Oleh: Wiwi Andriyastuti
(Anggota Komunitas Menulis Asyik Cilacap)
Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan dengan berita 19 Bocah bau kencur yang ketagihan seks menyimpang, akibat sering menonton video porno. Tepatnya dikampung Cipeuteuy, kelurahan Margawati, kecamatan Garut Kota, Jawa Barat. Menurut penuturan Kapolres Garut, AKBP Budi Satria Wiguna, hingga berita ini diturunkan setidaknya sudah ada beberapa orang tua korban melapor ke pihaknya. Dan sampai saat ini kasus tersebut masih terus diusut & ditangani oleh unit Perlindungan Perempuan & Anak (PPA) Satreskrim Polres Garut. Dan masih terus meminta keterangan dari sejumlah saksi.
https://m.viva.co.id/amp/berita/nasional/1139629-polisi-periksa-dua-saksi-kasus-seks-19-anak-di-garut?__twitter_impression=true
Apabila kita amati, sesungguhnya kasus semacam ini bukanlah yang pertama dan bukan pula yang paling mengejutkan. Sebelumnya juga banyak terjadi kasus serupa yang menimpa generasi muda kita, anak- anak kita. Baik posisinya sebagai korban maupun sebagai pelaku. Dan tidak memandang status sosial, latar belakang pendidikan, keluarga, dan lingkungan tempat tinggal. Dari yang hidup di jalanan hingga yang hidup di gedongan. Bahkan di lingkungan yang bisa dibilang kental dengan pendidikan agamanya sekalipun, seperti pesantren juga pernah dijumpai kasus pelecehan seksual, kasus sodomi. Baik pelaku dan korban adalah sesama santri, maupun pelaku ada keterlibatan tenaga pendidiknya, yang seharusnya menjadi pengayom serta pelindung, nyatanya bisa menjadi predator seks bagi anak- anak kita.
Walaupun kita tidak bisa memukul rata, namun fakta tersebut sungguh menjadi hal yang membuat kita miris, mengaduk-aduk emosi kita.
Belum lagi kasus inses yang hampir setiap hari muncul, baik di laman media massa maupun media sosial. Tentu kita semua pasti bertanya- tanya mengapa ini semua bisa terjadi?. Apa penyebab semua ini?. Ketika sebagian orang tua telah berusaha menanamkan nilai- nilai agama di dalam keluarga dan yang secara finansial memiliki kelebihan, tentu akan berusaha menyekolahkannya di sekolah- sekolah yang dianggapnya paling berkualitas. Namun faktanya, ternyata itu tidak mampu menjamin anak- anak kita dan generasi muda kita terhindar dari pergaulan bebas, seks bebas. Kita bisa mengawasi anak- anak kita di rumah, tapi di luar rumah?.
Lagi- lagi biang keladi dari segala kerusakan ini adalah kelalaian negara. Abainya negara dalam menjaga dan melindungi generasi muda. Sekularisasi hal ini terutama dalam bidang pendidikan, dimana tidak menjadikan akidah Islam sebagai dasar kurikulum di sekolah-sekolah. Dan pembiaran terhadap arus liberalisasi, masuknya budaya-budaya asing yang bertentangan dengan norma-norma agama.
Tontonan-tontonan yang tidak bisa menjadi tuntunan. Tayangan-tayangan yang tidak berkualitas. Semisal sebuah film yang berjudul "Dilan 1990" yang berhasil menyedot perhatian kaum milenial untuk menontonnya. Dengan segala adegan- adegan yang menjurus kepada ketidaksenonohan.
Maka wajar ketika hari ini generasi muda kita adalah generasi yang cengeng, baperan, rusak & tidak berkarakter. Jangan berharap kita memiliki generasi sekelas Muhammad Al- Fatih atau pun Solahudin Al-Ayyubi.
Maka yang harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan ini, satu-satunya jalan adalah dengan diterapkannya aturan Islam secara kaffah oleh negara. Karena hanya inilah satu-satunya solusi menyeluruh yang mampu menjaga generasi muda kita. Yang akan mampu meri’ayah generasi muda kita, dari hal kurikulumnya, penyediaan fasilitas-fasilitas pendidikannya, yang tentu tidak kita ragukan lagi keberhasilannya di masa lampau. Yang terbukti menghasilkan banyak ulama-ulama terkemuka.
Akhir kata, dengan solusi penerapan Islam secara total oleh negara inilah nantinya akan mampu menghasilkan generasi yang tangguh yang berkarakter Islam & berkepribadian Islam.
Walllahu a’lam bish-showab.