Antara 'Ulama, Umara' dan Dakwah Islam





sumber gambar: google


Hanya ada satu kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan dua peristiwa penting yang terjadi pada hari Kamis (11/4). “Waktunya sudah habis Pak Jokowi.” Menyerahlah dengan damai. Jangan menambah kesalahan. - Hersubenoarief

Viral, tayangan eksklusif antara seorang ulama dan calon pemimpin bangsa. Tak ayal, banyak netizen pun memberikan apresiasi yang sangat positif. Karena ini baru pertama kali terjadi , ketika umat bersatu dengan ulama menginginkan sebuah perubahan bagi negeri ini. Siapa tak kenal ulama bersahaja Ustadz Abdul Somad (UAS)? Sosok yang  sedari awal  tidak menginginkan tawaran politik yang datang. UAS menunjukkan kelasnya jauh-jauh di atas deretan “ulama” yang berbaris di belakang paslon 01. Umat bisa langsung membedakan. Sikap UAS ini merupakan dukungan yang tulus, tanpa pamrih, sekaligus menunjukkan kelasnya sebagai ulama yang lurus dan tidak tergoda dengan masalah duniawi.

UAS menasihati, ujian hidup yang paling besar ialah menjadi pemimpin. Diceritakannya, Imam Ahmad bin Hambal pernah menuturkan, seandainya satu saja doanya dikabulkan oleh Allah, maka bunyi doa itu adalah meminta pemimpin yang adil bagi umat Islam. UAS menyinggung pentingnya pemimpin dalam mewujudkan keadilan distributif. Jika seorang pemimpin adil, maka seluruh rakyat mendapatkan keadilan. (https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/pptnht458/mencari-makna-dukungan-uas-kepada-prabowo-part2)

Negeri ini negeri Muslim terbesar. Kaum Muslim dilahirkan sebagai umat terbaik. Tapi nyatanya, baik negeri maupun rakyatnya hidup dalam penindasan. Agama dan ulama'nya  dikriminalisasi, begitu organisasi Islam yang memperjuangkan kemuliannya dibubarkan. Rakyat hidup dalam kemiskinan, negerinya terpuruk. Salah urus negeri ini begitu tampak dengan kasat mata. Rakyat dipecahbelah dan terus diadu domba.  Termasuk mayoritas muslim di dalamnya.

Rasa dan kesadaran itulah yang mendorong gerakan perubahan. Umat dan negeri Muslim terbesar ini menangis. Merindukan hadirnya pemimpin yang adil, kuat dan bisa membawa perubahan. Maka, saat kita menyaksikan fragmen pertemuan dua sosok yang luar biasa itu pun pecah air mata ini. Air mata kerinduan pada kejayaan Islam. Air mata kerinduan para sosok Umar bin al-Khatthab yang tegas, adil dan bijak. 

Sekularisme Membelokkan Khiththah Ulama, Benarkah?

Dalam pertemuan ini, terlihat sesekali Prabowo menyeka matanya. Tampak mantan komandan jenderal Koppasus itu terharu dengan doa dan kata-kata Ustaz Abdul Somad tentang makna keikhlasan dan kepemimpinan. Sempat pula UAS menyampaikan pesan kepada Prabowo bila calon presiden yang didampingi Sandiaga Uno itu menjadi presiden Republik Indonesia 2019-2024. “Kalau Bapak duduk jadi presiden, terkait saya pribadi, dua saja. Pertama, jangan Bapak undang saya ke istana. Biarkan saya berdakwah, masuk ke hutan, karena memang dari awal saya orang kampung, saya (sering) masuk ke hutan-hutan. Kedua, jangan Bapak beri saya jabatan, apa pun," UAS menegaskan. (republika, co.id, 12/4/2019).

Hal diatas sangatlah bertolak belakang dengan kebijakan yang sedang dilakukan rezim terhadap para ulama dan dakwah Islam. Beberapa kejadian, ulama yang sedang melakukan safari dakwahnya, dihalangi beberapa oknum di wilayah tertentu. Sebut saja kedatangan UAS di Denpasar. UAS dituding menyebarkan ide-ide sesat yang akan memecah belah NKRI. Tidak sedikit pula yang membuat pernyataan mengecam terhadap dakwah Islam. Bahkan baru-baru ini, ide Khilafah sengaja dibenturkan dengan Pancasila dan NKRI. 

Khilafah dianggap sebagai monster yang siap menghancurkan negeri ini ketika diterapkan. Termasuk persekusi terhadap ormas Islam yang menyerukan dakwah syariah dan Khilafah, HTI, telah dicabut status BHP nya tanpa ada surat peringatan terlebih dahulu. Belum lagi perlakuan rezim terhadaa beberapa orang yang melakukan kritikan terhadapnya. Mulai dari kepala desa, bupati, gubernur hingga tokoh publik yang diberikan hukuman dengan tuduhan ujaran kebencian. Islam seolah tidak memiliki tempat ketika digemakan di ranah publik. Siapa yang tak mendukung kebijakan rezim, harus siap untuk terciduk. Begitu juga ulama, jika tak berada di pihak penguasa, bersiaplah untuk dipersekusi. 

Inilah akar persoalan negeri ini, yang sejak dulu tidak terkuak. Terpisahnya antara urusan negara dengan agama, menjadikan pihak penguasa seolah bertindak bagai tangan besi. Menekan siapapun yang ingin mengkritiknya. Padahal, kritikan itu adalah hal yang wajar bagi sebuah pemerintahan. Karena kritikan adalah bentuk muhasabah rakyat terhadap pengusanya yang dinilai melenceng dari koridor batas-batas keinginan rakyat. Sekulerisme inipun makin diperparah dengan ikutnya ulama di kancah politik pragmatis ini. Ulama digandeng untuk memberikan pandangan bahwa ulama mendukung kebijakan penguasa. 

Walhasil, akhirnya muncul pendapat-pendapat ulama yang menjadikan fakta realita kehidupan sebagai penentu dalil. Tak terkecuali bab toleransi, yang selalu dijadikan alat untuk memperkeruh  negeri ini. Islam, sebagai agama mayoritas, diminta untuk tunduk dan mengikuti kebiasaan agama lainnya. Jika ada sebagian kelompok yang memegang teguh prinsip Islam dalam Al Quran, maka akan dicap sebagai kaum intoleran dan radikal. Oleh sebab itu, beberapa ulama yang dikenal rakyat, akan perlahan mengubah pola dakwahnya. Yang tadinya memperjuangkan Islam, selangkah demi selangkah mundur, memihak kepada penguasa. 

Sekulerisme inipun membuat rakyat akan semakin rancu, karena ulama-ulama yang dikenal oleh mereka justru menyuarakan ide-ide kebebasan.  Ulama hanya sebagai simbol karena ulama memiliki anak didikan santri di bawahnya. Ulamapun hanya dijadikan pion bagi penguasa untuk menuai suara rakyat. Jika hal ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin, ulama yang awalnya memiliki keberanian, akhirnya tidak menjadi hanif lagi, karena tekanan politik praktis kepadanya. Padahal, negeri ini berjuang mengusir penjajah Belanda dan Jepang, karena arahan dari para ulama yang mempu memompa semangat jihad, melawan kedzaliman. Memisahkan antara agama dengan negara akan membuat ulama makin dijauhkan dari ajaran Islam sendiri. Padahal Islam adalah agama yang paripurna, yang memiliki solusi tuntas bagi persoalan kehidupan mnusia. 


Harmoni 'Ulama dan Umara' Dengan Islam

Seorang pemimpin yang benar-benar amanah mengurusi urusan rakyat, menjaganya dan selalu berpegang teguh pada agamanya, maka ia akan menggunakan nasehat ulama sebagai petunjuk dalam setiap kebijakannya.  Ia pun akan menghormati ulama, dengan tidak menjadikan ulama itu sebagai bawahannya, melainkan duduk sejajar. Islam memberikan tuntunan bahwa hendaknya penguasa alias umara' harus bersikap adil dalam menjalankan amanahnya. Posisi ulama dalam Islam pun jelas, sebagai penasehat dan penentu arah bagi keberlangsungan negara.

Islam mendudukan posisi ulama sebagai waratsat al anbiya' (pewaris nabi). Maka sudah tentu, penguasa akan menjunjung tinggi tanggungjawabnya dan memegang amanah nya untuk mengurusi rakyat, dengan bimbingan para ulama.

Sebab kepemimpinan adalah singgasana antara siksa dan nikmat, antara anugerah dan petaka, antara hadiah dan musibah. 

"Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, ujungnya hanyalah penyesalan di akhirat. Di dunia ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian sungguh penuh penderitaan" (HR. Bukhari)

Pernah suatu ketika Abu Dzar  meminta kepemimpinan  kepada Rasulullah. Namun Rasulullah tak bergeming seraya bersabda, "Kau itu lemah, kepemimpinan adalah amanah. Pada hari kiamat ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang mengambilnya & menunaikan dengan benar" (HR. Muslim)

Maka, air mata ini tumpah, karena merindukan sosok Umar bin al-Khatthab dengan kekhalifahannya yang adil menebar wangi semerbak, bak wewangian Aud hadiahnya. Sosok dan sistem-Nya yang menjadi Khalifatullah fi al-Ardh, yang benar-benar berhasil mengembalikan kemuliaan Islam dan umatnya. Kita semua merindukan pemimpin yang bergandeng tangan dengan ulama, bukan sebagai bawahan, tetapi sebagai penasehatnya, yang akan membimbingnya untuk selalu bertaqwa kepada Allah dengan memegang teguh amanah nya sebagai pemimpin umat. 

Dengan demikian, penguasa dan ulama akan selalu bekerja sama, bahu membahu memikirkan urusan umatnya. Dan yang paling penting, menjalankan kewajiban untuk menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru alam. Ulama menopang dakwah itu, penguasa mengatur dakwahnya. Wallahua'lam


drg. Endartini

(Praktisi Kesehatan)


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak