi juga di bidang pemerintahan," ujar Ma'ruf Amin dalam debat yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Sabtu (detik.com, 13/4/2019)

Isu kesetaraan gender kerap kali dihembuskan. Perbaikan gender gap dari tahun ke tahun tetap menyisakan pekerjaan rumah. Setidaknya terdapat empat data penting yang perlu dikritisi dalam melihat agenda mengurangi kesenjangan gender dewasa ini. Pertama, di bidang pendidikan, perempuan cenderung menamatkan sekolah di tingkat yang lebih rendah dibanding laki-laki, meskipun pada jenjang perguruan tinggi, persentase perempuan yang mempunyai ijazah sedikit melebihi laki-laki. Hal ini tercermin dari persentase penduduk perempuan usia 25 tahun ke atas yang mempunyai ijazah perguruan tinggi sebesar 7,92 persen, sedikit lebih tinggi dari laki-laki dengan 7,91 persen. Namun, pada jenjang SMA persentase penduduk perempuan yang mempunyai ijazah hanya 23,58 persen, lebih rendah dari laki-laki dengan persentase 29,14 persen (BPS,2016). Kedua, di bidang kesehatan. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas ) 2016 menunjukkan masih terdapat 20,30 persen ibu yang melahirkan tidak di fasilitas layanan kesehatan. Meskipun terjadi penurunan dibandingkan 2015 (22,37 persen), namun angka ini dirasa masih cukup tinggi berdasarkan statistik potensi desa 2014. Ketiga, dalam dunia kerja, partisipasi perempuan masih belum setara dengan laki-laki. Tercermin dari rata-rata upah pekerja laki-laki per bulan (Rp 2,43 juta) lebih tinggi dari perempuan (Rp 1,98 juta) (BPS, 2016). Keempat, di bidang politik pengambilan keputusan di ruang publik, peran perempuan masih sangat terbatas, yang tercermin dari partisipasi perempuan sebagai anggota parlemen yang masih sangat kecil yaitu hanya 17,32 persen pada 2015. Ketidakmerataan pada bidang-bidang tersebut pada akhirnya akan menimbulkan ketimpangan pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Realitas tersebut perlu direfleksikan dalam bentuk agenda ruang gerak mempersempit gender gap dalam seluruh sektor kehidupan. Agenda pesta demokrasi di Tanah Air salah satu yang penting dalam membangun laju percepatan agenda tersebut. Dalam berbagai kesempatan debat politik di media, jargon ibu bangsa dan emak-emak kurang menampilkan konteks critical thinking dan bagaimana mengemukakan urgensi agenda perempuan ke depan. (news.detik.com, 05/3/2019)

Disinilah akhirnya jargon pemberdayaan perempuan dianggap sebagai solusi menyelesaikan permasalahan masyarakat, terutama permasalahan yang berhubungan dengan perempuan. Semisal kekerasan dalam rumah tangga, trafficking, dll. Ide bahwa perempuan harus berperan dalam ranah politik praktis di pentas demokrasi pun akhirnya mendorong perempuan beramai-ramai memasuki ranah politik. Kuota 30 persen perempuan di dalam parlemen dianggap solusi atas permasalahan yang ditimbulkan demokrasi itu sendiri. Padahal, peran utama mereka yang terkikis inilah, akar munculnya permasalahan.

Saat perempuan diarahkan dengan sebuah kebijakan pemerintah untuk juga berperan dalam bidang ekonomi, saat itu pulalah terjadi pengikisan peran perempuan seharusnya secara sistematis. Perannya sebagai seorang pengatur rumah tangga, ibu dan pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya harus berkompromi dengan kegiatannya bekerja di luar rumah. Wajar jika akhirnya terjadi permasalahan dalam keluarga. Jargon-jargon penyelamat ekonomi bangsa dan yang semisal inilah akhirnya yang menjerumuskan kaum perempuan untuk bersaing dengan kaum laki-laki mencari penghidupan

Ketika perempuan bekerja dan mempunyai pendapatan, asumsinya selain bisa menopang ekonomi bangsa, konon juga menurunkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Hal ini Karena perempuan berpendapatan dianggap meningkatkan bargaining-nya di hadapan suami. Walhasil perempuan berpendapatan tak perlu khawatir menuntut cerai karena telah mandiri penghasilan. Maka yang terjadi angka perceraian di Indonesia pun meningkat tajam dari tahun ke tahun. Ini bersifat sistematis, karena dampaknya tidak hanya dirasakan satu-dua keluarga, tapi hampir seluruh keluarga di negeri yang menerapkan kebijakan tersebut.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin prihatin angka perceraian meningkat setiap tahun, menyebut pergeseran makna dan nilai mengenai pernikahan dan perceraian sebagai salah satu faktor pemicunya. Di hadapan ratusan aparatur sipil negara dalam lingkup Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulawesi Tengah, Senin (17/9/2018), Menteri Agama mengungkapkan perubahan pemaknaan pernikahan membuat di antara pasangan suami-istri generasi sekarang bahkan ada yang merencanakan perceraian. "Mereka sebelum nikah sudah saling bersepakat, antara pasangan laki-laki dan perempuan, kalau kita nikah dua tahun saja, atau tiga tahun saja, setelah itu kita cerai," katanya di Palu, saat menghadiri peresmian pelayanan terpadu satu pintu dan tujuh kantor urusan agama di Sulawesi Tengah, ( wartakota.tribunnews.com, 18/09/2018).

Pengadilan Agama (PA) Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, mencatat sebanyak 454 perkara perceraian yang telah diputus pada 2018. Dari jumlah tersebut, sekitar 200 pasangan yang telah dikabulkan perceraiannya. Meningkatnya kasus perceraian di Bumi Batiwakkal, lanjut Kaspul, dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan perselingkuhan. Mayoritas pasangan yang bercerai berusia 31 hingga 50 tahun. Disusul usia 26-30 tahun, kemudian usia 21-25, dan paling sedikit pasangan berusia 17-20 tahun. “Sekitar 70 persen janda muda untuk kasus cerai periode Januari 2019. Sisanya janda tua. Meningkat tidaknya, bisa dilihat Desember nanti . Data yang diperoleh Berau Post dari Pengadilan Agama Berau menyebutkan, pada 2018 jumlah kasus perceraian yang diterima mencapai 510 kasus yang terdiri atas cerai talak 133 dan cerai gugat 377 kasus. Lalu pada Januari 2019, sudah ada sebanyak 118 kasus yang diterima oleh PA, terdiri atas cerai talak 24 dan cerai gugat 94 kasus.( jawapos.com, 12/02/2019)

Akibat maraknya kasus perceraian dan ketidakharmonisan suami-istri, keluarga pun menjadi rapuh. Kerapuhan keluarga ini berimbas pada nasib anak-anak. Menurut Catatan komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI mencatat kasus tawuran di Indonesia meningkat 1,1 persen sepanjang 2018. Komisioner Bidang Pendidikan KPAI Retno Listiyarti mengatakan, pada tahun lalu, angka kasus tawuran hanya 12,9 persen, tapi tahun ini menjadi 14 persen. "Padahal 2018 belum selesai, tapi angkanya sudah melampaui tahun sebelumnya," ujarnya saat ditemui Tempo di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu, 12 September 2018. (metro.tempo.co, 12/9/2018)

Angka perceraian kian meningkat, kenakalan remaja, seks bebas, narkoba, kecanduan gadget dan games, tawuran adalah sekelumit masalah yang muncul akibat pengikisan peran perempuan dalam keluarga. Demikianlah logika menyesatkan dari demokrasi. Alih-alih mengembalikan posisi dan peran perempuan seharusnya, malah mendorong kian jauh meninggalkannya. Tentu berharap mendapatkan keluarga sejahtera dan harmonis dalam sistem seperti ini bagai bermimpi di tengah hari bolong.

Permasalahan ekonomi, kemiskinan, perceraian, seks bebas bukanlah permasalahan laki-laki atau perempuan saja, tetapi itu adalah permasalahan semua manusia. Islam memberikan kewajiban yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam ber-amar ma’ruf nahiy munkar, sekaligus melakukan koreksi terhadap penguasa. Inilah peran publik yang seharusnya dilakukan oleh perempuan, bersama-sama menyuarakan Islam dengan lantang agar Islam diterapkan secara menyeluruh. Saat semua peran mampu dilakukan oleh perempuan, dan saat aturan yang digunakan mendukungnya untuk melaksanakan semua perannya maka saat itulah kesejahteraan mampu didapatkan.

Islam adalah konsep kehidupan Allah SWT untuk mengatur seluruh urusan manusia termasuk perempuan. Secara fitrah perempuan diciptakan untuk dimuliakan dan dijaga. Di dalam Syariat, Perempuan tercipta untuk menjadi istri dan Ummu Warabbatulbait. Beban penafkahan hanya ada di pundak laki-laki karena tanggung jawab menjadi seorang Istri dan ummu warabbatul bait adalah tanggung jawab yang besar. Menyepelekannya hanya akan menghantarkan kehancuran keluarga bahkan rusaknya generasi. Bahkan lebih dari itu, tanggung jawabnya akan menghantarkan ke Surga atau ke neraka Allah SWT. Hanya Islamlah yang mampu menjaga dan mendukung perempuan agar mampu melaksanakan perannya tanpa mengikis peran lainnya. Maka sudah suatu kewajaran jika seharusnya yang diperjuangkan oleh perempuan adalah Islam. Mengusung, menyuarakan, memperjuangkan dan menggunakan aturan Islam dalam perjuangannya menggapai kesejahteraan. Kesejahteran dan keberkahkan akan didapatkan perempuan. Bukan demokrasi jalan sejahterkan perempuan karena Demokrasi hanya membuat beban perempuan berlipat ganda dan mengalihkan fungsi yang sudah digariskan Sang Pencipta.

Wallahualambishawab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak