Bencana Melanda, Rakyat Menderita, Di Mana Gerangan Penguasa?

Banjir Bandang Sentani, Jayapura


Fadhliyah

(Pendidik Generasi)


“Banjir bandang yang menerjang sembilan kelurahan di kecamatan Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Sabtu (16/3) malam, telah memakan korban banyak dan diperkirakan terus bertambah.“ Aktivis kemanusiaan, Natalius Pigai prihatin di tengah kepiluan ini, justru uang negara miliaran rupiah dihambur-hamburkan untuk penyelenggaraan apel kebangsaan. 

Sejatinya bencana bukan  hal yang mengejutkan lagi bagi  Indonesia. Untuk itu bukan itu yang menjadi pokok dalam pembahasan ini. Poin utamanya adalah bagaimana pemerintah merespon keadaan ini. Pemerintah terkesan lambat merespon jika terjadi bencana alam.

Minim Mengurusi, Gemar Selebrasi 

Tampaknya pemerintah Indonesia saat ini sedikit banyak dapat dijadikan sebagai gambaran buruknya system kapitalis-demokrasi yang amat minim dalam mengurusi (ri’ayah) rakyatnya. Posisi geografis Indonesia yang rawan bencana menjadi faktor penting yang semestinya menjadi alasan utama rezim untuk memperkuat ri’ayahnya. Namun apa lacur, rezim ini tak juga mengubah perilakunya. Lihat saja kondisi yang menimpa saudara-saudara kita nun jauh di timur.  Tanah Papua yang sering diklaim ‘akan diprioritaskan pembangunannya’, nyatanya hanya sebatas wacana.

         Sebagaimana pernyataan putra asli Papua, Natalius Pigai, dalam menyorot pembangunan infrastruktur Papua, dia mengatakan rezim Jokowi baru membangun satu ruas jalan di Papua. Padahal pada masa SBY, telah dibangun 9 ruas jalan. Dengan getir Pigai berkata, "Satu ruas jalan yang menyebabkan 31 orang mati, inilah satu satunya kerjaan presiden Jokowi.’’ Mantan Komisioner Komnas HAM ini menilai perlakuan rezim sebelumnya lebih memanusiakan masyarakat Papua ketimbang era Jokowi karena banyak orang Papua di lingkaran terdekat SBY diajak bicara dalam menangani seluruh persoalan di Papua. (https://politik.rmol.co/read/2019/03/18/382554/apel-kebangsaan-rp-18-m-bantuan-musibah-sentani-hanya-rp-1)


           Pengabaian ri’ayah itu makin kentara saat Papua dilanda banjir bandang di Sentani, Kabupaten Jayapura pertengahan Maret 2019 ini. Banjir menelan korban 112 jiwa meninggal dunia dan 94 jiwa belum ditemukan. Dengan mempertimbangkan medan dan kondisi Papua, seharusnya dana penanggulangan banjir yang dikucurkan sebesar Rp 1 miliar terlalu rendah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah terlalu sering mengeluhkan dana mitigasi bencana, apalagi penanggulangannya. Bahkan anggarannya terus turun tiap tahunnya. 

           Tidak hanya di Papua, di NTB, belum kering air mata penduduk Lombok Utara yang wilayahnya terkena rangkaian gempa Juli sampai Agustus 2018, gempa berkekuatan magnitudo 3,9 kembali terjadi di Lombok Timur 18 Maret 2019. Penyelesaian masalah gempa 2018 saja belum tuntas.  Sehingga Senator DPD RI asal NTB, Baiq Diyah Ratu Ganefi membenarkan bahwa masih banyak warganya yang kesulitan mendapat tempat tinggal pasca gempa. Padahal kini sudah memasuki musim hujan. Bahan komponen pembangunan rumah tidak tersedia dengan mudah, apalagi proses pencairan bantuan rumit. "Karena sekarang ini apapun pemda, gubernur, bupati, enggak tahu-menahu. Semua seolah-olah harus terpusat, jadi gubernur enggak ngerti, bupati enggak ngerti," ujar Ratu.  Karena itu sampai Januari 2019, dari 75.138 rumah rusak terdampak gempa Lombok, yang sudah dibangun hanya 4.670 unit.


            Demikianlah ilustrasi nyata yang benar-benar dilakukan oleh rezim ini.  Amat minim ri’ayah tapi sarat selebrasi. Lihatlah hampir semua acara kunjungan ataupun kampanyenya, selalu meriah dengan panggung megah sekalipun hanya diisi pidato tanpa retorika apalagi esensi, namun penuh sensasi. Selebrasi semacam itu menulari pemerintah daerah. Dengan berbagai alasan, seperti mendongkrak kunjungan wisatawan, mengundang investor, sosialisasi program berlalu lintas, ataupun alasan-alasan yang terkesan dicari-cari, pemerintah daerah amat gemar melakukan selebrasi.  Termasuk apel kebangsaan yang digelar Pemprov Jawa Tengah di Lapangan Simpang Lima, Semarang (17/3/2019) yang menghabiskan anggaran Rp 18 miliar. 

Dana yang diambilkan dari Satuan Kerja (Satker) Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Jateng, peruntukannya dianggap amat tidak sensitif terhadap kondisi rakyat. Bayangkan saja, menurut data BPS tahun 2018, jumlah penduduk miskin Jateng mencapai 3,87 juta jiwa. Meskipun pemerintah meng-klaim angka itu turun dari tahun sebelumnya, parameter kemiskinan yang digunakan sungguh tidak manusiawi. Masyarakat Jateng disebut lepas dari garis kemiskinan bila pengeluarannya Rp 357.600 per kapita/bulan. Sehatkah nalar rezim ini dalam mendeskripsikan kemiskinan? Kebutuhan apa yang bisa dicukupi dengan uang sebesar itu?  Beras yang dibeli, niscaya tak akan bisa dimasak karena gas tak terbeli, listrik pun tak terbayar. Apalagi, ternyata masih ada rakyat Jateng yang mengkonsumsi nasi aking, terutama saat musim kemarau.


Me-ri’ayah Warga, Kewajiban Negara

Ri’ayah dalam konteks pemerintahan Islam bermakna mengurus, menjaga, memelihara, dan mengatur urusan rakyat. Definisi tersebut sejalan dengan beberapa dalil syari’at seperti sebuah hadis, ‘’Tidaklah seorang hamba yang Allah minta dia mengurus rakyat, dia mati pada hari di mana dia menipu (mengkhianati) rakyatnya kecuali Allah haramkan baginya surga” (HR al-Bukhari dan Muslim). Dalam hadis tersebut Allah dan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam memperingatkan bahwa tupoksi seorang pemimpin itu adalah meri’ayah rakyatnya. Dzam, celaan yang mengharamkan baginya surga menjadi qorinah yang menunjukkan kewajiban baginya untuk menjalankan ri’ayah.  Keharuman wangi surga sungguh haram dicecap indra pemimpin yang menipu dan mengkhianati rakyatnya.

Dalam meri’ayah rakyatnya, Islam telah memerintahkan penguasa untuk tidak mencampuradukkan pengelolaan harta umum dengan apapun. Karena itu sungguh haram menggunakan uang negara, uang rakyat demi melestarikan kekuasan rezim. Atau hanya sekadar selebrasi, mendapatkan euphoria dan simpati rakyat dengan hadiah dan dana yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Bila hal itu dilakukan, sungguh dia telah menanam benih pengkhianatan atas amanah rakyat. Ingatlah, Abu Sa’id RA berkata, “Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, ‘Di hari kiamat, setiap pengkhianat memiliki bendera yang ditinggikan menurut ukuran pengkhianatannya (kepalsuan). Ingatlah! Secara umum, tidak ada pengkhianat yang lebih besar pengkhianatannya melebihi seorang amir.” (HR. Muslim)

Mencurahkan segenap tenaga dalam menjalankan tanggung jawab umat dan menjaga rakyat dengan nasihat, telah ditegaskan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dengan penjelasan yang sangat gamblang dan tegas. Ini semua menunjukkan, betapa besarnya tanggung jawab penguasa dalam masalah ini. Termasuk syarat tidak bolehnya seorang penguasa memanipulasi harta umum, yang harusnya digunakan sebesarnya  mensubsidi rakyat.  Bukan memperkaya korporasi atau membiayai ongkos politiknya.  

Di sisi lain, syara’ tidak mencukupkan dengan hal itu saja, akan tetapi juga menjadikan umat bertanggung jawab untuk membantu penguasa dalam menjalankan tanggung jawabnya. Karena itu, Allah mewajibkan umat untuk mengingkari penguasa jika melalaikan tanggung jawabnya.  Orang yang terbunuh karena mengingkari penguasa telah ditasbihkan sebagai penghulunya para syahid. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, “Penghulu para syahid adalah Hamzah bin Abdul al-Muntholib dan laki-laki yang berdiri di depan pemimpin yang lalim, lalu menasihatinya, lalu dia dibunuh.”

Untuk menjalankannya, penguasa itu jelas harus memiliki sifat-sifat ketakwaan, mengayomi, mendidik, dan menyayangi rakyat, serta tidak menakutkan. Karena penguasa memiliki peluang untuk berlaku kasar dan kerap mengancam rakyatnya, syariat memerintahkannya untuk menjadi orang yang rifq, lemah lembut dan tidak memberatkan urusan rakyatnya.  ‘Aisyah RA berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berdoa di rumahku ini: Ya Allah, semoga orang (penguasa) yang menangani perkara umatku, lalu dia memberat-beratkan mereka, maka beratkanlah dia. [Ya Allah], semoga orang yang menangani perkara umatku, lalu dia melunakkan (ramah) mereka, maka lunakkanlah dia.” (HR. Imam Muslim).  Patut kiranya para penguasa negeri ini takut kepada Allah dan azab-Nya yang pedih kelak di akhirat bila lalai dari amanahnya.  Wallaahu a’lam.




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak