Nuriya Fakih
Emak-emak dibuat pusing tujuh keliling. Bagaimana tidak, kebutuhan hidup semakin hari semakin sulit terjangkau. Sebagai pengatur keuangan keluarga, emak-emak dituntut jeli dan ekstra cerdas untuk mengatur keuangan demi terpenuhi kebutuhan sehari-hari.
Apalagi dalam 2 minggu ini harga bawang putih melonjak naik, tercatat di beberapa pasar tradisional kenaikan hampir mencapai 100%. Dan tentu saja kenaikan bawang putih pastinya akan memberi dampak kenaikan bagi bahan pangan yang lain. Terbukti setelah nya hampir mayoritas harga pangan mengalami kenaikan. Bawang merah, cabai merah besar, cabai keriting dan cabai rawit merah kompak mengalami kenaikan dalam waktu bersamaan. Disusul kenaikan minyak goreng kemasan bermerk serta gula yang semakin membuat emak-emak gerah namun tak berdaya dan terpaksa menerima keadaan.
Kenaikan harga pangan ini hampir terjadi di seluruh wilayah di Indonesia. Dan sudah bisa diduga, minimnya stok di pasaran menjadi alasan naiknya harga pangan termasuk bawang putih. Minimnya stok yang mengakibatkan tingginya harga pangan senantiasa berulang terus tanpa ada penangan yang pas agar stok bahan pangan senantiasa tercukupi.
Sampai saat ini, yang dilakukan pemerintah hanya membuka kembali kran impor yang sempat ditutup. Dengan dalih menipisnya stok bahan pangan di pasaran karena tidak adanya impor. Padahal ketika impor dilakukan, pihak yang paling dirugikan adalah para petani lokal. Contoh kasus di Dompu Nusa Tenggara Barat tahun 2014 yang diungkap Presiden Jokowi, saat itu harga jagung di level petani jatuh karena impor yang sangat besar hampir 3,6 juta ton (economy.okezone.com).
Saat inipun, hal yang sama juga dilakukan pemerintah untuk menghadapi minimnya stok bawang putih, pemerintah berencana akan mengimpor 100 ribu ton bawang putih (economy.okezone.com).
Ketergantungan pemerintah terhadap impor ini seolah menjadi candu. Setiap harga pangan naik selalu dibarengi dengan solusi impor tanpa menoleh pada pilihan yang lain, misalnya bagaimana mewujudkan kedaulatan dan swasembada pangan sehingga terwujud ketahanan pangan negara, sehingga negara mampu mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya secara mandiri.
Dengan usia kemerdekaan 74 tahun harusnya sudah cukup waktu bagi bangsa ini untuk berbenah diri. Memiliki cukup waktu untuk menjadikan negri ini mandiri tanpa ketergantungan asing dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negerinya. Alih-alih melakukan perubahan, namun pada akhirnya fakta berbicara bahwa negri ini sangat tergantung pada bangsa lain terkait bahan pangan. Beras impor, jagung impor, gula impor, garam impor, kedelai impor, bawang putih juga impor. Kepala Badan Pusat Statistik(BPS) Suhariyanto menyebutkan komoditas pangan menjadi penyumbang terbesar kenaikan impor barang konsumsi (m.bisnis.com)
Padahal pada hakekatnya impor yang dilakukan, selain menyebabkan ketergantungan pada bangsa lain juga jelas akan merugikan petani lokal dan tentu saja pada akhirnya akan menguntungkan pihak pengusaha asing. Kondisi ini menunjukkan abainya penguasa dalam mengurusi urusan rakyatnya. Inilah protret sistem ekonomi kapitalis liberal yang diterapkan saat ini, kecenderungan penguasa terhadap pengusaha lebih besar ketimbang terhadap rakyatnya. Hal ini berbeda dengan sistem Islam.
Islam sebagai sistem yang sempurna, ketika diterapkan oleh negara maka akan sangat memperhatikan betul kebutuhan setiap individu rakyatnya. Sehingga ketika memberikan solusi terkait pemenuhan kebutuhan pangan rakyatnya, negara akan memberi solusi yang pas, tuntas tanpa menimbulkan masalah baru.
Dalam Islam, penyediaan bahan pangan bagi rakyat oleh negara berkaitan erat dengan politik pertanian. Dan politik pertanian menurut pandangan Islam sangat terkait erat dengan politik ekonomi Islam.
Politik ekonomi Islam adalah adanya jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (lifestyle) tertentu. Sedangkan politik pertanian Islam adalah hukum-hukum dan langkah-langkah yang ditempuh untuk mengoptimalkan pengelolaan tanah pertanian dalam rangka mencapai tujuan politik ekonomi Islam (globalmuslim.web.id).
Menurut Abdurrahman Al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam menyatakan bahwa politik pertanian Islam merupakan kebijakan pertanian yang dilakukan penguasa untuk mencapai produksi pertanian yang tinggi melalui dua metode yakni intensifikasi dan ekstensifikasi.
Kebijakan intensifikasi pertanian berbasis pada pengelolaan lahan pertanian, dimana tanah-tanah pertanian yang ada dimaksimalkan pengelolaannya untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Kebijakan ini dapat ditempuh dengan cara penyediaan bibit unggul, pupuk serta obat-obatan dengan harga yang dapat dijangkau oleh petani kecil sekalipun. Jika dirasa belum cukup, pemerintah berkewajiban untuk mendorong lajur sektor pertanian melalui bantuan modal kepada petani.
Adapun kebijakan ekstensifikasi dilakukan untuk mendukung perluasan lahan pertanian. Negara akan mendorong masyarakat untuk menghidupkan tanah mati dengan jalan mengolahnya. Negara juga akan memberikan tanah secara cuma-cuma (iqtha’) kepada orang yang mampu dan mau bertani namun tidak memiliki lahan pertanian atau memiliki lahan pertanian yang sempit (https://fb.me/WadahAspirasiMuslimah).
Disamping itu negara juga memiliki kebijakan terkait tanah-tanah yang tidak dikelola oleh pemiliknya. Tanah yang sudah ditelantarkan (lebih dari 3 tahun) dapat diambil alih oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengelolanya.
Di sisi lain, Islam tidak memperbolehkan adanya praktek penyewaan lahan pertanian. Dan hal ini akan betul-betul diterapkan negara sebagai upaya agar lahan pertanian dapat berfungsi secara optimal. Artinya siapapun yang tidak memiliki kemampuan atau tidak bersedia mengolah lahan pertanianya maka tidak diperbolehkan bagi dia untuk menguasai lahan pertanian tersebut sehingga akan diberikan kepada siapa saja yang bersedia mengolahnya.
Dan untuk menjamin ketersediaan bahan pangan, negara juga menerapkan kebijakan yang tegas untuk mencegah upaya pengalihan lahan pertanian menjadi lahan-lahan non-pertanian untuk menghindari berkurangnya lahan pertanian.
Itulah beberapa kebijakan dalam sistem Islam terkait penyelesaian persoalan kenaikan harga pangan akibat minimnya stok pangan. Ketika kebijakan sudah dilakukan namun stok pangan belum mencukupi maka negara bisa melakukan impor pangan. Namun impor pangan ini tidak boleh dilakukan secara terus-menerus dan tidak dijadikan sandaran penyediaan pangan dalam negeri, karena hal itu akan menyebabkan ketergantungan kepada negara lain. Jika hal itu terjadi maka akan membuka jalan bagi negara lain untuk mengintervensi bahkan mengontrol negara baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dan yang terpenting, semua kebijakan terkait persoalan pangan ini akan berjalan secara secara sempurna jika didukung dengan kepemimpinan yang dilandasi ketundukan total kepada Allah SWT dan dengan sistem kenegaraan yang mampu mengintegralkan seluruh sektor yang mendukung. Dan kepemimpinan itu hanya ada dalam sistem Islam yakni Khilafah.
Dengan menerapkan politik pertanian Islam, Khilafah tidak hanya akan memiliki ketahanan pangan yang kuat karena mampu membangun kedaulatan dan swasembada pangannya, namun juga akan menjadi pengekspor beragam produk pangan yang berkualitas.
Saatnya kembali kepada sistem aturan Allah dengan Khilafah.