Oleh : Sabingah Ummu Irsyad
Apel Malang, hijau warnanya. Segar rasanya, pun murah harganya. Berbeda dengan Apel Semarang. Merah putih warnanya, pun mahal harganya. Mahalnya harga Apel Semarang ini mengalahkan harga durian J-Queen yang dibandrol 14 juta. Apel merah-putih semarang dibandrol harga luar biasa. Bukan puluhan, ratusan, jutaan bahkan ratusam jutaan tapi 18 M. Waw! Angka yang mencengangkan bukan? Tak mau dikritik Bupati Jateng inipun mengemukakan alasan-alasan mengapa Apel tersebut dilaksanakan. Diantara melihat pentingnya penyatuan kesadaran ideologi Pancasila, semangat merah-putih dan beberapa hal yang mendesak seperti akan lahirnya ideologi yang berpotensi memecah belah NKRI.
https://jateng.suara.com/read/2019/03/19/201118/dana-apel-kebangsaan-dikritik-ini-penjelasan-gubernur-ganjar-pranowo?utm_source=whatsapp&utm_medium=share
Apel Semarang yang diselenggarakan waktu lalu oleh Bupati Jawa Tengah Ganjar Pranowo menuai kritik dari sejumlah pihak termasuk Anggota DPR Fadli Zone yang menganggap rezim yang berkuasa hari ini sebagai Sontoloyo. Ia mengkritik agenda pestapora tersebut yang berdekatan dengan musibah Banjir yang menimpa Sentani- Papua, sementara dana yang digelontorkan untuk korban sentani hanya sebesar 1 M. Padahal lebih darurat karena menyangkut banyak nyawa. Akan tetapi agenda Apel 18M tetap juga dilaksankan diatas duka Sentani. https://m.suara.com/news/2019/03/19/113344/apel-kebangsaan-18-m-bantuan-sentani-1-m-imf-1-t-fadli-rezim-sontoloyo
Apapun alasanya, berpesta dan menghambur-hamburkan uang ditengah duka telah menunjukan hilangnya nilai kemanusiaan pemimpin hari ini. Padahal Apel tersebut faktanya tidaklah terlalu penting. Belum lagi banyak menimbulkan mudharat dan maksiyat seperti mabuk-mabukan dan berbagai kerusuhan.
Tentu sangat berbeda sekali dalam pemerintahan Islam. Tugas pemimpin adalah pelaksana hukum syara dan pengatur urusan umat. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban yang berat diyaimul qiyamah tentang kepemimpinanya.
Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ، فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ، وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ
“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)
Hadis ini juga diriwayatkan di dalam Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Daraquthni, Musnad asy-Syamiyyin li Thabarani; Muwatha’ Abdullah bin Wahhab, Mustakhraj Abi ‘Uwanah, dan Musnad Abi Ya’la al-Mushili.
Berdasarkan kualitasnya, hadits ini adalah hadits maqbul (diterima sebagai hujjah) dengan kategori shahih, yakni hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, sanadnya muttashil (liqa’), matannya marfu’ (idhafah pada Nabi), tidak ada illat (penambahan pengurangan dan penggantian), dan tidak ada kejanggalan (tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Hadits shahih, dan akal sehat).
Frase “Imam” dalam hadits ini bermakna al-Khalifah. Al-Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah berkata, “Al-Imamah adalah pembahasan tentang Khilafah Nubuwwah untuk menjaga agama dan mengatur dunia dengannya.” Maka wajar ketika al-Imam al-Mula Al-Qari di dalam Mirqât al-Mafâtiih menjelaskan makna imam di dalam hadits ini dengan mengatakan imam yang dimaksud adalah al-Khalifah atau Amirnya.
Makna ungkapan kalimat “al-imamu junnah” adalah perumpamaan sebagai bentuk pujian terhadap imam yang memiliki tugas mulia untuk melindungi orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, “(Imam itu perisai) yakni seperti as-sitr (pelindung), karena imam (khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum muslimin, dan mencegah antar manusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.” Dengan indikasi pujian, berita dalam hadits ini bermakna tuntutan (thalab), tuntutan yang pasti, dan berfaidah wajib.
Sedangkan makna (yuqaatilu min waraa’ihi) yakni: kaum muslimin akan berperang bersama dengannya (al-khalifah) dalam memerangi orang-orang kafir, para pemberontak, khawarij dan seluruh kelompok-kelompok pembuat kerusakan dan kezhaliman secara mutlak. Begitulah yang disampaikan al-Imam an-Nawawi dan Shahih Muslim.
Hal itu selaras dengan ungkapan Imam al-Haramain al-Juwaini dalam kitabnya Ghiyâts al-Umam fî al-Tiyâts al-Zhulm juz I hlm. 22. Imam al-Mawardi al-Syafi’i dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah hlm. 15 juga mengatakan,
الْإِمَامَةُ: مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
“Al-Imâmah: pembahasan terkait khilâfat al-nubuwwah (pengganti kenabian) dalam memelihara urusan Din ini dan mengatur urusan dunia (dengannya).”
Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd hlm. 128 mengumpamakan din dan kekuasaan (kepemimpinan), sebagai saudara kembar (الدّين وَالسُّلْطَان توأمان),
الدّين أس وَالسُّلْطَان حارس فَمَا لا أس لَهُ فمهدوم وَمَا لا حارس لَهُ فضائع
“Al-Dîn itu asas dan penguasa itu penjaganya, maka apa-apa yang tidak ada asasnya maka ia akan roboh dan apa-apa yang tidak ada penjaganya maka ia akan hilang.”
Untuk kalimat “jika seorang imam (khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’Azza wa Jalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa”, bisa kita pahami bersama bahwa seorang imam (khalifah) diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya untuk memerintah manusia yang ada dibawah kekuasaannya dalam ketaatan. Demikian juga wajib memerintah dengan adil yaitu dengan memberlakukan hukum-hukum Allah dalam mengatur hak-hak manusia agar tidak berbuat zhalim.
Berdasarkan ma'lumah diatas. Sudah sepantutnya kita bercermin pada kepemimpinan yang sesuai petunjuk nabi yakni memimpin dengan adil dan penuh ketaatan kepada Allah SWT. Akan tetapi kepemimpinan ideal semacam ini takan apakah mampu diwujudkan dalam tatanan sistem Demokrasi-Kapitalis yang bersandar pada asaz Sekulerisme (pemisahan antara agama dengan kehidupan). Tentu tidaklah mungkin terjadi, karena sistem hari ini merupakan sistem yang mengingkari peranan agama dalam mengatur kehidupan.
Sungguh indah jika tata pelaksanaan pemerintahan dijalankan oleh manusia sekelas Umar bin Khatab ra. Yang rela memanggul kantung gandum untuk diantarkan kepada rakyatnya, sosok pemimpin yang takut dihujat jika ada seekor kuda tergelincir kakinya akibat pelayanan infrastruktur yang buruk kemudian kuda itu mengadukan kepada Allah tentang ketidak ridhaanya atas kepemimpinanya.
Sungguh, kepemimpinan semacam ini hanya mampu diwujudkan dalam kepemimpinan yang sudah dikemas satu paket praktis bersama kaum Muslimin, yakni kepemimpinan umum (Khilafah) yang mampu mewujudkanya. Dan, khabar kedatangan Khilafah sudah menjadi perbincangan umum (ra'yu 'am) ditengah-tengah umat hari ini. Mari sudah saatnya bergandengan bersama menyambut kedatangan Khilafah.
Wallahu a'lam bish-shawab.[]