Antara Apel Kebangsaan dan Bencana Sentani


Oleh :  Iis Kurniati, S.E

(Pembelajar Islam kaffah)


Dana yang fantastis untuk alokasi Apel Kebangsaan yang digelar 17 Maret 2019 yang lalu di Simpang Lima Semarang, menimbulkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana tidak, dana yang digelontorkan dari APBD Jawa Tengah itu tidak main-main, yaitu 18 miliar.


Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memastikan, pengadaan anggaran untuk pelaksanaan acara Apel Kebangsaan bertema "Kita Merah Putih" yang mencapai Rp18 miliar, sudah sesuai prosedur.


"Kami sangat transparan, maka siapa pun bisa melihat. Soal tidak sepakat dengan jumlahnya, ya monggo, tapi kami harus menghadirkan seluruh masyarakat di Jawa Tengah," kata Ganjar, Selasa (19/3/2019).


Sementara Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon melayangkan kritiknya terkait anggaran penyelenggaraan Apel Kebangsaan tersebut. Karena pada waktu yang bersamaan, dana bantuan yang diberikan pemerintah daerah untuk korban banjir bandang di Sentani, Papua, hanya berkisar Rp 1 miliar.


Melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), pemerintah hanya memberikan dana sebesar Rp 1 miliar.


Selain memakan dana yang sangat besar, acara itu juga digelar dengan menggunakan dana APBD yang artinya menggunakan uang rakyat.


Demikian juga Aktivis Kemanusiaan Natalius Pigai, yang menilai sikap pemerintahan Jokowi telah mencederai nalar publik. Hal itu diungkapkan oleh Natalius melalui akun Twitter miliknya @nataliuspigai2. 


“Nalar publik tercederai! Disaat musibah menimpa bangsa sy, Tim Jokowi pesta pora 18 miliar uang negara, uang rakyat kecil untuk acara musik yang dihadiri hanya 2 ribuan orang,” cuit Natalius seperti dikutip Suara.com, Senin (18/3/2019).


Di saat warga Papua membutuhkan bantuan yang tidak sedikit agar bisa kembali bangkit dari bencana banjir bandang yang menerjang pada Minggu (17/3/2019), pemerintah hanya memberikan bantuan sebesar Rp 1 miliar saja. Tercatat ada 6.831 orang pengungsi yang tersebar di 15 titik pengungsian. Pengungsi masih memerlukan bantuan kebutuhan dasar. 


Natalius pun mengaku kecewa dengan sikap pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi.


“Bantuan BPBP Papua hanya 1 miliar untuk rakyat Sentani Papua. Tuhan jaga bangsa saya,” ungkap Natalius.


Sikap pemerintah yang terkesan lebih mementingkan Apel Kebangsaan yang tidak jelas manfaatnya untuk masyarakat daripada bencana yang terjadi di Papua yang memakan banyak korban, membuktikan bahwa pemerintah tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Pemerintah yang seharusnya mengurus dan melayani kepentingan rakyatnya malah sibuk dengan misi pencitraan semu. Bukan hal yang aneh karena itulah yang terjadi dalam sistem demokrasi.


Sistem demokrasi menjadikan para elit politik berambisi meraih kekuasaan dan ketika sudah mendapatkannya, mereka akan berusaha keras mempertahankannya dengan berbagai cara. Bukan urusan rakyat yang menjadi prioritas utama untuk diperhatikan.


Termasuk memakai uang rakyat untuk kampanye adalah hal yang lumrah terjadi dalam sistem demokrasi. Apel kebangsaan disinyalir memuat kampanya terselubung untuk mendukung calon petahana.


Sangat berbeda jika dibandingkan dengan sistem islam. Islam menetapkan bahwa penguasa ibarat penggembala bagi rakyatnya. Layaknya penggembala, tugas penguasa adalah mengurus rakyat, menjamin kesejahteraan dan keamanan rakyatnya. 


Seorang penguasa akan mempertanggungjawabkan posisinya sebagaimana hadits riwayat Bukhari:


“Imam (waliyul amri) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.”


Jika terjadi bencana, penguasa hendaknya fokus dan bersungguh-sungguh mengerahkan segala pemikiran dan perbuatan yang akan dilakukan terhadap warganya yang tertimpa bencana. Sebagaimana yang dilakukan Khalifah Umar bin Khathab ketika menangani bencana paceklik. Dan penguasa yang seperti itu hanya ada dalan sebuah institusi bernama Khilafah Islamiyah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak