Darurat Perceraian, Potret Kerapuhan Keluarga dan Sistem Pengaturan Negara

Oleh : Dwi Suryaningsih


CILACAP, SATELITPOST – Dalam satu hari 30-40 pasangan suami istri di Cilacap mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama Kelas 1A Cilacap. Sejak awal tahun 2019 setidaknya sudah ada sebanyak 2.082 pendaftar perceraian. Panitera Muda Gugatan Kantor Pengadilan Agama Cilacap Miftahul Hilal mengatakan, rata-rata kasus perceraian didominasi oleh cerai gugat. Dimana sekitar 75 persen dari kasus yang ada merupakan cerai yang diajukan oleh istri.(satelitpost.com)

Sungguh miris melihat fakta diatas. Angka yang sangat fantastis. Untuk yang ke sekian kalinya, kota dengan icon pulau Nusakambangan ini mendapatkan peringkat dalam masalah perceraian. Lagi-lagi, istri sebagai pihak penggugat atas perceraiannya ( khulu). Faktor ekonomi terus menjadi penguat sekaligus memantapkan ambisi mereka untuk berpisah (cerai).

Tidak bisa dipungkiri. Kebutuhan rumah tangga kita dewasa ini sangatlah meningkat. Ditambah lagi desakan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan materi sebagai raja. Dan di sadari atau tidak, pelan tapi pasti kaum perempuan didorong untuk memenuhi kebutuhan pasar dengan bekerja disektor publik. Menjadi TKW merupakan salah satu jalan pintas bagi sebagian kaum perempuan, semata demi meraup pundi-pundi materi. Tak ayal mereka pun otomatis meninggalkan kewajiban utamanya sebagai al ummu wa rabbatul bait ( ibu dan pengatur rumah tangga)

Masalah perceraian seolah hanya problem dua orang ( suami istri) saja. Padahal semestinya tidaklah demikian. Karena sejatinya lini keluarga merupakan bangunan terkecil dalam sebuah negara. Pada hakikatnya, setiap problem yang muncul dalam kehidupan ini tidak bisa kita pandang hanya masalah personal. Lebih dari itu, kita harus memandang dengan pandangan yang jernih. Bahwa semua itu tidak bisa dipisahkan dengan pola interaksi yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, serta peran penguasa (negara) sebagai institusi tertinggi sekaligus pihak utama dalam kepengurusan rakyat.

Sistem demokrasi  kapitalis-sekuler dengan ide Hak Asasi Manusia ( HAM), telah nyata-nyata menenggelamkan keluarga-keluarga muslim dari jati diri mereka yang sesungguhnya. Pun kaum feminisme penggiat ide gander, terus lantang meneriakkan diskriminasi istri atas suami didalam lslam. Mereka mengguggat hukum qowwam dalam rumah tangga, hukum poligami dan lain-lain. Inilah senjata utama mereka dalam menghancurkan tatanan keluarga muslim. Lebih jauh lagi, mereka akhirnya menolak segala bentuk aturan ( syariat lslam) yang menurut pandngan mereka  diskrimintif terhadap kaum perempuan. Sungguh, ini merupakan pemikiran yang sangat dangkal yang mengedepankan perasaan dan hawa nafsu semata.

Membentuk bangunan keluarga ideal sesuai tuntunan syariat amatlah berat dalam kungkungan sistem demokrasi saat ini. Beragam tontonan ditelevisi maupun di media-media sosial tidak bisa dijadikan tuntunan. Tapi justru mempertontonkan hal-hal yang negatif. Tidak sedikit menanyangkan kisah prahara rumah tangga, yang berujung pada perselingkuhan, bahkan perceraian. Sehingga tidak jarang bagi yang menikmati tayangan tersebut menjadikan hal itu sebagai acuan dalam pensikapan dalam mencari solusi kemelut rumah tangga yang dijalani.


Di dalam lslam, pernikahan merupakan prngaturan hubungan antara unsur kelelakian (adz-dzukurùrah/maskulinitas) dengan unsur keperempuanan (al-unùtsah/fiminitas). Dengan kata lain, perkawinan merupakan pengaturan pertemuan (interaksi) antar dua jenis kelamin. Yakni pria dan wanita, dengan aturan yang khusus. Pengaturan yang khusus ini mengatur hubungan-hubungan maskulinitas dengan feminitas bentuk pengaturan tertentu. Pengaturan tersebut mewajibkan aagar keturunan yang dihasilkan hanya dari hubungan perkawinan saja. Melalui hubungan inilah aakan terrealisir perkembang-biakan spesies umat manusia. Dengan perkawinan itu akan terbentuk keluarga. (Taqiyuddin An- Nabhani, Kitab Nidzam ljtima'i, halaman 176).

Bangunan keluarga muslim sudah semestinya dibangun atas landasan akidah lslam. Visi misi awal keluarga yakni menjadikan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Mewujudkan ketentraman dan ketenangan dalam rumah tangga. Hal ini tentu tidak akan terrealisasi manakala satu sama lain tidak sama-sama memahami antara peran, fungsi, hak serta kewajiban masing-masing.

Allah SWT berfirman :" Dan pergaulilan mereka dengan cara yang benar. Jika ksmu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah). Karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya". ( Qs. An- Nisà [4] : 19)

Gambaran keluarga muslim layaknya biduk yang mengarungi lautan dunia. Merajut bekal menuju kehidupan setelah maut. Nahkoda (suami) tidak dapat bekerja sempurna tanpa awak (isteri) yang sigap. Bersama-sama menghadapi terpaan ombak bahkan deburan badai. Mengatur perbekalan agar cukup hingga tiba dipelabuhan, dan mencarinya kembali sebelum habis. Inilah sinergi manis dalam rumah tangga, laksana biduk kecil ditengah samudera.

Suami isteri harus smart (cerdas). Mengubah kendala menjadi potensi, mengubah perlsimisme menjadi optimisme, mengubaah tantangan menjadi peluang. Penjalankn setiap peran dengan penuh semangat iman. Semua ini hanya dapat terwujud secara sempurna dengan diterapkannya seluruh syariat lslam dalam bingkai khilafah lslamiyyah. Yang sudah terbukti berjaya selama 13 abad, serta mampu mencetak peradaban mulia.


Wallahu a'lam bish-shawwab.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak