Oleh : Alin Fm
(Praktisi Multimedia dan Pemerhati Perempuan)
Kartini kerap kali menjadi profil kesetaraan gender di Indonesia. Pada tanggal 21 april setiap tahunnya diperingati sebagai hari kartini, untuk mengingat sosok kartini yang menjadi inspirator perempuan. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi di tengah kondisi keterbatasan perempuan dalam akses mendapatkan pendidikan yang layak saat itu. Perempuan saat itu hanya ditugaskan di ranah domestik dalam konteks dapur, sumur dan kasur. Kartini yang mahir Bahasa Belanda kerap menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Surat-surat Kartini berisi pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.
Hari kartini menjadi moment perempuan untuk bangkit dari keterpurukan. Keterpurukan perempuan terutama dalam bidang ekonomi. Beban ekonomi yang menghimpit, membuat perempuan harus memposisikan dirinya menjadi sosok mandiri dan tak terdiskriminasi. Gagasan para penggiat gender dalam mengambil sosok kartini hanya untuk dijadikan sosok perempuan mandiri dalam konteks pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan perempuan untuk mendongkrak ekonomi Negara. Para penggiat gender membius perempuan menjadi pejuang dan pahlawan keluarga dalam kesejahteraan.
Kesetaraan gender masih merupakan sesuatu hal yang harus diperjuangkan. Hampir semua negara mengakui keseteraan gender juga menjadi bagian hak asasi setiap manusia. Berdasarkan hasil pertemuan komisi status perempuan di markas PBB New York yang dihadiri oleh sekitar 9000 peserta UN Women dan Dewan Ekonomi dan Social PBB (ECOSOC, Economic and Social Council) pada bulan Maret 2019 lalu, beberapa negara-negara lain di dunia termasuk Indonesia, sangat concern terhadap perjuangan kesetaraan gender. (Tribunnews.com, 22/04/2019)
Para penggiat gender berpendapat bahwa perempuan dapat berperan aktif menggerakkan ekonomi keluarga, ekonomi masyarakat dan bangsa. Mengambil tanggung jawab untuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Menjadi berdaya dan penggerak roda perekonomian di tengah himpitan hidup yang semakin sulit. Dengan dalih meningkatkan kualitas diri perempuan, perempuan diajak saling berkompetisi bersama laki-laki dalam pemenuhan nafkah. Pemberdayaan ekonomi perempuan dapat disinyalir turunkan tingkat kekerasan perempuan. Pemberdayaan ekonomi perempuan dinilai sebagai jalan keluar yang tepat. Oleh karena itu, pemerintah kini menggelar berbagai program pelatihan agar perempuan, khususnya korban KDRT, mempunyai keahlian yang dapat membuat mereka memulai industri rumahan dan menghasilkan uang, dan tidak sepenuhnya bergantung kepada suami sebagai kepala keluarga.
McKinsey dalam laporan Women Matter: Time to Accelerate menyebutkan bahwa kontribusi angkatan kerja perempuan akan signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi ke arah yang positif. Semakin tinggi kontribusi angkatan kerja perempuan, maka pertumbuhan ekonomi akan semakin tinggi. Lebih lanjut, persoalan ketimpangan gender tidak berhenti pada seberapa besar perempuan terlibat dalam pasar tenaga kerja, tetapi juga ketika perempuan telah memasuki pasar kerja. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, proporsi tenaga kerja perempuan di sektor informal mencakup 70 persen dari keseluruhan tenaga kerja perempuan. Tingginya peran perempuan di sektor informal dan rendahnya di sektor formal menandakan terbatasnya akses perempuan terhadap peluang pasar tenaga kerja di Indonesia. Bukan saatnya lagi perempuan dianggap sebagai beban, tetapi potensi luar biasa bagi pertumbuhan ekonomi nasional. (Katadata.co.id 06/07/2018)
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa kesetaraan gender sangat penting bagi ekonomi pada Seminar Voyage to Indonesia bertajuk Women's Participation for Economic Inclusiveness di Surabaya, Kamis (02/08). Menurutnya, kesetaraan gender bukan hanya menjadi masalah moral tetapi juga menjadi isu pembangunan. Ketiadaan kesetaraan gender dapat menimbulkan economic loss. (www.kemenkeu.go.id, 02/08/2018)
Pemberdayaan ekonomi perempuan diperlukan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, antara lain mempertimbangkan jumlah perempuan yang mencapai setengah populasi dunia. Isu ini menjadi pokok bahasan diskusi seminar internasional “Women’s Economic Empowerment : A Framework For an Inclusive And Sustainable Growth” yang diselenggarakan Bank Indonesia bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) pada hari ini (21/07) di Jakarta dalam rangka Voyage to Indonesia menyambut pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF) - World Bank (WB) 2018. Seminar internasional yang dibuka oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia, Ibu Rosmaya Hadi juga merupakan rangkaian kegiatan pameran Karya Kreatif Indonesia (KKI) 2018 yang diselenggarakan pada tanggal 20-22 Juli 2018 di Exhibition Hall A, Jakarta Convention Center. Dalam sambutannya, Rosmaya Hadi menyampaikan pentingnya peningkatan partisipasi perempuan dalam ekonomi untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah kondisi pemulihan ekonomi saat ini. Untuk itu, perempuan kiranya dapat memanfaatkan peluang pesatnya perkembangan ekonomi, termasuk ekonomi digital saat ini sehingga dapat menjadi akselerator peningkatan partisipasi perempuan dalam perekonomian. (https://www.bi.go.id, 21/07/2018).
Mengapa negara berusaha kuat agar perempuan berpartipasi dalam pemberdayaan ekonomi untuk menunjang perekonomian negara? Benarkah, semakin banyak perempuan yang terjun ke ranah publik dalam pemberdayaan akan terselesaikan permasalahan ekonomi yang dihadapi saat ini?
Pada faktanya dari sekian banyak perempuan yang bekerja baik di sektor formal maupun non formal keadaan taraf perekonomian tidak berubah. Perempuan yang tidak bekerja dianggap sebagai beban ekonomi, sehingga harus didorong dengan kebijakan pemerintah agar perempuan terlibat perekonomian. Sementara perempuan yang bekerja di eksploitasi dengan mengatasnamakan pemberdayaan ekonomi perempuan. Banyaknya perempuan yang memilih bekerja justru menambah panjang persoalan setelahnya. Antara lain:
Pertama, ekonomi kapitalis telah menipu kaum perempuan. Dengan masuknya arus kapitalisme global dengan standar ganda yang dilakukan, alih-alih ingin memberdayakan perempuan padahal sejatinya menjadi target eksploitasi dan mesin ekonomi. Tenaga Kerja Perempuan dinilai lebih nurut dibanding tenaga kerja laki-laki, upah yang relatif rendah dari laki-laki tapi dengan beban kerja yang sama. Perempuan yang bekerja pada dasarnya dipersiapkan untuk menjadi target konsumen dari penjualan produk, mengingat kecenderungan perempuan yang suka berbelanja dibanding laki-laki.
Kedua, meningkatnya kasus perceraian yang disebabkan faktor ekonomi. Karena merasa sudah mandiri secara finansial sehingga merasa tidak membutuhkan lagi peran suami dalam menafkahi keluarga. Bahkan mendorong perempuan menjadi "PEKA" Perempuan Kepala keluarga.
Ketiga, beban stress yang meningkat dikarenakan perempuan harus berperan ganda di ranah publik baik sebagai pekerja maupun ranah domestik sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang semuanya menuntut harus diurus. Sehingga terkikisnya peran perempuan di ranah domestik. Mengurus keluarga menjadi ala kadarnya. Akibatnya generasi hilang dekapan kasih sayang secara sempurna.
Keempat, semakin sempitnya lapangan pekerjaan bagi laki-laki karena dominasi perempuan dalam segala sektor. Laki-laki bertarung dalam remah-remah ekonomi yang tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup.
Kelima, perempuan banyak yang terjerumus kepada gaya hidup yang hedonis dan materialis, karena merasa cukup uang dan kebebasan finasial untuk membelanjakannya.
Melihat permasalahan yang ada, jika ditelusuri benang merahnya akan sampai pada satu titik bahwa keterpurukan ekonomi saat ini bukan karena perempuan tidak ikut andil dalam putaran ekonomi, akan tetapi kesalahan persepsi kesetaraan gender dan penerapan sistem kapitalis sekuler yang menjadi dasarnya.
Sistem ekonomi kapitalis ditopang oleh pilar kebebasan, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan berperilaku dan kebebasan berpendapat. Setiap individu boleh menguasai kepemilikan milik umum maupun negara asalkan dia mampu secara ekonomi. Jadi sudah sewajarnya kalau perekonomian ini hanya dinikmati oleh segelintir orang saja yaitu para kapital. Kapitalisme hanya memandang manusia terutama perempuan sebagai barang yang dinilai karena nilai ekonomisnya, sehingga mengeksploitasi perempuan dengan dalih pemberdayaan perempuan, dibungkus dengan manis lewat pemberdayaan ekonomi perempuan dalam kesetaran gender.
Argumentasi palsu para penggiat gender hanya membuat hegemoni kapitalis global semakin menggurita. Menimbulkan persoalan baru yang menggadaikan indahnya pernikahan dan generasi yang berkualitas. Makin terungkap nyata bahwa tujuan semua implementasi ide-ide gender adalah demi kepentingan kapitalisme yang ingin menguatkan liberalisasi ekonomi. Peran serta perempuan hanya dibutuhkan dalam rantai supply demand bisnis mereka, bukan memakmurkan perempuan, apalagi segenap bangsa. Realitas yang terjadi sesungguhnya adalah upaya masif eksploitasi perempuan sebagai obyek ekonomi dan finansial.
Peran Penting Perempuan
Perempuan memang memiliki peran penting dalam kehidupan suatu bangsa. Namun, dalam bingkai ideologi Kapitalisme, peningkatan peran perempuan justru fokus pada peran publik dan peran ekonominya. Padahal sesungguhnya peran perempuan yang utama adalah sebagai Istri,ummu warabbatul bait serta pendidik generasi. Saat ini justru peran alami inilah yang tergeser dan terkikis melalui pemberdayaan ekonomi perempuan dengan dalih menghapus kemiskinan. Padahal, kemiskinan adalah masalah global akibat ketimpangan akses ekonomi yang dihadapi si lemah versus si kuat, baik dalam tataran negara, masyarakat ataupun individu. Terjadi Hukum rimba ekonomi ditengah masyarakat. Kenapa perempuan justru dikorbankan untuk melepas peran utamanya sebagai Istri,ummunwarbbatul bait dan pendidik generasi?
Masalahnya, arus pemberdayaan yang dikembangkan lembaga global, pemerintah dan para penggiat gender justru menarik para perempuan untuk ikut mencari nafkah; baik karena keterpaksaan akibat kemiskinan, aktualisasi diri maupun terpikat dengan isu pemberdayaan perempuan. Akibatnya, perempuan tidak optimal menjalankan fungsinya di ranah domestik. Fatalnya, negara pun abai dalam fungsi ini. Negara justru sibuk memperhatikan kepentingan para kapitalis untuk meraih keuntungan materi dan duniawi semata. Tak peduli bahwa arus pemberdayaan perempuan akan melemahkan fungsi keluarga.
Tak masalah perempuan memiliki penghasilan sendiri, namun tidak boleh diposisikan sebagai pencari nafkah utama. Sesungguhnya pemberdayaan perempuan tak akan menyelesaikan permasalahan ekonomi secara tuntas, apalagi menyejahterakan. Sebab, masyarakat, termasuk kaum perempuan, akan tetap berhadapan dengan problem klasik kapitalistik: harga kebutuhan pokok semakin tak terjangkau, pendidikan mahal, biaya kesehatan yang tak menentu, inflasi, kenaikan harga TDL dan BBM, transportasi berbiaya tinggi, dan ketidakadilan sistem. Penyelesaian yang akan menuntaskan problem kemiskinan hanyalah dengan menghilangkan penyebab utamanya: hapus sistem Kapitalisme, lalu ganti dengan sistem Islam dalam wujud Khilafah Islamiyah. Menegakkan sitem Islam dalam institusi Khilafah, selain sebagai wujud keimanan, juga akan merealisasikan kesejahteraan bagi semua bangsa.
Di dalam Al-Quran Surat Annisa Ayat 32, Allah SWT berfirman :
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".
Allah SWT memerintahkan kepada Laki-laki dan perempuan untuk tunduk kepada Syariat. Syariat Islam bebas diskriminasi, karena sejatinya Syariat Islam berasal dari Aturan Sang Pencipta, Allah SWT. Pencipta kehidupan Yang Maha Adil dan Maha Mengetahui segala sesuatu. Seraya manusia tunduk dan Patuh kepada Allah SWT atas ketentuan yang diberikan. Aturan yang membahagiakan dunia dan akhirat. Aturan Allah SWT akan sempurna dalam penerapan institusi politik Islam dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyyah. Perempuan bahagia, keluarga bahagia. Wallahua'lam Bishawwab.