Curhatan Ibu: BPJS Produk Tak Beres


Oleh: Ratna Ummu Nida

Ibu Rumah Tangga


Bagai telur di ujung tanduk. Mungkin itulah gambaran perasaan saya ketika melihat kedua buah hati saya demam dengan suhu badan mencapai 39,7°C.


Bingung bercampur panik. Berbagai upaya saya lakukan. Mulai mengompres dengan air, hingga memberi obat penurun panas. 


Sambil mengompresnya,  saya bisikkan ke telinga si kakak, "Sabar ya, Kak! Kakak sedang disayang sama Allah. Dosa-dosa Kakak sedang dikurangi asalkan Kakak ikhlas". Tak terasa air mata saya pun meleleh. 


Keesokan harinya, saya membawanya ke Puskesmas. Tanpa memberitahu penyakit anak saya, dokter langsung memberi resep. Maklum dokter Puskesmas. Gratis pula. Wajar bila pelayanannya ala kadarnya. Pasien datang, dilayani, kemudian dikasih obat, selesai. Berbeda dengan yang berbayar. Dokternya ramah, baik, dan perhatian. Padahal pelayanan yang baik adalah kewajiban petugas kesehatan kepada pasien dan hak bagi pasien.


Bahkan ketika baru mendaftar, saya ditanya, "Ada kartu BPJS, bu?"


"Ada tapi faskesnya tidak disini, Mbak." jawab saya. 


"Lain kali kalau mau kesini lagi ganti faskes dulu ya, Bu!" jawab si mbak bagian pendaftaran.


Mendengar hal itu, saya langsung bengong dan berfikir, "Loh ini kan Puskesmas. Gratis, buat apa juga pake BPJS?"


Sudah bukan rahasia lagi kalau belakangan ini pelayanan BPJS semakin buruk. Obat ala kadarnya, dan sejumlah aturan lain yang membuat ribet para pasien. Jauh dari kata memuaskan. 


Sungguh, saya kecewa dengan mekanisme BPJS. Pelayanan belum maksimal. Bertolak belakang belakang dengan slogan "Dengan gotong royong semua tertolong". Apalagi faktanya BPJS tidak lagi meng-cover beberapa jenis penyakit seperti kanker. 


Kesalahan kebijakan kesehatan melalui BPJS juga menjadi salah satu sumber masalah. Di antaranya adalah pemakaian prinsip asuransi. Tiap peserta harus membayar premi setiap bulan, tanpa jaminan uang kembali jika tidak digunakan.  


Birokrasi BPJS yang berbelit menyulitkan pasien. Misalnya bila ingin ke dokter spesialis harus meminta rujukan terlebih dahulu dari dokter umum di faskes tingkat 1. Kemudian harus melengkapi dokumen-dokumen seperti fotokopi berkas-berkas dan lain-lain. BPJS memang produk penguasa yang tak beres.


Sedangkan di dalam Islam, kesehatan dipandang sebagai kebutuhan pokok publik (primer) bagi muslim maupun non muslim. Karena itu, Islam meletakkan dinding yang tebal antara kesehatan dan kapitalisasi serta eksploitasi kesehatan. Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara. Tugas ini tidak boleh dilalaikan sedikit pun oleh negara. Karena akan mengakibatkan kemudaratan yang tentu diharamkan oleh Islam. Pelayanan kesehatan yang gratis dan berkualitas, serta dokter-dokter terbaik siap memberikan pelayanannya kepada setiap warga negara.


Banyak institusi kesehatan yang didirikan selama masa Kekhalifahan Islam agar kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan gratis terpenuhi. Diantaranya adalah rumah sakit di Kairo yang didirikan pada tahun 1248 M oleh Khalifah Al-Mansyur dengan kapasitas 8000 tempat tidur dan dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang lengkap. Tanpa membedakan ras, warna kulit dan agama pasien. Mereka dirawat tanpa batas waktu. Melainkan sampai benar-benar sehat. Selain mendapatkan perawatan, obat, makanan gratis yang berkualitas, pasien juga diberikan uang saku cukup selama perawatan. Hal ini berlangsung selama 7 abad. Sekarang rumah sakit ini digunakan untuk Opthalmology dan dinamakan Rumah Sakit Qalawun. 


Itu baru sedikit bukti dan contoh pelayanan kesehatan yang prima pada masa Kekhilafahan Islam. Masih banyak lagi, bukti keunggulan Islam dalam menjamin kesehatan rakyatnya.


Tak rindukah kita pada sistem Islam yang pasti akan bawa perubahan? Melahirkan para penguasa yang akan sepenuh hati mengurusi urusan umatnya. Hingga jaminan kesehatan bukan lagi jadi hayalan.


Wallahu'alam bi ash-showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak